Chereads / Diamanti - Merebutmu Kembali / Chapter 7 - 7. Kilasbalik 2

Chapter 7 - 7. Kilasbalik 2

Kilasbalik

"Ampun, Dad. Maafkan aku," mohonnya meminta ampun supaya ayahnya berhenti menghajarnya. Sekujur tubuhnya telah dipenuhi luka dan dia sungguh sudah menyesali perbuatan buruknya.

"Ampun kamu bilang, lalu apa yang kamu lakukan saat Canda meminta ampun? Apa kau menghentikan perbuatanmu?" Daniel murka dengan napas memburu. Kini amarahnya sudah di ubun-ubun, sudah di ambang batas kesabaran. Mungkin jika kesabarannya telah habis, dia akan membunuh anaknya saat itu juga. Namun, Daniel masih ingat Allah, masih ingat dosa, ingat ada Tuhannya yang tengah mengawasinya. Daniel mengusap wajahnya frustasi lalu duduk dengan napas yang engos-engosan. Benih bening muncul pada sudut matanya dan luruh menuruni pipi pria dewasa itu. Dia merasa sudah gagal sebagai seorang ayah, dia merasa tubuhnya telah dilumuri kotoran yang dilemparkan oleh anak kandungnya sendiri. "Ya Allah, kenapa cobaan untukku amat berat?" racaunya disela tangis. Daniel memijat kepalanya dengan manik terpejam yang tak henti-hentinya mengeluarkan air mata. Tubuhnya bergetar, dia kecewa, amat kecewa sampai rasanya menyesakan dada.

James yang sudah babak belur lantas duduk di lantai, tertunduk. Kemudian dia beringsut dan mengapai lutut sang ayah. "Maafin James, Dad," ucapnya dengan airmata berlinangan. James sungguh merasa bersalah.

Daniel menepiskan tangan anaknya dari pangkuannya. "Pergi kamu, anak kurang ajar!" teriaknya.

"Maafin James, Dad. Aku sudah salah. Aku khilaf, Dad."

"Khilaf kamu bilang?" Daniel menjabak rambut anaknya lalu menengadahkannya hingga mata mereka bertemu. "Berapa kali kau melakukannya?"

James kini menatap langsung mata tajam sang ayah. Tak ada sedikit pun kelembutan dan belas kasih yang dia rasakan. James hanya dapat melihat kemurkaan di sana. Dia hanya bisa mengerjap-ngerjapkan matanya yang nanar lalu menjawab pertanyaan ayahnya lemah. "Ti-tiga, Dad."

"Apa?" Daniel melepaskan jambakannya dengan kasar lalu menendangnya dada anak semata wayangnya dengan cukup keras. "Brengsek!" makinya.

James terjengkang ke belakang seraya terbatuk. "Uhuk...uhuk..." James memegangi dadanya yang terasa sesak dan sakit.

Daniel terperenyak dengan kekalutannya. Kesedihan tampak kentara pada raut wajah pria dewasa itu. "Dimana nuranimu James? Kenapa kamu sampai berani melakukan perbuatan tercela seperti ini? Dia Chandani, anak gadis sahabatku. Kenapa kau tega melakukan perbuatan sekeji itu padanya? Apa yang harus kukatakan pada Ayahnya nanti?" lirihnya sambil mengusap air mata.

James diam tertunduk dengan rasa bersalah yang terus menusuki batinnya.

Daniel memijat keningnya. "Telepon polisi, Mom," ucap Daniel kepada istrinya yang masih duduk sembari memeluk Chandani.

Aisyah lantas merogoh tas tangannya lalu mengambil handphone.

"Apa?" James berhenti terbatuk karena terkejut. "Dad, tolong jangan laporin James ke Polisi. James akan bertanggung jawab, James akan menikahi Canda," ucapnya memohon dengan tubuh gemetar. Air matanya tak henti mengalir. James takut, sangat takut akan dipenjarakan.

"Apa? Menikah? Kau pikir Canda akan mau menikah denganmu setelah kau melakukan semua ini?" sinis Daniel dengan tatapan meremehkan.

James berbalik kepada Chandani, dia berlutut di depan gadis itu. "Canda, kau mau kan, menikah denganku?" tanyanya dengan raut wajah memelas.

Chandani beringsut menjauhi James lalu mengeratkan pelukannya kapada Aisyah meminta perlindungan.

