Chandani itu seperti berlian. Dia kuat, cantik dan berharga. Cantik tak hanya paras. Ketangguhan dalam menghadapi masalah pun membuatnya tampak mempesona. Itulah yang disebut kecantikan abadi. Kecantikan yang sesungguhnya, kecantikan hati, kecantikan yang tak termakan usia.
***
Ketika kegelapan menjadi satu-satunya cahaya
Sanggupkah dia menerimanya?
_
Chandani tengah berdiri di dekat sebuah kamar pas di dalam sebuah butik. Meski tirainya hanya terbuka sedikit tetapi, dia dapat melihat dengan jelas ke dalam. Matanya nyalang dengan tubuh gemetar. Chandani mengepalkan tangannya kuat hingga buku jarinya memutih. Astagfirullahaladzim, Ma. Giginya gemeretak. Dia mengumpat pasangan yang tengah berbuat mesum di hadapannya dalam hati.
Hatinya terasa dicabik, dan ditarik paksa dari uluhati kala melihat sang ibu yang selama ini dia banggakan tengah bermesraan dengan seorang pemuda. "Kenapa Mama tega ngelakuin ini ke Papa?" gumamnya meracau.
Chandani Adirupa Bahuraksa dua puluh tiga tahun. Gadis muslimah yang berparas cantik dengan mata berlian, hidung lurus mancung, dan bibir tebal mirip Angelina Jolie. Tinggi badan seratus enam puluh centimeter dengan berat empat puluh tiga kilogram. Wanita bertubuh tinggi kurus itu, baik nun lemah lembut terlihat biasa tetapi, tegar dan tegas dalam menjalani kerasnya kehidupan.
Chandani bukanlah seorang wanita kuat tetapi, tidak juga lemah. Banyak hal yang telah dia lalui sehingga kehidupannya menempa gadis itu menjadi pribadinya saat ini. Berat memang. Masa lalu yang gelap kerap menghantui perjalanan hidupnya, seolah tak rela jika dia lupakan. Bermula dari kejadian pahit di masa silam, kemudian ayahnya sakit keras, dan kini ibunya berselingkuh. Entah cobaan macam apalagi yang menunggunya di depan. Yang bisa dia lakukan hanya ikhlas dan tawakal, percaya di setiap ujian dan cobaan pasti ada hikmahnya.
***
Gadis berhijab itu berjalan terhuyung-huyung meninggalkan mereka yang tengah asik bercinta. Kakinya terasa lemas, terasa ada beban berat yang menggelayut di betisnya. Dia tak menyangka ibunya akan melakukan hal sekeji ini. Ibunya yang pendiam ternyata memiliki rahasia yang menjijikan. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Apakah dia harus melaporkan semuanya kepada ayahnya?
Entahlah ....
Mana tega dia melakukan itu? Jika dia sampai memberitahu ayahnya pasal hal yang baru diketahuinya ini, sama saja dia ingin membunuhnya. Sang ayah tengah sakit, Chandani takut akan memperburuk kondisinya jika sampai dia mengatakan kenyataan pahit ini.
"Assalamualaikum," ucap Chandani saat memasuki rumah.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Alia. "Teteh udah pulang? Katanya bakal pulang malam, kok masih sore udah pulang?" imbuhnya.
Alia Kanaya Bahuraksa, lima belas tahun. Adik satu-satunya Chandani. Gadis remaja yang bersurai panjang itu berwajah tak jauh berbeda dari sang kakak. Dia cantik dengan bentuk wajah oval, mata monolid, hidung lurus, dan bibir tebal. Tinggi badan seratus lima puluh empat sentimeter dengan berat empat puluh dua kilogram dengan tubuh agak berisi.
"Iya, Dek. Kebetulan kerjaan Teteh selesai cepet tadi, Alhamdulillah Teteh bisa cepet pulang. Gimana keadaan Papa?"
"Papa habis makan tadi, sekarang udah tidur."
"Syukurlah," ucap Chandani seraya memalsukan senyumnya berusaha menutupi kesedihan.
"Teteh kenapa?" tanya Alia dengan kedua alis bertautan. Dia melihat mata kakaknya yang sedikit sembab. "Teteh abis nangis yah?" tambahnya lagi menebak.
Chandani menggeleng. "Enggak, Teteh enggak nangis kok," bantahnya dengan mulut melengkung membentuk senyuman palsu.
"Bohong!" tukas Alia. "Teteh pasti abis nangis kan?" tanya Alia sekali lagi sembari menatap kakaknya dengan tatapan menyelidik.
"Sudahlah, itu nggak penting. Mending kamu istirahat gih, kamu pasti cape abis jagain Papa seharian," ucapnya. Tangan Chandani membelai lembut pipi adik semata wayangnya tersebut.
