Chereads / Aku Hidup Kembali Di Dunia Lain Bersama Teman Lamaku / Chapter 11 - Chap 11: Elf dan Hutan Larangan

Chapter 11 - Chap 11: Elf dan Hutan Larangan

Hutan tempat Nathan tinggal berada di ujung wilayah kastil Heiken bagian utara. Jika dilihat dari peta kekaisaran, di wilayah ini membentang hutan panjang menutupi barikade dan dipenuhi jebakan tentara Heiken untuk menahan serangan dari orang yang berniat menyerang lewat hutan. Disana tinggal sebuah suku yang bergantung hidup kepada kerajaan Heiken. Suku itu terdiri dari 18 keluarga besar bangsa Elf dan salah satunya adalah bangsa Elf yang memegang kursi kekuasaan dewan parlemen di Heiken, Einswood. Tuan William Volstock Einswood adalah staff di kementrian sihir dan salah satu petinggi di sekolah sihir dengan gelar Sage, gelar tertinggi di akademi sihir. Aku pernah bertemu dengannya sekali saat mengantarkan ibuku ke jamuan para penyihir. Dia pria tampan dengan rambut panjang kuning terang. Dagunya panjang dengan mata tajam gentle. Kalau aku perempuan, sudah pasti rahimku akan hangat hanya dengan melihatnya. Eh, aku perempuan sih luarnya. Dalamnya tetap aku yang masih suka lihat dada perempuan bergoyang saat berlari. Jadi intinya hutan yang aku masuki saat ini tidak lain dan tidak bukan adalah wilayah dari Tuan Einswood yang masih termasuk dalam wilayah kerajaan ibuku.

Belum terlalu masuk ke dalam hutan. Aku sudah melihat sebuah rumah kecil, lebih mirip gubuk tua dengan ladang yang cukup besar di depannya. Aku lantas bertanya kenapa kita berhenti di sini.

"Itu rumahku" ucap Nathan menunjuk ke gubuk itu.

Uwah! Tidak kuduga Nathan yang merupakan manusia 'super' ini bisa bertahan hidup di gubuk tua hampir roboh yang bahkan tidak akan sanggup menahan hujan lebat. Dia memang bisa bertahan hidup mengingat dulunya dia anggota pramuka, tapi dia bisa setabah ini, luar biasa. Juga jika memang benar dia mampu bertahan selama berbulan-bulan hanya dengan tanaman yang ditanam sendiri. Berarti selama ini aku sudah salah menilai Nathan.

Kami masuk kedalam gubuk itu. Nathan memegang gagang pintu, kupikir dia akan membukanya. Ternyata dia melepas dan memindahkan pintu itu ke samping tembok. Gila, tiba-tiba hatiku terenyuh sampai ingin menangis melihatnya. Nathan berjuang hidup selama ini sepertinya. Padahal biasanya aku sangat kesal padanya sampai ingin memukul kepalanya.

"Rara aku pulang" Teriak Nathan padahal rumah itu sangat kecil, namun dia berteriak seolah ingin di dengar seseorang yang jauh di ruangan berbeda.

"Oh kau sudah pulang, apa kau membawa bibit tomatnya Nathan?" Seseorang menjawab panggilan lantang Nathan. Muncul dari balik tirai yang menghalangi ruangan kami sesosok gadis dengan rambut kuning terang, mata biru, kulit begitu putih, telinga lancip dan dada yang besarnya membuatku terkejut.

Aku menganga dibuatnya. Aku terpesona oleh kecantikan sejati di depanku. Ini seperti saat pertama kali aku melihat diriku sendiri dan ibuku, Anastasia. Mataku tersilaukan. Dia mungkin gadis tercantik keempat yang bisa aku temui setelah aku, ibuku dan Hilda. Tapi rasanya aneh kalau aku harus menghitung diriku sendiri, rasanya seperti aku ini narsisme kelas berat, padahal orang yang seperti itu berdiri tepat di sampingku. Aku tidak jadi menghitung diriku sendiri. Ngomong-ngomong soal narsisme, aku jadi ingat Nathan. Dia pasti sengaja mengundangku kemari untuk menyombongkan hal ini.

