Chereads / Diamanti - Merebutmu Kembali / Chapter 4 - 4. Dibalik Cobaan

Chapter 4 - 4. Dibalik Cobaan

Miranda mengetuk pintu kamar Chandani berulang-ulang. Dia ingin memastikan sang anak tidak apa-apa meski dia tahu anaknya tidak akan baik-baik saja. "Teh, Teteh, Teh, buka pintunya, Teh," panggilnya.

"Teteh gapapa, Ma. Maaf, Teteh pengin sendiri dulu." Suara Chandani dari balik pintu.

Miranda hanya bisa menghela napas pelan seraya memandangi sendu daun pintu di hadapannya. Namun, dia segera kembali ke akal sehat saat menyadari kalau dia sudah terlalu lama meninggalkan tamu dan suaminya. Dia pun lalu berbalik meninggalkan Chandani kembali ke ruang tamu.

***

Sementara itu di dalam kamar, Chandani masih berdiri di balik pintu seraya menyandar, merapatkan punggungnya. Kepalanya menengadah menatap nanar ke langit-langit kamar. Wajahnya memerah, dia mengepalkan kedua tangannya kuat. Ada apa ini? Kenapa ada orang itu? Batinnya. Telaga bening meluncur tak dapat terbendung lagi. Hatinya serasa diiris-iris, sakit, perih, pedih.... Dia meringis dengan bibir bergetar, wajahnya sudah dibasahi airmata dengan panas yang seketika merambat ke seluruh tubuh dengan kaki yang mulai gemetar. Dia memegangi dadanya yang berdegup kencang sembari sesenggukan, sesak rasanya, tenggorokan terasa tersedak. Kemudia kedua telapak tangan menelungkup di wajahnya, tubuhnya mulai bergetar dengan lirih suara tangis mengiringi. Dia menangis pelan tetapi, semakin lama semakin keras dan kuat. Isaknya mulai mengeluarkan suara. Rasa nyeri di dadanya kian meradang. Tak kuat rasanya dia menahannya lagi. Ingin rasanya dia mati. Melihat kembali wajah pria itu membuatnya mengingat kembali masa lalunya yang mengerikan dan menyedihkan. Dia sungguh tak tahan dengan semua ini. "Manusia menjijikan!" pekiknya disela tangis. "Kenapa dia enggak mati saja?" Tubuhnya merosot. Lalu dipeluknya kedua lutut, dia menundukan kepala hingga kening menempel pada kedua lutut. Dia menangis hingga terisak, hingga nafasnya tersendat-sendat. Ia menangis sangat lama. "Aaaaaaaaa! Bajingan!" pekiknya. Tangannya memukul daun pintu berkali-kali meluapkan semua amarahnya.

***

Saat itu di ruang tamu hanya tinggal Miranda bersama anak bungsu dan suaminya. Mereka duduk termenung sembari diiringi tangis keras putri sulungnya. Pikiran kedua orang tua itu melayang tak berarah. Lamunan kian pekat melingkupi. Sementara Alia yang tak mengerti apa-apa, hanya duduk diam, dia tak berani bertanya.

Darma merasa tidak enak hati kepada sahabat dan anaknya. Ini semua salahnya, dia tak membicarakannya terlebih dahulu dengan Chandani. Ini semua di luar ekspektasinya, dia telah salah berpikir bahwa mungkin Chandani sudah memaafkan James, tanpa memastikannya terlebih dahulu. Darma mengehala napas panjang, dia menundukan kepalanya lalu tiba-tiba saja rasa sakit yang hebat mendera pada dada kirinya. Dia meringis, tangannya memegangi dadanya, tubuhnya membungkuk. Di merasakan sakit yang luar biasa, yang membuatnya kesulitan bernapas. "Emgh... Arkh...."

Miranda terkejut saat melihat suaminya yang terlihat kesakitan, lalu sontak dia menghampirinya. "Pa! Papa! Papa kenapa?!" tanyanya dengan panik. Dia memegangi tubuh suaminya agar tak terguling jatuh dari kursi roda.

"Papa!" jerit Alia. Matanya membelalang saat melihat keadaan ayahnya, dia turut memegangi lengan sang ayah.

"Dek, cepet panggil ambulance!" seru Miranda dengan wajah menegang.

Alia menganguk dengan raut wajah tegang, lalu segera meraih gagang telepon kabel untuk menelepon rumah sakit terdekat.