"Kau lihat sendiri kan? Itu artinya dia enggak mau!" tukas Daniel.

James lalu beralih ke ibunya, dia berlutut dengan penuh rasa takut. "Tolong, Mom, jangan laporin James ke Polisi," pintanya disela tangis. James menggapai pangkuan Aisyah tetapi, tangannya ditepiskan.

Kemudian dia kembali berbalik dan berlutut di kaki Daniel. "Please, Dad. Tolong jangan laporin James ke Polisi. James mohon, Dad. James janji akan berubah," pintanya sembari menangis.

"Berubah? Berubah jadi apa? Penjahat?___Kau tak beda dari seorang penjahat, James. Apa kamu tidak tau kalo yang telah kamu lakukan adalah tindakan kriminal?___Telepon Polisi sekarang, Mom," titah Daniel.

Tubuh James semakin bergetar hebat, dia tidak mau dipenjara. Penjara amatlah angker dan horor bagi siapapun, terlebih bagi anak manja sepertinya. Dia pasti akan sengsara di sana. Dia tidak akan bisa makan dan tidur dengan baik di sana. Namun belum sempat Aisyah menelepon polisi, tiba-tiba saja bel pintu rumahnya berbunyi. Aisyah dan Daniel saling pandang.

"Buka, Mom," ujar Daniel.

Aisyah pun mengangguk, lalu beranjak untuk membukakan pintu sambil mengelap wajahnya yang basah dengan jilbab. Wajah wanita dewasa itu tampak kusut dan kelelahan. Namun, langkahnya tiba-tiba saja tersentak kala melihat siapa sang tamu. Mereka ternyata kedua orang tua Chandani, Miranda dan Darma. "Kalian?" Detak jantung Aisyah seketika berpacu. Entah apa yang harus dia katakan atau bagaimana memulainya. "Ada apa malam-malam ke mari?" Hanya kalimat itu yang mampu terlontar dari mulutnya.

"Kak Ais, ada Canda enggak di dalam? Soalnya tadi siang dia pamit mau pergi sama James, dan sampai sekarang masih belum pulang juga," tutur Miranda dengan raut wajah cemas. Kini dia sangat mengkhawatirkan anak gadisnya, yang belum juga pulang meski malam sudah larut.

Aisyah menghela napas panjang dengan perasaan gugup dan takut menggerayangi. "Masuklah."

Aisyah pun masuk bersama kedua tamunya yang mengekor di belakang. Alangkah terkejutnya Miranda dan Darma saat melihat Chandani.

Miranda menghamburkan pelukannya. "Teh, Teteh kenapa? Apa yang terjadi? Teteh, ke mana saja?" tanya Miranda.

"Kamu membuat Papa cemas, Nak. Tolong lain kali jangan seperti ini lagi." Darma memeluk anaknya. Baik Miranda maupun Darma belum menyadari keadaan anaknya. Mereka masih terlalu senang karena berhasil menemukannya.

"Ma, Pa, aku mau pulang," ucap Chandani disela tangis yang mengiris hati. Terdengar amat kesakitan, seperti tengah terluka.

"Iya, Sayang, ayo kita pulang." Darma.

Chandani menganggukan kepala lemah hingga tanpa sengaja melongsorkan rambut panjang yang menutupi bahu, sampai memperlihatkan bagian leher yang dipenuhi tanda kissmark. Miranda memicinkan matanya lalu, disingkapkanlah surai panjang nan legam anaknya. "I-ini apa?" Dia melihat gugup tanda gigitan pada leher dan bahu, bahkan dada dan tengkuknya pun penuh dengan tanda itu.

Darma pun mengikuti arah pandang sang istri. "Astagfirullahaladzim, ini tanda gigitan," ucapnya dengan mata membulat. "Apa maksudnya ini, Dan? Kenapa___" Darma mengurungkan kalimatnya kala melihat Daniel yang tengah menunduk dengan raut wajah sendu lalu, tatapannya beralih ke arah James yang duduk di lantai dekat kaki ayahnya dengan kepala tertunduk dalam. "Dan, anakku kenapa?" tanya Darma seraya menatap ke arah sahabatnya lekat.