"hehe" Dia tersenyum licik. Aku melihat persis ketika dia menatapku dengan tawa menjijikan itu. Sudah kuduga. Aku tarik kembali semua rasa iba dan kagumku padanya. Nathan tetap saja Nathan. Bahkan dia tetap sombong walaupun miskin.

Claaaaang!

Aku terkejut. Mendengar suara piring yang pecah itu membuatku kembali ke kesadaranku. Gadis yang cantik itu menjatuhkan piring yang ia bawa di tangannya. Lengan dan kakinya gemetaran. Wajahnya shock seperti habis melihat hantu.

"Rara kau kenapa!" Bentak Nathan.

"Pu.. pu.. pu.. Yang Mulia Putri!!!!"

Gadis elf bernama Rara itu tiba-tiba bersujud di kakiku. Aku terkejut. Aku juga tidak menyangka dia akan mengenaliku.

"Rara.. berdirilah" aku berusaha mengangkat Rara dari kakiku karena rasanya tidak nyaman diperlakukan seperti ini. Aku merasa seperti orang jahat saja.

"Tidak putri! Maafkan hambamu ini karena tidak menyadari Anda. Maafkan kami karena membuat Anda menyentuh tanah dan rumah kotor ini! Biar aku bersihkan sepatu Anda"

"Ahh.. Jangan-jangan. Aku tidak keberatan berada disini. Lagipula jika aku ingin sepatuku dibersihkan, Nathan lah yang harus melakukannya."

"NATHAN!! CEPAT BERSIHKAN SEPATU YANG MULIA!"

"LAH AKU!!" Balas Nathan membentakku.

"Bukannya kau yang mengajakku kemari?" balasku.

"KAU MENGAJAK YANG MULIA?? LANCANG SEKALI KAU!!" Rara melemparkan sandal kayu yang dia pakai ke arah Nathan.

Waduh mereka jadi ribut. Aku harus segera menghentikan kegilaan ini. Lagipula balas dendamku sudah tersampaikan. Biar saja Nathan tahu siapa aku sebenarnya. Salah sendiri dia ingin sombong kepadaku.

"Umm.. Rara sudah-sudah, kau tidak perlu semarah itu pada Nathan. Dia tidak memaksaku. Aku datang karena aku ingin. Dia itu teman lamaku"

Rara malah membatu. Dia tak bergerak dan tiba-tiba saja dia terduduk lemas.

"Huaaaaa.."

EH?! Dia malah menangis kencang.

"Anda itu kaya. Anda itu berkuasa. Anda itu kuat. Anda itu muda. Anda itu sangat cantik. Terlebih Anda itu teman kecil Nathan.."

Aku menatap Hilda. Wajahnya datar. Ah percuma saja aku meminta saran pada wanita tak punya ekspresi ini.

"Ahaha sepertinya kau salah faham padaku Rara. Aku tidak ada niatan merebut Nathan darimu. Bahkan aku jijik padanya. Tenang saja. Jika aku ingin menikahi seseorang, pastilah orang itu harus secantik Rara."

"Benarkah?" Rara berhenti menangis. Matanya berlinang air mata. Dia seperti anak kecil.

"Mm!" Aku mengangguk.

"Syukurlah Anda menyukai sesama jenis" ujarnya mengelap air mata.

He?

....

HEEEEEEEEEEEEEE?????!

"Tidak kuduga yang mulia seperti itu" ujar Hilda padaku dengan wajah datar. Dia mengejekku.

"Aaaaa... kau salah paham lagi sepertinya. umm.. maksudku aku suka lelaki yang cantik" ujarku meluruskannya pada Rara. Sebenarnya apa yang aku coba jelaskan pada gadis ini. Tentu saja aku suka wanita cantik.

"Heee.. tidak kuduga kau suka laki-laki" Ujar Nathan dengan wajah jijik.

"Kubunuh kau!" ujarku.

Situasi mulai tenang. Aku bercerita soal aku menjadi teman lama Nathan sebelum jadi putri. Walaupun sebagian besarnya adalah kebohongan tapi Rara sepertinya percaya. Rara juga bercerita bahwa ayahnya sudah mengabdi lama pada ibuku.

"Tuan Einswood? maksudmu paman elf tampan di kementrian sihir?"

