"Kalo gitu aku pamit pulang yah," ujar Yusuf.
"Oh? Iya, Mas. Aku antar ke depan yah."
"Hmm." Yusuf menganggukan kepalanya sambil tersenyum, lalu dia berpamit kepada Miranda.
Belum sampai lima langkah, mereka berpapasan dengan Alia yang baru saja sampai di sana sambil menenteng plastik berwarna hitam.
"Teteh," sapa Alia.
Chandani tersenyum lalu pandangannya beralih kepada sosok pria tinggi tegap yang berdiri di belakang Alia. 'James, ngapain dia disini?' Pikirnya. Tanpa sadar dia pun mundur. Meski mereka berjauhan tetapi, tetap saja Chandani masih merasa takut bila berhadapan dengannya.
"James Prawiro?" tanya Yusuf memastikan sambil mengerutkan kedua alisnya hingga bertautan.
Aldebar mengangguk sembari tersenyum ramah. 'Siapa orang ini? kenapa dia bisa bersama Canda dan mengenalku?' Pikir Aldebar.
Sepertinya Yusuf menyadari kebingungan Aldebar. "Ini aku Yusuf dari Agung Property."
Kedua alisnya terangkat dengan mulut yang sedikit terbuka. "Oh Yusuf, sorry aku tak mengenalimu tadi," ujar Aldebar. Dia tersenyum ramah lalu mengangkat tangannya mengajak Yusuf untuk berjabat tangan, dan tentu saja hal itu disambut baik oleh Yusuf. "Ngapain kamu di sini?" tanya Aldebar.
"Aku abis jenguk Ayah temanku yang sedang sakit."
"Oh." Aldebar mengangguk. Dia mengerti, Yusuf merupakan teman dari Chandani dan maksud Yusuf, dia baru saja menjenguk om Darma. Batinnya.
"Teteh, Kak James beliin kita nasi padang nih, dia juga beliin semur jengkol Bu Mimi, kesukaan Teteh, mantap kan?" ujar Alia seraya mengangkat tentengannya sembari tersenyum dengan lebar.
Yusuf mengerutkan kening." Kalian saling kenal?" tanyanya sembari menunjuk ke arah Chandani dan Aldebar bergantian.
"Kak James ini, calon suami Kak Canda," ujar Alia watados asal cuap membuat Chandani seketika mendelik tajam kepada adiknya yang cerewet itu. Respon itu membuat bola mata Chandani tampak seperti akan melompat keluar.
Aldebar hanya tersenyum canggung. Dia senang sebenarnya saat mendengar perkataan Alia. Sangat bahagia malahan, dalam hati pun dia mengaminkannya. Hanya saja yang diucapkan gadis remaja itu belum sepenuhnya benar, karena Chandani masih belum memberinya jawaban akan menerima atau menolak lamarannya. Hal itulah yang membuatnya merasa canggung.
"Calon suami? Jadi, maksudnya? Kalian akan menikah?" tanya Yusuf. Ia sedikit kecewa mendengar kabar ini. Sebenarnya dia sudah lama menyukai Chandani dan berniat untuk melamarnya. Iya! Yusuf telah menyukai Chandani dari sejak jaman SMA dulu. Namun, karena dia memegang teguh ajaran Islam, dia menutup diri untuk hal seperti berpacaran. Keduluan orang kan? Pikirnya.
Chandani diam tak menjawab pertanyaan Yusuf. Pikirannya tengah tak fokus, antara marah kepada mulut lemes Alia dan takut berada terlalu dekat dengan James. Matanya pun tak fokus, menatap ke sembarang tempat.
"Eu... Teh, aku ke Mama dulu yah," ujar Alia. Dia merasa takut dengan raut wajah dingin sang kakak. Alia tak tahu pasti apa salahnya. Namun, dia yakin kalau dia telah melakukan kesalahan. Teteh kenapa, sih?
"Mas," panggil Chandani yang menyadarkan Yusuf dari lamunan.
"Eh? Maaf, aku ngelamun tadi." Yusuf tersenyum simpul.
"Ayo, aku antar Mas Yusuf ke depan."
Yusuf mengangguk seraya tersenyum. "Yuk, James, aku duluan yah," ujar Yusuf yang dibalas anggukan oleh Aldebar.