Namun, Daniel tidak menjawab, dia masih terus diam dengan kepala tertunduk. Melihat sahabatnya hanya diam, membuat Darma gelisah bahkan marah. Dia tahu kalau Daniel pasti mengetahui sesuatu. "DAN, ANAKKU KENAPA?" teriak Darma yang mulai tak dapat mengendalikan amarahnya. Bukti kissmark dan gaun Chandani yang sudah robek membuat kepalanya menyimpulkan hal yang menyakitkan.

"Dama, sabar," ucap Aisyah mencoba menenangkan meski dengan rasa takut yang kian terrajut.

"SABAR? BAGAIMANA SAYA BISA SABAR, AIS. LIHAT KEADAAN ANAKKU." Darma berdiri dengan geram.

Aisyah pun menunduk diam dengan burai air mata yang terus mengalir.

"Maaf," lirih Daniel.

"Maaf? Maaf untuk apa?" Darma mengerutkan kening seraya menatap sang sahabat. "A-apa mungkin anakmu yang telah melakukan semua ini?" Darma dengan napas memburu dan telunjuk yang menunjuk geram ke arah James, pemuda itu masih bertelanjang dada dengan tubuh yang sudah babak belur dipenuhi luka.

Daniel kembali diam dan wajahnya kembali memunduk. Dia tak berani menatap mata sahabatnya yang dipenuhi kobaran amarah.

"Jawab, Dan!___Apa itu artinya benar? Anakmu yang sudah melakukan ini?" tanyanya serius.

Daniel kembali memijat kening tanpa menjawab, begitu pun dengan Aisyah, istrinya itu hanya terus menunduk.

Darma terperenyak, dia mengusap wajahnya kasar. "Argh!" Dipukulnya meja tamu di hadapan dengan sekuat tenaga. Dadanya sudah sesak dipenuhi amarah.

Sementara Miranda, dia menatap tajam sepasang suami istri di hadapannya.

Darma mencoba mengatur napas lalu dengan suara melembut, dia bertanya kepada sang anak. "Teh, Teteh diapain?"

Chandani menengadah menatap ayahnya tetapi, lagi-lagi Darma tak memdapatkan jawaban untuk pertanyaannya. Sang anak hanya bisa menangis, dia tak mampu menjawab pertanyaan sang ayah.

"Dama," panggil Daniel yang membuat Darma menoleh ke arah sang sahabat. "Aku tau kalo aku tak pantas dimaafkan. Tapi, aku tetap akan meminta maaf. Maafkan aku, aku akan menjelaskan semuanya," lirihnya. Lalu Daniel dengan lugas menceritakan semuanya. Menceritakan apa yang baru saja menimpa anak dari sahabatnya tersebut.

"A-apa?" Darma menatap sabahatnya tak percaya.

"Astagfirullahaladzim." Miranda membekap mulutnya lalu tangis pun mengiringi. Dia memeluk anaknya lebih erat. Musibah yang baru saja dialami Chandani sungguhlah berat. Dia tak sanggup membayangkan bagaimana keadaan hati sang anak saat ini. Chandani pasti sangat hancur akibat peristiwa ini.

"Maafkan kami, Dama, Dek Mira. Maafkan kami," ucap Aisyah sambil menangis.

Marah? Tentu saja kedua orang tua Chandani akan marah, sangat marah malahan. Orang tua mana yang takkan murka dan sakit hati saat mengetahui anaknya diperlakukan tidak adil dan sedemikian kejinya. Darma langsung menghampiri James dengan geram, lalu menarik lengan pemuda itu dengan kasar. "Bajingan! Tega sekali kau melakukannya kepada anakku. Apa salah anakku?" Kemudian Darma mendorong James dengan sekuat tenaga hingga tersungkur di kaki kursi.

Aisyah berlari lalu merengkuh anaknya. "Hentikan, Dama! Ampuni anakku! Mas Daniel sudah menghajarnya habis-habisan, tolong jangan memukulinya lagi. Ampuni anakku, aku mohon. Maafkan kami." Wanita dewasa itu menangis sambil memohon ampun. "Kalo kamu ingin menghajarnya, pukuli saja aku. Aku yang salah, aku yang tidak bisa mendidiknya dengan baik. Semua ini salahku."

Daniel tertunduk dengan tubuh bergetar akibat isak. Hatinya sungguh sakit kala mendengar istrinya memohon ampun untuk kesalahan anaknya. Dia tak sanggup lagi untuk berbicara, dia tak bisa membela sang anak, dia amat menghormati Darma. Sebagai sesama orang tua, dia menyentuh hatinya. Dia tahu bahwa keluarga Darma lah yang paling tersakiti di sini.