"Benar dia ayahku"

Tidak kuduga paman tampan bertelinga panjang berambut emas itu sudah punya anak sebesar ini. Bahkan usianya jauh lebih tua dariku. 70 tahun katanya. Nathan hidup bersama nenek tua cantik yang terlihat muda. Guru sihirku juga hanyalah kakek tua berwajah tampan dan nampak seperti pemuda 25 tahunan. Namanya juga elf.

Alasan Rara tinggal dihutan di luar wilayah elf bukanlah karena dia di asingkan atau kabur. Melainkan sedang dalam masa percobaan. Di antara bangsa elf, usia Rara baru masuk ke fase dewasa setelah masa remaja. Jika di manusia, mungkin Rara itu baru 17 tahunan. Dia harus melewati fase kedewasaannya dengan belajar hidup mandiri. Nyatanya dia malah hidup bersama Nathan. Kasihan Rara.

"Aku tahu ini mendadak. Tapi maukah kau tinggal di kastil bersamaku dan bekerja disana seperti ayahmu?" tawarku pada Rara

"Benarkah? Apa Nathan juga ikut?"

"Ah itu sih tergantung dia. Apa dia mau jadi pelayanku?"

"AKU TIDAK SUDI! Rara jangan dengarkan dia. Aku tahu persis siapa Remi! Dia pasti punya niat jahat! Dasar licik" bentak Nathan.

"kau tidak punya cermin ya Nathan? Ah aku lupa kau kan miskin.. hehe..

"Kau lihat kan Rara? Dia itu bukanlah Putri yang baik. Hatinya busuk. Dia pasti hanya ingin memanfaatkanmu"

"Tidak mungkin Nathan. Ayahku adalah guru dari Putri Sistine, jika dia putri yang jahat, ayah pasti sudah menolak mengajarinya. Kau saja yang menganggap Putri jahat karena kau kalah saing kan?"

"Kau peka juga Rara. Baiklah aku tidak akan memaksa kalian untuk saat ini. Aku juga harus segera kembali sebelum ibu datang dengan pasukan rahasianya."

Aku mengeluarkan kantong kecil berisi uang koin. Tadinya uang ini ingin aku sumbangkan ke gereja ujung kota. Tapi bisa aku lakukan besok.

"Rara, terima ini. Memang tidak seberapa, tapi kau bisa berbagi dengan yang membutuhkan. Jangan biarkan Nathan menghabiskannya untuk hal tidak penting."

"Uang? Banyak sekali! Aku tidak bisa te-"

"Terima!" Paksaku.

"Baiklah. Aku akan membagikannya sesuai permintaan Anda. Aku juga tidak akan biarkan Nathan menghamburkannya."

Aku tersenyum dan berpamitan. Sebelum aku pergi ada hal yang ingin aku katakan.

"Nathan, ingat saat kita mengobrol sampai larut malam. Tentang bagaimana jika kita masuk ke dunia fantasi. Walaupun keadaannya berbeda dan kita tidak sekuat para pahlawan seperti apa yang ada di khayalan kita. Tapi aku tetap ingin berpetualang di dunia ini dan menolong mereka yang kesulitan. Juga mencari cara kembali ke tempat kita. Aku yang saat ini masih memegang teguh hal itu. Jika kau berubah pikiran, aku akan menunggumu dan Rara di kastil"

Aku lantas pergi meninggalkan mereka berdua dengan kata-kataku yang membuat Nathan tidak menjawab apapun. Dunia ini maupun dunia lamaku. Keduanya memang berbeda peradaban, namun sama-sama memiliki hal serupa. Perang, kemiskinan, kelaparan dan berbagai macam bencana. Bedanya, di dunia lamaku, aku bukanlah siapa-siapa. Hanya hal kecil yang bisa aku lakukan. Sebesar apapun hal yang aku lakukan, tidak ada dampak yang besar. Berbeda di tempat ini. Aku punya kekuatan. Aku akan menggunakannya untuk menolong sebanyak mungkin orang hingga aku tahu cara kembali ke dunia lamaku. Memang aku tidak bisa melakukan apapun di dunia lamaku, tapi disana aku tidak perlu melahirkan.