Mereka pun berjalan meninggalkan Aldebar yang masih berdiri diam ditempatnya.
Aldebar berbalik memandangi punggung Chandani yang mulai berlalu hingga menghilang dari pandangan. Terlihat kesedihan di wajahnya saat melihat sikap ramah Chandani terhadap Yusuf, sedangkan kepadanya, Chandani masih saja takut. Bagaimana? Apa yang harus dia lakukan untuk membuat Chandani tidak takut lagi padanya? Desah lirih lolos begitu saja tanpa dia sadari. Burai kesedihan tampak begitu kentara meski takkan ada seorang pun yang pernah menyadarinya. Monster sepertinya memang pantas ditakuti, bahkan oleh Chandani sekalipun.
Aldebar merasa tak berdaya. Ternyata untuk mendapatkan kembali hati Chandani tak semudah bayangannya. Chandani membuatnya menjadi sulit. "Ya Allah, tolong bukakanlah pintu hati Canda untukku, karena Engkau yang Maha Membolak Balikan Hati manusia," gumamnya dalam do'a. Hatinya terasa pedih kala melihat sikap Chandani yang masih saja dingin terhadapnya.
Kemudian Aldebar berbalik menghampiri Miranda dan Alia yang tengah berdiri di depan ICU.
***
Chandani termenung di sisi taman.
Lembayung senja memayung jingga dengan semilir angin sore begitu lembut membelai tubuh. Terasa sejuk dan menusuk. Mata hitam legam Chandani menatap nanar cakrawala. Matanya menggenang, bayang kenang masa lampau kian merajai ingatan. Bibirnya menyulam senyuman getir dengan semburat kesedihan. "Kapankah awan kelabu ini akan sirna dari hidupku?" lirihnya. Angannya melayang ke masa silam. Masa awal di mana dia diliputi kegelapan.
***
Kilasbalik
Lima tahun yang lalu.
"Canda gimana? Kamu mau kan, menjadi pacarku?" tanya James dengan raut wajah serius. Yaa...saat ini adalah tanggal empat belas April. Sesuai nazarnya, selesai ujian nasional, James menyatakan cintanya kepada Chandani. Satu-satunya gadis yang sudah dia sukai selama tujuh tahun lamanya.
Chandani, seorang gadis belia yang baru berusia tujuh belas tahun. Gadis cantik nan lugu. Kulitnya putih, wajah tirus dengan hidung mancung, dan bola mata indah yang menenangkan. Alisnya melengkung teratur, tidak terlalu tebal maupun tipis. Bulu mata lentik nan indah yang meneduhi manik jernihnya dengan rambut panjang berwarna hitam legam ia biarkan terurai begitu saja. Gadis bertubuh tinggi semampai itu merupakan bunga sekolah. Banyak pemuda yang menyukainya dan menyatakan perasaannya. Namun, selalu berakhir dengan penolakan karena, dia hanya mencintai James Prawiro. Satu-satunya pemuda yang telah berhasil meluluh lantahkan hatinya. James sudah cukup lama bertahta di hatinya. Pria itu telah dia sukai selama duabelas tahun lamanya, tepatnya pada usia Chandani yang ke lima tahun.
Chandani mengangguk kepalanya lemah sambil tersipu.
James mengerutkan keningnya lalu memegang kedua bahu Chandani. "Apa itu artinya kau menerima cintaku?" Senyuman menawan kian terpampang nyata dari setiap sudut bibirnya. Dadanya bergemuruh hebat dengan napas mendesak kuat karena gembira yang tertahan.
Seulas senyum menghiasi wajah cantik Chandani, lalu dia pun kembali mengangguk. "Aku mau menjadi pacarmu," lirihnya malu-malu.
"Yes!" seru James terkinjat kegirangan. Dia berteriak, "YESSSS!" James berusaha menetralkan kegembiraannya yang kian meledak-ledak. Kemudian menatap mata Chandani lekat. "Makasih Canda, aku sangat mencintaimu." Dia memeluk tubuh kurus gadis itu dengan penuh kasih sayang.
Senyuman terbit dari wajah cantik Chandani. "Aku juga mencintaimu, Kak," bisiknya.