Chandani yang mendengar keributan di luar pun segera keluar dari kamarnya. Dia melihat ibu tengah kejal sambil memegangi ayahnya yang duduk di kursi roda. Ayahnya terlihat sedang kesakitan, dia berlari menghampiri mereka. Kemudian dipeganginya kedua pundak sang ayah. "Ma, Papa kenapa, Ma?" tanyanya kepada sang ibu seraya menatap kedua orang tuanya bergantian. Suaranya terdengar parau sisa-sisa jeritan kala dia menangis tadi. Wajah Chandani memucat karena khwatir dengan mata sembab khas orang sehabis menangis.

"Mama juga enggak tau, Teh. Tiba-tiba saja Papa kaya gini," jawab Miranda dengan raut wajah yang sudah carut marut.

"Ma, Teh, ambulancenya sudah sampai!" seru Alia. Lalu dia pergi untuk membukakan pintu, dan tak selang lama, para petugas medis pun datang dengan brankar dorongnya, yang kemudian membawa Darma masuk ke mobil ambulance.

Chandani ikut naik ke mobil itu untuk menemani ayahnya.

Sesampainya disana, ayahnya langsung mendapatkan penanganan. Chandani, Alia, dan ibunya tengah menunggu dengan tak tenang di depan pintu.

Chandani merasa terpukul dengan kejadian ini. Ia merasa sakitnya ayahnya sekarang ini di sebabkan olehnya. "Andai saja aku tak bersikap seperti itu, andai saja aku dapat menahan amarahku," gumamnya seraya memukulkan kepalan tangannya ke dinding. Rasa marah dan kesedihannya bercampur aduk.

"Udah, Teh, jangan kaya gini," ujar Miranda sambil memeluknya. "Tenangkan diri Teteh, daripada Teteh kaya gini, mending Teteh berdo'a sama Allah untuk kesembuhan Papa," tuturnya. Tangannya masih merengkuh sang anak agar dia berhenti menyakiti dirinya sendiri.

Alia hanya diam membisu dengan puluhan pertanyaan di benaknya. Ia baru pertama kali melihat kakaknya seemosional ini, kakaknya yang biasanya tenang, kini tak dapat mengendalikan diri bahkan menyakiti dirinya sendiri. 'Sebenarnya ada apa ini?' tanyanya di dalam hati.

***

Setelah menunggu kurang lebih tiga puluh menit, akhirnya dokter pun keluar. "Keluarga Tuan Drama," seru Dokter Ari.

Miranda, Chandani, dan Alia maju bersamaan. "Gimana keadaan papa saya, Dok?" tanya Chandani.

"Beliau harus segera dioperasi, harap keluarga segera mengurusi administrasi dan menandatangani beberapa formulir."

Alia membekap mulutnya, airmatanya luruh.

Miranda terpelengak setelah mendengarkan ucapan dokter. 'Di operasi? Tapi, uang darimana? Biaya operasi jantung itu sangat mahal.' Ia jatuh terduduk di kursi seraya menatap kosong ke lantai dengan mata melotot.

Chandani seketika merasa lemas, ia menopang tubuhnya ke dinding mencoba untuk berdiri tegak. Namun, usaha hanyalah usaha, tubuhnya tetap merosot tak tertahankan. Airmata membanjiri wajahnya, membasahi jilbab yang tengah dikenakan. Ia meringis, tangis lirih mencekik, dadanya terasa sesak dan berat, serasa ada yang menghimpit tubuhnya. Lalu ia mencoba menenangkan diri, mencoba berpikir dengan jernih, ia teringat kartu rekening perusahaan yang berada di dompetnya.

"Operasi Ayahku malam ini juga, Dok. Kami akan mengusahakan uang itu ada malam ini," ucap Chandani dengan penuh keyakinan.

Dokter itu ragu, ia menatap lekat mencoba mencari kebohongan dari matanya. "Baiklah," ujarnya. Setelah percaya bahwa gadis dihadapannya tidak berbohong atau membual. Dokter itu pun mengangguk lalu ia pergi bersama beberapa perawat untuk mempersiapkan segala sesuatunya.

Miranda menghampiri Chandani. "Teteh punya uang?"

"Enggak, Ma."

Alisnya tersentak bersamaan. "Lalu, uang darimana untuk membayar operasi ini, Teh?" tanya Miranda dengan raut wajah memucat. Ia duduk di kursi tunggu dengan gelisah.

"Aku bisa pakai uang perusahaan, Ma," tuturnya dengan kedua alis yang bertautan, ia berbicara dengan penuh keyakinan.

"Apa? Uang perusahaan?" Miranda terkejut, ia menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan apa yang di pikirkan anak sulungnya. "Tapi___" Belum sempat ia mengutarakan maksudnya, kalimatnya sudah dipotong.

