Chereads / Diamanti - Merebutmu Kembali / Chapter 2 - 2. Insyaallah

Chapter 2 - 2. Insyaallah

Setelah mengantarkan para tamunya keluar, dia pun segera kembali ke ruangan. Chandani berjalan sembari terus tersenyum dan mengucap syukur setiap kali teringat presentasi yang berhasil menarik minat para investor. Inilah buah dari usahanya selama ini, atau mungkin ini pertanda baik bagi keberlangsungan karir dan hidupnya. Wanita itu kerap kali menenggelamkan diri pada pekerjaan. Hingga tak ayal dia akan pulang larut malam hampir setiap hari. Sepertinya dia mulai menyukai pekerjaan ini. Karena sebab pekerjaan inilah insomnianya menjadi membaik. Dia tidak lagi kesulitan tidur atau memerlukan obat tidur setiap malam, karena dia selalu pulang dengan keadaan kelelahan.

Sesampainya di ruangan, dia langsung disambut pertanyaan cemas para temannya.

"Canda, gimana?" tanya Alicia dengan raut wajah gelisah.

"Gimana, Kak?" tanya Mirna sembari mengguncang lengannya.

Chandani mendongak menatap keduanya dengan tatapan serius lalu seulas senyum perlahan tersungging di kedua sisi bibir cantiknya. "Berhasil!" serunya memecahkan keheningan.

Alicia dan Mirna sontak saling menatap lalu terkinjat kegirangan.

"Benarkah?!" tanya Alicia dengan sumringah, wajahnya seketika menjadi ceria.

"Hmm." Chandani menganggukan kepala dengan raut wajah bahagia lalu Chandani pun ikut melompat-lompat kegirangan bersama kedua temannya.

"Yeeee!" seru ketiganya bersamaan.

***

"Bagaimana presentasinya tadi?" tanya seorang pria yang tengah duduk di kursi keagungannya. Muhammad Aldebaran Prawiro, dua puluh empat tahun, dia seorang pengusaha muda jenius dan jujur. Pemilik King's Palace Property Grup serta hati para karyawatinya. Bagaimana dia takkan menjadi idaman para kaum hawa kala kesempurnaan fisik dan akhlak yang nyaris sempurna, dia miliki? 

Pria keturunan bule itu terlihat tampan dengan bentuk wajah oval, hidung flesly, up-turned eyes, dan bibir tipis. Tinggi badannya 185 cm dan berat 73 kg. Para pegawai wanita yang biasanya berpakaian minim, kini satu persatu mulai menutup auratnya saat Aldebar memulai debutnya menjadi Dirut di perusahaan yang dirintis kakek moyangnya tersebut. 

Meskipun Aldebaran berasal dari keluarga pengusaha. Namun, dia baru mengenal dunia bisnis beberapa tahun belakangan ini. Dia pertama kali memutuskan berinvestasi yakni di dua ribu delapan. Aldebaran mencoba berinvestasi pada bisnis fashion, yakni sepatu Cibaduyut.

Bermodalkan dana sebesar dua ratu juta rupiah, dia bersama salah satu koleganya memulai bisnis sepatu tersebut. Hal ini menjadi sebuah pengalaman baru bagi Aldebaran, yang kala itu memang sudah mulai diserahi tugas mengelola salah satu perusahaan oleh keluarganya.

Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Bisnis sepatu tersebut gagal setelah enam bulan. Ini terjadi karena biaya yang dikeluarkan terlalu besar, tetapi imbal hasilnya tidak sesuai harapan.

Namun, Aldebar tak kapok berbisnis. Buktinya, setelah kegagalan berbisnis sepatu, ia tetap mencoba beragam bisnis. Ia pernah menjajal bisnis pembuatan jaket kulit buaya asli. Aldebaran melakoni bisnis ini bersama sepuluh orang rekannya. Ia juga pernah bisnis restoran.