James mengeratkan pelukannya saat mendengar pengakuan Chandani, lalu melepaskannya dan membingkai wajah gadis mungil itu dengan kedua tangan besarnya, kemudian mengecup keningnya lembut. "Aku akan menjagamu," terucap kalimat manis yang begitu menjanjikan dari mulut pria tampan itu.
"Aku percaya."
***
Sudah sebulan lamanya Chandani dan James berpacaran tanpa sepengetahuan kedua orang tua masing-masing. Mereka sering nonton berdua, makan di cafe bersama, belajar bersama saat pulang sekolah, dan hari ini, James mengajak Chandani untuk berkunjung ke rumahnya. Rumah besar nan megah yang menjadi tempat ternyaman James bernaung.
"Assalamu'alaikum," ucap Chandani saat memasuki rumah.
"Wa'allaikumsalam," balas James yang baru saja tiba bersamanya.
"Loh kok? Kakak yang jawab? Bunda sama Ayah ke mana?" tanya Chandani sembari menunjuk ke arah James heran.
"Bunda dan Ayah lagi jenguk Nenek yang lagi sakit. Mereka bilang sih, mau menginep semalam di sana katanya."
"Oh." Chandani mengangguk membentuk o di mulut cantiknya.
"Ke kamar yuk?"
"Hmm." Ia mengangguk mengiyakan sembari tersenyum manis kepada kekasih hatinya.
James menarik tangan Chandani lalu menaiki tangga dan masuk ke kamarnya.
"Wow, jadi ini kamar Kakak," ucapnya. Nampak kekaguman dimatanya kala menyusuri kamar itu. Ini merupakan kali pertamanya memasuki kamar James. Entah sudah berapa puluh kali dia berkunjung ke rumah ini. Namun, belum pernah sekalipun dia berani masuk ke ruangan itu. Kamar luas yang bercat hitam putih gaya maskulin ala anak laki-laki itu, terdapat banyak poster club sepak bola Juventus terpampang di dinding. James sangat menyukai klub bola tersebut dari sejak kecil. Dia mengidolakan penjaga gawang Buffon and specialy Adel (Alexandro Del Piero) penyerang handal Juve.
"Hmm, ini kamarku," jawab James lalu memeluk tubuh Chandani dari belakang. "Dan kita free sekarang." James mengecup tengkuk dan bahu sang kekasih yang terekspose. Hari ini Chandani begitu girly mengenakan mini dress berwarna pink yang tampak imut. Lengan dan kaki jenjangnya tampak putih dan begitu mulus, sepertinya semut pun akan terpeleset jika berpijak di sana.
"Kak geli," protes Chandani seraya tertawa karena merasa geli.
James membalikan tubuh Chandani hingga menghadapnya. Dia menatap lekat mata indah sang kekasih sebelum menciumnya. Halus dan kenyal bibir James menghisap tepi mulut Chandani yang ranum. Decap lirih lumatannya seolah memancing gairahnya. Jemas sangat mencintai Chandani dan dia tak ingin kelak gadis itu dimiliki laki-laki lain. Hanya James seorang yang boleh mencintainya.
Tiba-tiba saja sebuah ide gila muncul. Sebuah cara agar Chandani hanya akan menjadi miliknya dan takkan pernah dapat terlepas. James menarik pinggang Chandani hingga merapat dengan tubuhnya. Dia menjeratnya erat. James membelai rambut panjang kekasihnya tanpa melepaskan ciuman mereka. Kemudian, dia mendorong tubuh gadis mungil itu kekasur hingga terlentang sempurna di bawah kukungannya. Chandani yang lugu dan polos hanya menurut. Dia tak tahu kalau kini dia sudah terlilit ranjau cinta sang kekasih.
Tangan nakal James mulai bergerayang. Dia elus paha putih mulus kekasihnya lalu masuk merogoh ke bagian dalam rok pendek Chandani.
Chandani mengerutkan kening saat merasakan tangan James melakukan itu. Didorongnya dada bidang lelaki di atas tubuhnya hingga melepaskan pagutan mereka. "Kakak mau ngapain?" tanyanya dengan mata menatap lekat sang lawan bicara.