Darma menjatuhkan diri ke sofa di belakangnya sambil terisak. "BERENGSEK!" pekiknya penuh amarah sambil memukul sofa dengan sembarangan.

"Aku harus gimana, Kak Ais? Apa dengan kami memaafkan anakmu, itu akan mengembalikan tubuh anakku seperti semula?" Miranda menangis diiringi suara yang memilukan. Dia sungguh tak dapat menerima semua ini. Dia tak rela anaknya dilukai seperti ini.

Aisyah hanya mampu menangis, dia tak bisa menjawab pertanyaan Miranda. Bagaimanapun, James takkan bisa mengembalikan tubuh Chandani seperti semula.

"Aku menyesal, Mom," lirih James sambil menangis dan masih dalam dekapan sang ibu.

Aisyah memeluknya lebih erat.

"Menyesal? Sudah begini kamu baru menyesal? Apa kamu tidak memikirkan semuanya terlebih dahulu sebelum berbuat? Hah? Kau sudah melukai anakku, James. Aku sungguh tak rela, sampai kapanpun aku takkan pernah ikhlas," tutur Darma di sela tangis. "Aku dan ayahmu berencana untuk menjodohkan kalian saat dewasa nanti. Tapi, sepertinya Tuhan berkehendak lain. Aku tarik kembali ucapanku. Kau tak pantas untuk Chandani. Kau terlalu rendah untuk anakku yang mengagumkan. Kau tak lebih baik dari seorang bajingan!"

Air mata James semakin deras mengalir. Dia sungguh baru mendengarnya. James sungguh merasa menjadi manusia terbodoh di dunia. Nyatanya yang telah dia lakukan tak membuat dirinya dan Chandani bersatu. Hal itu justru malah merusak rencana masa depan ayahnya dan Darma. Kini dia bahkan tak memiliki kesempatan untuk mendapatkannya. Darma takkan mungkin mau menikahkan Chandani dengannya. Kenapa aku begitu bodoh? Batinnya teramat menyesal.

"Dama, maafkan aku. Semua ini salahku, aku yang telah gagal mendidik anakku." Daniel menunduk dalam, sungguh dia tak mempunyai keberanian untuk menatap wajah sahabatnya. "Kalo kalian ingin mempolisikannya, aku ikhlas," imbuhnya.

Darma tertunduk. Dia sungguh sangat ingin mempolisikan James. Dia ingin anak itu mendapatkan hukuman yang setimpal. Dia ingin James merasakan bagaimana dingin dan menakutkannya jeruji penjara. Namun, dia takut kejadian ini akan terekspose ke luar, dan diketahui banyak orang. Bagaimanapun sangsi sosial untuk korban kekerasan seksual amatlah berat. Dia takut jika melakukan hal itu justru akan membuat anaknya kesulitan untuk melanjutkan hidup. "Enggak, Dan. Aku enggak akan melakukan itu. Biarlah Tuhan sendiri yang membalas perbuatan bejatnya. Hukuman Allah lebih adil dan menyakitkan dari hukuman dunia. Biarkan anakmu hidup dengan rasa bersalahnya seumur hidup. Dia tak pantas dimaafkan dan hidup bahagia. Biarlah dosa dan rasa bersalahnya yang akan menemaninya. Semoga dia bisa menikmati sisa hidupnya yang dilumuri dosa." Darma pun berdiri lalu mendekati istri dan anaknya. "Ayo, kita harus pulang. Aku enggak tahan berada di neraka ini lebih lama." Darma membantu Chandani berdiri lalu memapahnya.

"Mas___" Miranda hendak mengatakan sesuatu tetapi, Darma segera menggeleng. Sepertinya Darma sudah menebak apa yang akan istrinya katakan. Miranda tak setuju dengan keputusan suaminya. Dia lebih setuju kalau James dipolisikan.

"Nanti kita bicarakan di rumah. Sekarang lebih baik kita pulang dulu, kasian Canda, dia pasti sangat lelah." Darma menatap pilu anaknya. Air matanya kembali menggenang kala melihat keadaan putri cantiknya yang mengenaskan.