"Hoam." Alia menguap lalu merenggangkan tubuhnya. Benar yang dikatakan kakaknya, dia memang lelah setelah seharian menjaga ayahnya yang lumpuh. "Teteh bener, lebih baik aku istirahat sekarang, aku ke kamar dulu, yah?"
"Hmm." Chandani mengangguk. "Nanti kalo makan malam sudah siap, Teteh bangunin kamu, yah?"
"Sipp." Alia tersenyum seraya mengacungkan kedua jempolnya lalu pergi memasuki kamar.
Chandani duduk di sofa. Dia menyandarkan punggungnya malas ke punggung sofa. Wajahnya menengadah menatap kosong ke langit-langit rumah. Yang dia lihat di butik tadi sungguh mengejutkan, dia sangat syok dan kecewa. Ibu yang selama ini selalu menjadi panutannya, ibu yang selama ini selalu dia banggakan, ternyata telah memberinya luka yang cukup dalam. Air matanya menetes membentuk aliran sungai kecil. 'Ya Allah, apa yang harus aku lakukan?' gumamnya dalam hati.
Perlahan bulir airmata yang tertahan di pelupuk pun luruh menuruni pipi. Tubuhnya mulai bergetar akibat isak tanpa suara. Dia membekap mulutnya dengan bantal sofa agar dapat meredam suara, supaya ayah dan adiknya tak dapat mendengar tangis lirihnya ini.
Chandani menggigit bibirnya kuat dengan tangan mencengkram kulit sofa. Ingin rasanya dia memukuli seseorang untuk melampiaskan kemarahan.
Kabut kelabu semakin tampak gelap menyelimuti kehidupannya. Seolah takkan ada cahaya terang. Seolah hidupnya ditakdirkan gelap seumur hidup. "Ya Allah, kuatkan hambaMu yang payah ini."
***
Pagi menyapa dengan hangat. Sinar kuning keemasan menerangi setiap sudut rumah melalui celah jendela yang dibuka. Embun bening bak berlian tampak berkilauan kala terpapar sinar sang surya. Kabut pagi putih mengambang di udara. Dinginnya suasana pagi terasa merasuk ciri khas di kota Bandung. Chandani dan Alia tengah sibuk di dapur menyiapkan sarapan dan memasak bubur untuk sang ayah tercinta.
"Pagi, Sayang," sapa Miranda. Dia mengecup kening kedua putrinya bergantian.
"Pagi, Ma," balas Alia sambil tersenyum manis.
"Pagi," ujar Chandani acuh. Bayangan pengkhianatan ibunya terus saja menari-nari dalam ingatan.
Mereka bertiga pun duduk mengitari sebuah meja bundar dan mulai menikmati sarapan sederhana ala suku Sunda tersebut.
"Sayang, hari ini Mama pulang malam lagi, akan ada investor penting datang ke butik," ucap Miranda sembari melemparkan senyuman manis ke arah kedua putrinya.
"Oh," sahut Chandani tak peduli. Dia merasa curiga. Investor kok datengnya malam-malam? Batinnya.
"Adek, tolong jagain, Papa, lagi yah," kata Miranda lalu tersenyum.
"Siap, Ma!" seru Alia bersemangat.
Chandani bangkit dari duduknya dengan kasar. "Maaf, aku harus berangkat sekarang. Assalamuallaikum." Dia menyandang tas selempangnya lalu beranjak pergi.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," balas keduanya bersamaan.
"Teteh kenapa?" tanya Miranda kepada Alia sambil mengangkat kedua alisnya.
"Mmm?" Alia mengangkat sebelah bahunya sambil memonyongkan bibir.
Miranda hanya menggeleng, dia tak menanggapi dengan serius sikap putri sulungnya itu. Mereka pun kembali fokus menikmati menu sarapannya.
***
"Canda," panggil Alicia yang menyadarkannya Chandani dari lamunan.
"Em? Apa?" Dia mendongak menatap Alicia yang duduk di depan meja kerjanya.
"Lo kenapa sih? Pagi ini gue perhatiin ngelamun terus. Lo lagi sakit?" tanya Alicia dengan tatapan serius.
Chandani menggeleng. "Enggak, kok." Dia tersenyum lalu sepersekian detik kemudian wajahnya menampakan keraguan. "Aku cuma lagi mikirin presentasi nanti, aku takut investor kita nggak suka." Kedua sudut bibir Chandani tertarik hingga memperlihatkan gigi putihnya.
"Gitu saja gugup, santai saja. Menurut gue proposal lo itu udah bagus, kok. Gee yakin calon investor kita pasti bakal suka," tutur Alicia. Dia tersenyum sembari melipat tangannya sedada dengan sebelah alisnya yang berkedut-kedut.