"Aku mau ml," jawabnya sambil tersenyum manis.
"Hah?" Chandani termangu. "Maksud Kakak, apa?"
"Ml, Sayang, making love," jelas James mengulangi kalimatnya sambil membelai wajah cantik kekasihnya penuh damba. "Gapapa, kita kan saling mencintai," tuturnya santai seraya melemparkan senyum manis.
Chandani menautkan kedua alisnya seraya menatap lekat lelaki di atasnya. Chandani memang polos tetapi, dia tidaklah bodoh. Dia tahu mengenai sex karena, pernah ada sex education di sekolah, belum lagi ada dalam pelajaran Sains. Sex adalah prilaku intim manusia yang paling primitif yang hanya boleh dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah. "Enggak, Kak. Kita enggak bisa ngelakuin itu. Kita bukan pasangan suami istri dan lagi kita masih sekolah. Maaf, Kak, aku enggak bisa, aku takut hamil," jelas Chandani berusaha bersikap tenang. Meski yang diinginkan James cukup membuatnya tercengang.
"Enggak bakalan, Canda. Kamu enggak bakalan hamil. Percaya sama aku, kita hanya akan melakukannya sekali. Aku janji, kamu enggak bakal hamil," bujuk James.
Chandani masih menolaknya. Dia menggelengkan kepalanya cepat dengan raut wajah gelisah. "Enggak, Kak. Aku enggak bisa. Maaf, tapi untuk yang satu ini aku enggak bisa nurutin. Lebih baik aku pulang saja," jelas Chandani lalu mendorong sang kekasih dan menggulingkannya ke sisi tubuh.
Dia bangun dan beranjak pergi. Namun malang, James dapat meraih tangannya sebelum dia berhasil meraih gagang pintu. Kemudian lelaki itu menariknya dan kembali medorong tubuh mungil Chandani ke tempat tidur dan menindihnya. "Kamu mau ke mana, Sayang?" tanya James sembari mengerutkan kening dengan mata menatap lekat ke arah Chandani.
"Ma-maaf, Kak. Aku harus pulang."
"Pulang?___Baru juga jam tiga sore. Nanti saja pulangnya aku anterin yah."
"Enggak mau, Kak. Aku mau pulang sekarang. Awas kak, aku mau pulang," rengek Chandani sambil berusaha menyingkirkan tubuh James dari atas tubuhnya. Namun apa daya? Tubuh lelaki itu seakan bertambah berat, bahkan dorongannya saja tak membuat tubuh James bergeming.
"Sayang, mending kamu nurut deh. Kita cuma mau ml. Enggak yang aneh-aneh kok, kamu kaya mau di apain saja. Hal seperti ini tuh wajar dilakukan sama orang yang pacaran," tutur James.
Chandani menggelengkan kepalanya kuat. "Enggak Kak! Awas...aku mau pulang. Tolong biarin aku pulang, aku pengin pulang saja." Tangannya masih berusaha mendorong tubuh James.
James menghela napas geram lalu memegangi kedua tangan Chandani."Kamu tuh keras kepala banget sih, Yaang! Kita kan, cuma mau ml."
"Enggak, Kak. Aku enggak mau, lepasin aku, Kak." Chandani mencoba menarik tangannya dari genggaman kuat sang kekasih, rasa takut mulai menyerangnya. Dia mulai merasakan ketakutan terhadap lelaki itu.
"Kamu tuh cinta enggak sih sama aku?" tanya James kesal.
"Aku cinta, Kak. Tapi, kita enggak harus kaya gini. Please lepasin tanganku, tanganku sakit, Kak," rengeknya. Namun, tak diindahkan oleh James.
Melihat Chandani yang mengeliat meminta dilepaskan. Malah membuatnya semakin bergairah, dan semakin penasaran ingin merasakan tubuh di bawahnya itu. Kemudian James merapatkan tubuhnya dan Chandani. Dia kembali melumat bibir manis sang kekasih tetapi, Chandani yang tak terima tiba-tiba saja mengigit bibir James hingga berdarah. Hal itu membuat James amat kesal bahkan marah.