"Sudahlah, Ma. Yang penting Papa bisa dioperasi sekarang," ujarnya malas. Dia duduk di kursi tunggu dengan diam, ia berpikir sejenak. 'Yang aku lakukan ini bener, setelah nanti aku punya uang, aku akan segera menggantinya.' Pikirnya. Ia meyakinkan dirinya sendiri. Lalu Chandani pun bangkit dari duduknya dan beranjak pergi menuju kasir.

***

Ia mengenggam rekening perusahaan dengan erat. 'Ini enggak apa-apa, kan?' gumamnya dalam hati. Tangannya memegangi dadanya yang berdegup kencang, ia mengeratkan pegangannya pada kartu rekening itu. Chandani menghela nafas panjang. "Enggak apa-apa, aku enggak korupsi, aku cuma pinjam dan nanti aku ganti. Papa, mambutuhkan uang ini sekarang," gumamnya meyakinkan diri. Ia mengangguk tegas lalu menghampiri kasir dengan sedikit ragu.

Semua pembayaran dan penandatanganan formulir telah ia lakukan, kini ayahnya sudah bisa dioperasi. Mereka bertiga menunggu dengan tak tenang di ruang tunggu.

Kring! Entah sudah berapa puluh panggilan yang masuk ke handphone Miranda. Mata Chandani tak henti melirik tajam ke arah ibunya dengan sudut mata berkerut. Ia merasa curiga karena ibunya tak mau mengangkat telepon tersebut.

"Telepon dari siapa, Ma? Angkat saja, berisik," ujarnya sembari memperlihatkan raut wajah ketidaksukaannya.

"Oh... em... ini dari Bu Sinta pelanggan butik, enggak apa-apa, enggak perlu diangkat, lagian enggak penting," tutunya. Ia merasakan gugup dengan pandangan aneh sang anak. Ia tak tahu bahwa Chandani telah mengetahui pasal perselingkuhannya.

"Oh." Nadanya terdengar dingin dan acuh. Chandani pun memalingkan wajahnya.

Miranda hanya tersenyum simpul. Ia mengepalkan tangannya. 'Ngapain sih dia nelepon?' Pikirnya sambil mengerutkan kening. Ia menghela nafas panjang, mencoba menenangkan diri. Yaa... Bagaimana pun perselingkuhan itu tidak benar, sudah jelas itu dosa tentunya, sangat wajar jika ia merasa gugup.

"Teh, yang Teteh lakukan itu salah," tuturnya dengan penuh kehati-hatian agar tak menyinggung Chandani. Miranda ingin mencoba menasihati putrinya.

Chandani diam tak menanggapinya, bahkan tak sekelebat pun melirik sang ibu yang tengah duduk di sampingnya. Ia beranjak pergi meninggalkan ibu dan adiknya tanpa sepatah kata pun ia lontarkan. Otaknya disibukan dengan benar atau salah? Ditambah lagi perselingkuhan ibunya yang kembali mencuat di kepala. Bayang wanita itu tengah bercinta di kamar pas terus menari-nari dalam ingatannya. Hal menjijikan itu sungguh membuatnya marah, membuat emosinya tersulut. Sebisa mungkin ia menghindar, ia harus mencoba mengontrol emosinya, ini di rumah sakit, ia tak boleh membuat keributan di sini. Ia mengepalkan kedua tangannya yang berkeringat, darah mendesir merangkak ke seluruh tubuh, yang seketika membuat tubuhnya memanas. Wajahnya memerah, mungkin telur pun akan matang jika ditaruh disana. "Astagfirullahaladzim." Ia mengucap istigfar berulang-ulang, ia memegangi dadanya yang berdegup tak karuan. "Ya Allah, tenangkanlah aku... redamlah amarahku untuk saat ini." Ia berdo'a dengan bibir bergetar. Matanya menggenang, ia menatap nanar lorong rumah sakit yang sepi itu. Ia menyandar menepelkan punggungnya rapat ke tembok, memanguk dengan tatapan tak berdaya, pikirannya melayang ke masa silam saat musibah memalukan itu menimpanya dan sekarang ayahnya lumpuh lalu ibunya berselingkuh, kenapa cobaan hidupnya selalu saja berat? "Aku tahu Kau sangat menyayangiku, aku percaya disetiap cobaan yang Kau berikan pasti ada hikmahnya. Maka, tolong kuatkanlah imanku, kuatkan jiwa dan ragaku dalam menghadapinya," tuturnya. Genangan bening itu kini mulai luruh, mengalir dengan lembut di pipinya, membasahi apa pun yang terlewati.