"Ya sih. Tapi, nih yah, seandainya," ucap Chandani sembari meneken setiap suku kata. "Kalo investor kita nggak suka, gimana?" tanya Chandani. Dia menghela nafas lemah lalu menekuk wajahnya cemberut.
"Ihh ... Kok lo pesimis gitu, sih? Udah, jangan berpikir macem-macem dulu. Mending lo fokus saja buat presentasi nanti," peringat Alicia.
Chandani menghela nafas panjang. Lalu kembali membalikan lembar demi lembar map di hadapannya.
"Semangat, dong," ujar Alicia. Dia mengangkat kepalan tangannya dengan senyuman lebar kala melihat tubuh lemas Chandani.
"Yosh!" Chandani mengangkat kedua kepalan tangannya ke udara. "Semangat! Semangat!" serunya dengan semangat empat lima.
"Gitu dong, itu baru temen gue," kata Alicia. Senyum puas terpampang di wajah cantiknya.
Kemudian terdengar suara pintu diketuk lalu Mirna pun masuk.
"Kak Canda, para tamu kita udah datang tuh," lapor Mirna.
"Oh, oke." Chandani mengangguk lalu dia bangkit dari duduknya. "Aku ke ruang rapat dulu yah?"
"Sip." Alicia mengacungkan jempolnya. "Awas! jangan gugup." Alicia mengingatnya.
"Hmm." Chandani mengangguk dengan tegas lalu dia pun beranjak pergi.
Dikarenakan ayahnya lumpuh, maka Chandani lah yang kini mengambil alih perusahaan tekstil yang dipimpin ayahnya. Hari ini merupakan hari penting bagi wanita muda itu, karena dia akan kedatangan seorang investor besar sekaligus pemilik perusahaan multinasional raksasa di Indonesia.
"Selamat pagi semuanya," sapa Chandani dengan senyum ramah sebagai sopan santun.
"Pagi," balas satu orang pria dan dua orang perempuan yang berada di ruangan tersebut bersamaan.
Seorang pria lalu berdiri. "Bu Chandani, mohon maaf Tuan Aldebaran tidak dapat menghadiri rapat lagi. Tapi, saya di sini selaku asistennya, hadir untuk mewakilinya," ucap Andy kemudian membungkuk hormat.
"Tidak apa-apa Pak Andy, saya mengerti. Beliau merupakan orang penting dan sibuk, saya memakluminya." Chandani tersenyum dengan sopan.
Andy mengangguk lalu kembali duduk.
"Kalian sudah membaca semua proposal saya 'kan?" tanyanya dengan sopan.
Semuanya mengangguk mengiyakan.
"Baiklah, kita mulai presentasinya sekarang." Mulutnya melengkung membentuk senyuman dan dia pun memulai presentasinya.
Proposal ini menyangkut tentang perencanaan pengembangan dan pemasaran produknya. Selama ini perusahaan tekstil miliknya. Hanya mencukupi untuk kebutuhan kain di dalam negeri. Namun, kali ini Chandani ingin memasarkan produk kain dari perusahaannya ke luar. Dia merasa kualitas kain produksi dari perusahaannya cukup baik dan memenuhi syarat sebagai barang untuk ekspor. Target pemasarannya meliputi negara-negara di Asia Tenggara dan untuk customer-nya, dia menargetkan perusahaan-perusahaan garment. Mengingat pertumbuhan perusahaan garment kini yang semakin hari semakin bertambah.
"Biaya proyek, laba ruginya sudah tercantum dengan jelas di dalam proposal yang kalian pegang. Prospek investasi ini akan menguntungkan jika semuanya berjalan sesuai rencana. Saya akan mengawasi semua prosesnya dengan ketat. Saya takkan mengecewakan kalian, insya Allah. Jadi, apakah kalian setuju untuk bergabung dengan IT dan merealisasikan proyek ini?"
Semua yang ada di ruangan itu mengangguk tanda mengiyakan.
"Tuan Aldebar telah menandatangani proposal ini. Tadi pagi beliau bilang, dia sangat menyukai isi proposal Nona dan Tuan bersedia menginvestasikan satu juta dollar untuk proyek ini."
"Benarkah?" Wajah Chandani tampak cerah. Dia tak menyangka kalau seorang pebisnis besar seperti Aldebaran akan tertarik berinvestasi di perusahaan kecilnya. Entah ini keberuntungan atau apa?
Namun, yang pasti, dia sangat bersyukur untuk kerjasama ini.
"Hmm." Andy mengangguk lalu tersenyum.
"Katakan terima kasih saya kepada, Tuan Aldebaran, ya, Pak Andy," pinta Chandani seraya tersenyum ramah. Alhamdulillah. Batinnya.