"Arh, Canda, apa yang kamu lakukan?" tanya James geram. Dia mengelap darah di sudut bibirnya dengan kasar. "Kamu emang enggak bisa dibaikin." James mulai melucuti pakaian Chandani dengan kasar. Dia menarik dan lempar pakaian Chandani begitu saja. Yang tinggal kini hanya tubuh polos gadis itu. James tersenyum kala telah berhasil menelanjangi sang kekasih. Dilihatnya setiap lekuk tubuh Chandani yang tak lagi ditutupi sehelai benang pun. James menyeringai, tersenyum puas penuh kemenangan.
Wajah Chandani memerah, dia malu karena James melihat tubuhnya yang tanpa busana kini. "Lepasin, Kak, atau aku teriak," ancamnya.
"Silakan kalo kamu mau teriak. Mau sampai tenggorokanmu putus pun, enggak akan ada yang akan mendengarmu. Karena di rumah ini hanya ada kita berdua. Apa kau lupa?" ujarnya acuh sambil memyeringai miring.
Air mata Chandani kian bertumpah ruah, dia tak tahu lagi apa yang harus dia lakukan untuk menghentikan James. Lelaki itu benar-benar ingin menyentuhnya. James benar-benat sudah kehilangan akal. Bagaimana ini? "Kak, aku mohon, tolong lepasin aku," lirihnya dengan wajah memelas, berharap James akan merasa iba. Airmatanya semakin deras mengalir. Saat ini dia sangat ketakutan dan putus asa. Sulit dipercaya, kakak James yang selama ini dia cintai telah berbuat seperti ini. Semula dia berpikir James adalah seorang lelaki yang baik dan juga sopan. Namun, ternyata dia telah salah menilainya. Kini Chandani menerima akibat dari kenaifannya. Dia sangat kecewa dan hatinya terasa amat sakit mendapatkan perlakuan seperti ini dari James. Sungguh cinta yang menyedihkan.
"Kamu enggak akan bisa pulang sebelum menuruti keinginanku," ujar James dengan tegas. Kedua tangannya semakin kokoh memegangi tangan Chandani, tak peduli jika itu akan menyakiti.
Chandani meringis dengan air mata berlinangan di wajahnya. Dia menggeleng dengan tubuh bergetar. "Enggak, Kak. Aku engga bisa," ucapnya lirih. Hatinya terasa pedih.
"Kamu tuh keras kepala banget sih," keluh James yang mulai kesal. Tangannya terasa gatal ingin segera menyentuh tubuh indah Chandani. Kemudian tangannya meraba, bahkan meremas dada gadis kecil itu tanpa ragu.
"Enggak, Kak. Jangan... jangan! Tolong hentikan!" pekiknya panik disela tangisan yang mengharu biru.
Namun, James malah semakin beringas, dia tak menggubris rengekan Chandani. Yang ada di kepalanya hanya nafsu yang kian mencuat di ubun-ubun. James tak kuasa jika harus menahannya lagi. Telinganya ditulikan dan matanya telah dibutakan, dan kini dia telah menjadi budak nafsu. Setan telah berhasil menguasa raganya. Dengan tubuh dikelumuni gairah, dia pun menyatukan tubuhnya dan Chandani. Dia memasuki hanya dengan satu hentakan hingga membuat gadis itu mengerang kesakitan.
"Sakit, Kak! Sakit! Lepas...lepasin aku,"rengeknya disela tangis pilu. Hatinya hancur hingga berkeping-keping. Dunia bagai runtuh untuknya. Chandani merasa pedih dan perih di sekujur tubuhnya. Dia kecewa, sangat kecewa kepada James. Chandani amat menyesali keputusannya menerima cinta pemuda itu. James jahat, binatang, binal. Aku membencimu dan aku takkan pernah memaafkanmu. Dalam benaknya. Chandani menangis menjerit-jerit selama James menjamahnya. Hatinya sungguh tak ikhlas, dia tak terima diperlakukan sedemikian sekejinya. "Kau jahat! Bajingan! Aku membencimu! Kamu binatang!" teriaknya kepayahan dengan bulir air mata yang kian deras membanjiri pipi.
"Ssssstttttt, diamlah, Sayang. Sebentar lagi kau akan merasakan kenikmatan. Percayalah, rasa sakit ini takkan lama."