Darma dan Miranda pun keluar dari rumah itu tanpa menole lagi ke belakang. Bahkan mereka tak mengucapkan salam. Darma sudah terlalu jijik untuk berada di sana. Dia tak sudi lagi berramah tamah kepada mereka.

***

Sesampainya di rumah, Miranda mengantarkan Chandani ke kamarnya sedangkan, Darma duduk termenung di ruang tamu.

Setelah memastikan Chandani tidur, Miranda pun menghampiri suaminya di sana. "Papa gimana sih? Harusnya Papa laporin si James ke Polisi. Dia sudah jahatin anak kita, dia sudah menghancurkan masa depan Chandani," tuturnya lantang. Hatinya sungguh panas dikuasai amarah.

Darma yang tengah duduk di sofa pun memijat keningnya. "Keputusan Papa adalah yang terbaik untuk anak kita, Ma."

"Terbaik gimana?" tanyanya sewot. "Papa tuh baru saja lepasin penjahat, Pa. Harusnya James dipenjarakan dan dihukum. Kalo kaya gini enggak adil untuk anak kita, Pa." Tubuh Miranda kian hebat bergetar.

"Mama tau kan, sangsi sosial untuk korban kekerasan seksual? Banyak dari mereka yang berakhir bunuh diri karena enggak sanggup harus dikucilkan, dicemooh, dipandang sebelah mata. Papa enggak mau Canda mengalami itu," jelas Darma. "Papa hanya ingin Canda bisa menjalani hidupnya kembali. Papa enggak mau dia terpuruk."

Miranda menatap suami dengan manik menggenang. Sungguh dia tidak memikirkan itu tadi. Dia hanya menuruti amarahnya. Dia hanya ingin puas melihat James di balik dinginnya jeruji penjara tanpa memikirkan Chandani terlebih dahulu. Wanita dewasa itu menelungkupkan kedua tangan di wajahnya, dia menangis. Hatinya terasa amat sakit, dia tak dapat menerima semua ini. Chandani sungguh tak pantas menerima semua ini. Dia hanya seorang gadis remaja yang polos. Miranda sungguh tak iklas. Dia tak mau menerima kenyataan menyedihkan ini. Tangisnya kian meracau, dia menjerit-jerit dengan pilunya.

Darma pun menghampiri sang istri dan memeluknya untuk menenangkan.

"Aku enggak ikhlas, Mas. Canda enggak pantas mendapatkan perlakuan seperti ini. Ini enggak adil," ucapnya disela tangis yang mengharu biru. Tangannya mencakar-cakar sofa yang dia duduki dengan geram. "James sangat jahat, dia sudah menghancurkan anak gadis kebanggan kita. Pemuda itu tak pantas bahagia, dia harus mati," imbuhnya meracau. Tangis Miranda kian parah dalam pelukan suaminya. Dia menumpahkan seluruh kesedihan dan amarah yang sedari tadi ditahannya. Dia sungguh tak sanggup menatap wajah malang sang anak. Dia sungguh tak sanggup menatap kehancurannya.

Darma memeluk istrinya lebih erat, dia paham betul rasa sakitnya seperti apa karena, memang seperti itulah yang dia pikirkan sebelumnya. Namun, dia tak bisa dengan semena-mena mencabut nyawa seseorang. Masih ada iman dan Tuhan dalam setiap detak jantungnya. Dia masih ingat dosa sehingga tak sanggup melakukannya. "Kita harus pergi dari sini sebelum kejadian malam ini tersebar dan menjadi gunjingan para tetangga. Aku enggak rela jika harus mendengar anakku digosipkan yang bukan-bukan."

"Pergi? Pergi ke mana, Mas?"

"Ke mana saja, asalkan kita enggak tinggal di Jakarta."

Miranda melepaskan pelukannya, lalu menatap mata sang suami. "Maksud Papa, kita akan pindah ke luar kota?"

"Iya, kita tidak bisa tinggal di sini lagi. Besok setelah subuh kita berangkat. Lebih baik malam ini kita kemasi semua barang-barang kita. Bawa yang diperlukan saja, sisanya biar nanti."

"A-apa Papa serius?"

"Iya, ayo mulai berkemas."

"Baiklah."

"Aku akan menelepon Fahri terlebih dahulu. Aku akan memintanya untuk mencarikan rumah di Bandung."

Miranda yang hendak memasuki kamar pun berbalik. "Bandung?"

"Bandung."