Tangis Chandani semakin menjadi setelah mendengar ucapan santai dari James. Dia benar-benar tak tahu harus bagaimana lagi agar bisa melepaskan diri. James sungguh tak memberinya celah.
Setelah melakukan sebanyak tiga kali, James pun menghentikan aktifitasnya. Dugaannya ternyata salah, dia mengira akan puas setelah melakukannya sekali saja. Namun, ternyata rasanya senikmat itu, membuat James ingin mengulanginya lagi dan lagi. Kini hasratnya telah terlampiaskan, James benar-benar merasa terpuaskan. Tak disangka dia akan melakukannya hingga kelelahan. James merasa amat bahagia. Kini Chandani telah menjadi miliknya seutuhnya. Gadis itu takkan mungkin berani meninggalkannya. "Your mine."
James merasakan keringat sudah melumuri tubuhnya. Dia pun bangun bermaksud pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. "Selamat malam, Sayang. Terima kasih untuk hari ini. Kau sungguh menakjubkan," ucap James lalu mengecup kening Chandani yang tengah terlelap karena kelelahan. Kemudian dia bangkit lalu masuk ke kamar mandi.
Chandani yang berpura-pura tidur pun lantas segera bangun, lalu memunguti pakaiannya dengan perasaan yang tak karuan. Hatinya sungguh telah hancur. Setelah memakai kembali gaunnya yang telah koyal, Chandani pun keluar dari kamar itu hendak melarikan diri. Dia berjalan dengan terhuyung-huyung menahan sakit para organ intim dan sekujur tubuhnya. Dia terus berjalan meski kerap kali terjatuh. "Ayo, please, kuatlah. Dasar tubuh payah tak berguna," keluhnya seraya terus berjalan. Keadaannya saat ini sungguh sangat menyedihkan.
Chandani sungguh tak sabar ingin segera menemukan pintu keluar. Dia ingin segera meninggalkan tempat terkutuk itu, lalu pulang ke rumah. "Emgh." Chandani membekap mulutnya dengan sebelah tangan lagi meremas perutnya yang terasa sakit. Dia berjalan sambil berpegangan ke dinding. Perut bagian bawahnya sungguh terasa amat pedih dan ngilu. Air matanya bercucuran tak mau berhenti meski beberapa kali pun dia mengusapnya tetapi, pipinya tetap saja basah.
Tiba-tiba saja,
Ceklek...
"Canda, kamu...?" ucap Aisyah yang baru saja memasuki rumah. Senyumannya seketika lenyap saat melihat keadaan Chandani. Dia terkejut.
Chandani berlari memeluk Aisyah. "Bunda," serunya dengan tangis yang kian menjadi. Dia menangis meraung-raung.
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Aisyah lalu membawa Chandani duduk di sofa. Dia mengelus lembut punggung gadis mungil itu dengan penuh kasih sayang. Namun, tanpa sengaja matanya melihat sebuah kissmark pada leher gadis kecil itu. Kemudian disingkapkannya rambut panjang Chandani untuk melihatnya lebih jelas. Alangkah terkejutnya dia saat mendapati leher dan dada Chandani dipenuhi bekas gigitan.
"Yah, lihatlah," katanya kepada Daniel dengan raut wajah tegang. Dia menunjukan leher dan tengkuk Chandani kepada sang suami.
Daniel mengerutkan kening. "Apa James yang melakukan semua ini?"
Chandani yang masih dalam dekapan bunda Aisyah pun lantas mengangguk mengiyakan.
"Astagfirullahaladzim, Yah," lirih Bunda Aisyah. Tiba-tiba saja dadanya terasa sesak, air mata wanita dewasa itu mulai mengenang. "Gimana bisa terjadi seperti ini, Nak?" tanya Aisyah.
Daniel mengusap wajahnya kasar. "Kamu diapain sama dia?" tanyanya yang mulai geram.
"Kak- ka... mak- -sa a-aku ml," ucapnya tersenggal-senggal karena sesegukan.
"APA? ANAK KURANG AJAR!" pekik Daniel sambil memukul geram tangan kursi yang tengah dia duduki. Seketika amarah menyala-nyala dalam tubuhnya. Daniel mengeratkan kepalan tangannya dengan raut wajah yang menampakan kemarahan. Tubuhnya lelah setelah seharian berkendara dan saat sampai di rumah, Daniel malah mendapati kejadian seperti ini. Semakin tersulutlah amarahnya.
"Ya Allah," lirih Bunda Aisyah. Di membekap mulutnya dengan tubuh yang bergetar. Dia sungguh tak percaya anaknya bisa melakukan hal sekeji ini. Anak semata wayang yang teramat dia sayangi dan manjakan itu ternyata berani melakukan hal sebejat ini. Tangis pilu bunda Aisyah pun lolos begitu saja dari mulut. Dia sungguh kecewa, James sungguh sudah mencoreng-coreng wajah Aisyah dengan tinta kenistaan yang teramat memalukan.
Daniel beranjak dari duduknya dengan geram. Dia bermaksud untuk menghampiri James ke kamar. Namun, baru beberapa langkah dia mengayuh kakinya, James tiba-tiba saja menurini tangga dengan hanya mengenakan celana boxer biru bertelanjang dada.
"Canda," panggilnya lembut. James tengah mencari Chandani yang tiba-tiba saja menghilang dari kamarnya. Dia masih belum menyadari kedatangan kedua orang tuanya.
"JAMES!" pekik Daniel lantang penuh amarah.
James yang baru saja sampai di lantai dasar lantas tersentak. "Da- Dad, kok udah pulang?" tanyanya spontan dengan tergagap. James langsung merasa gugup.
"Kenapa memang? Kamu enggak suka lihat Ayahmu ada di rumah?" tanyanya sinis.
"Bu-bukan begitu," jawab James gelisah. Dia takut ayahnya akan mengetahui hal yang baru saja dilakukannya. Kemudian tangan James ditarik sang ayah dengan kasar menuju ruangan depan. Di sana dia dapat melihat ibunya yang tengah memeluk Chandani yang sedang menangis.
"Apa maksudnya ini? Kamu apain anak gadis orang?" teriaknya lagi dengan nada suara yang lebih tinggi.
"A-aku____" James yang gugup tak dapat menjawab pertanyaan ayahnya. Dia menunduk dengan gelisah dan rasa takut yang sudah menyelimuti. Dia tahu kalau semuanya sudah berakhir. Chandani pasti sudah mengadu kepada ayah dan ibunya
"Kamu telah memperkosa anak dari sahabatku, James!" bentaknya dengan mata menatap tajam sang anak. "Laki-laki macam apa kamu?" Lalu ditoyornya kepala anaknya itu. Sungguh dia ingin melakukan lebih dari itu. Tubuhnya sungguh geram dan tak tahan lagi ingin menghajar anaknya.
James langsung berlutut di kaki Daniel. "Maaf, Dad. Aku khilaf, maafkan aku," ucapnya dengan raut wajah memohon.
Bukannya mendapatkan maaf, James justru mendapatkan tendangan dan pukulan dari sang ayah. Daniel sungguh sangat kecewa dengan kelakuan anaknya. Anak yang selama ini dia bangga-banggakan karena memiliki banyak prestasi, kini telah menodai nama keluarga. James sungguh sudah berbuat kelewatan. Hatinya amat sakit dan kecewa karena kelakuan sang anak. Daniel sungguh telah gagal mendidiknya. Kepercayaan diri kian menciut.
Bunda Aisyah yang tak tega hanya bisa menunduk sambil terisak. Dia tak berani membela anaknya, karena James dalam posisi yang bersalah. Dia hanya bisa memeluk Chandani lebih erat. Dia dan Chandani menangis bersama. Dia yakin, tak ada yang lebih terluka lagi selain Chandani. Gadis belia itu pasti merasa sangat hancur saat ini. Kekerasan seksual merupakan beban terberat bagi seorang wanita. Tidak ada yang akan bisa memahami bagaimana pedihnya jika tak merasakan sendiri. Dampak dari kekerasan seksual sungguh tak main-main, korban biasanya akan mengalami trauma batin yang luar biasa berat. "Maafkan Bunda, Nak." Aisyah memeluk Chandani lebih erat sambil menangis.