Namun, lagi-lagi bisnis tersebut tak kunjung menghasilkan. Akhirnya Aldebaran memutuskan fokus ke bisnis properti yang sudah dirintis keluarganya. Dia menjadi petinggi di King's Place Property Group.

"Sangat baik, Tuan, Nona Canda benar-benar seorang perempuan yang cerdas," puji Andy.

"Dia memang wanita yang sempurna," puji Aldebar, tampak memuja di raut wajahnya.

"Kenapa, Tuan nggak menghadiri sendiri rapat tadi? Padahal jadwal, Tuan hari ini enggak terlalu padat?" tanya Andy. Pria yang sebaya dengan Aldebar itu tampak penasaran. Sebelumnya dia merasa aneh kepada sang majikan, karena tuannya itu bersikeras ingin menjadi investor di Istana Tekstil. Padahal IT tidaklah memberikan keuntungan berarti. Perusahaan itu hanya sebuah perusahaan kecil, yang hanya baru memiliki dua cabang di Indonesia. Sangat jauh berbeda dengan KPPG yang merupakan perusahaan di bidang properti besar, bahkan sebentar lagi akan beralih menjadi perusahaan multinasional. Namun, setelah dia bertemu langsung dengan Dirut dari perusahaan itu, barulah dia menyadari sesuatu. Bahwasanya sang tuan besar tengah jatuh cinta. Sungguh indahnya cinta, segala cara akan mampu mereka lakukan demi kebahagiaan orang yang dicintai. Meski harus bermain di balik layar. Namun, tak apa. Asalkan si pemilik hatinya dapat bahagia.

"Masih belum saatnya." Aldebar.

Aldebar sudah menyukai Chandani sejak dia masih duduk di bangku kelas enam SD. Gadis itu merupakan adik kelasnya. Namun, karena sikap egois dan kebodohannya, dia melakukan suatu kesalahan yang mungkin takkan termaafkan oleh gadis pujaannya tersebut. Dulu usianya masih belasan dan dia masih terlalu impulsif dalam mengambil keputusan. Ia mengira dengan melakukan hal bodoh itu, Chandani akan menjadi miliknya selamanya. Namun, siapa sangka? Hal itu justru membuatnya kehilangan kesempatan bahkan hanya untuk sekedar mendekatinya. Beruntung keluarga Bahuraksa tidak melaporkannya ke polisi kala itu, semuanya selesai secara kekeluargaan. Sudah lima tahun lamanya dia memendam rasa bersalah untuk Chandani, dia merasa menjadi laki-laki terbodoh di dunia. Karena perempuan yang seharusnya dia lindungi, justru malah dia sakiti. Pria macam apa dia?

Aldebar mengambil ponselnya lalu menelepon seseorang. [Assalamualaikum] Terdengar suara Daniel ayahnya, dari sambungan telepon.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Aldebar. "Dad, aku rasa malam ini waktu yang tepat untuk kita datang ke sana."

[Apa kamu yakin?]

"Iya, Dad, insya Allah aku sudah siap menerima segala kemungkinan buruknya," ujar Aldebar dengan penuh keyakinan.

Daniel menghela nafas lelah. [Baiklah] Dia merasa tak habis pikir dengan apa yang diinginkan anak semata wayangnya ini.

"Terima kasih, Dad," ucapnya. Ia tersenyum puas saat mendengar persetujuan dari sang ayah.

[Hmm, pulanglah ke rumah hari ini, kita berangkat ke sana bersama-sama nanti]

"Baik."

[Daddy tunggu, Assalamualaikum]

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawabnya lalu Aldebar pun menutup sambungan teleponnya.

Aldebar menyandar malas sembari menengadah menatap langit-langit kantornya dengan senyuman mengembang di wajah tampannya. Ia sangat bahagia akhirnya hari ini pun tiba. Malam nanti dia akan berjumpa dengan Chandani, sang gadis pujaannya. Dia akan melamarnya dan menjadikannya pendamping hidupnya dunia akhirat, insya Allah.

***

Kring! Dering ponsel Chandani.

"Assalamualaikum, Dek."

[Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Teh. Ini Papa pengin ngomong] Suara Alia dari sambungan teleponnya.

[Hallo, Teh] Suara Darma ayahnya, dari sambungan telepon.

"Iya, Pa, ada apa?"

[Kamu pulang jam berapa?]

"Emmmmm." Mengangkat tangannya sedada lalu melihat jam di pergelangan tangan. "Pukul lima, Pa, kebetulan kerajaan aku nggak banyak hari ini."

[Baiklah]

"Memangnya ada apa, Pa?"

[Ada yang ingin bertemu denganmu]

Chandani mengerutkan kening. "Siapa?"

[Nanti juga kamu akan tau]

"Laki-laki?" tanyanya memastikan.

Ayahnya tak menjawab.

Sudahlah, yang ingin bertemu dengannya pasti seorang laki-laki. Chandani menghela nafas lelah. Dia sudah malas menghadapi setiap pria yang melamarnya. Tidak bisakah para pria itu mengerti jika dia tidak ingin menikah? "Pa, Teteh kan, udah pernah bilang. Teteh nggak mau nikah, Pa," ucapnya malas.

[Huss ... Kamu itu ngomongnya jangan ke mana saja] ujar ayahnya memperingatkan dari sambungan telepon.

"Papa kan, tau sendiri alasannya," ucap Chandani malas.

"Teteh, hidup Papa mungkin nggak akan lama lagi. Papa, udah sakit-sakitan sekarang. Papa hanya ingin, saat Papa meninggalkanmu dan Alia nanti, kamu sudah memiliki seseorang yang bisa melindungi kalian, melindungimu dan adikmu," tuturnya lirih dengan suara bergetar.

"Papa ngomongnya jangan ke mana saja, Papa itu mau hidup sampai aku tua, kita akan meninggalkan dunia ini bersama, Pa," ucapnya lirih. Perlahan cairan bening mulai menggenang di telaga matanya. Hanya membutuhkan sekali kedutan saja, maka benih bening itu akan meluncur. Hatinya rasa nyeri saat mendengar kata-kata putus asa dari sang ayah. Dia belum siap untuk kehilangan ayahnya. Chandani sangat menyayanginya, dunia terasa gelap setiap kali dia membayangkan hari itu tiba. Dia takkan sanggup, dia tak mau jika harus kehilangan ayahnya, dia sangat mencintainya.

***

Chandani tengah membereskan meja kerjanya. Dia merasa malas untuk pulang. Tapi, sebagai seorang anak yang baik, dia tidak boleh mengecewakan sang ayah, ia tak sanggup menolak keinginan ayahnya, atau nanti ayahnya akan kecewa. Ia tak mau mengecewakannya. 

Entah anak siapa lagi yang akan ayahnya kenalkan kali ini. Sudahlah, seperti biasa, dia hanya cukup bertemu, dan semua keputusan ada di tangannya. Tak terhitung jumlahnya, entah sudah berapa banyak lamaran ditolak. Chandani benar-benar tak mempunyai niatan untuk menikah, untuk saat ini. Tak tahu nanti. Dia hanya ingin menikmati hidupnya yang sudah dirasa sempurna. Chandani merasa tak membutuhkan pendamping. 

Dia tahu menikah merupakan salah satu sunnah para Rasul yang dianjurkan. Namun, menikah juga merupakan hal yang berat baginya karena setelah dia menikah, dia takkan bisa tinggal bersama ayahnya, dan takkan bisa lagi mengurusnya. Belum lagi traumanya dulu yang membuatnya kesulitan menerima sosok orang baru di dalam hidupnya, terlebih lagi laki-laki.

"Canda, lo kenapa?" tanya Alicia kala melihat temannya menggeleng-gelengkan kepalanya seperti orang ayan. 

"Enggak, aku enggak apa-apa," jawab Chandani singkat padat dan jelas.

"Hati-hati kesambet loh, ngelamun terus."

"Ya nggak lah." Chandani lalu tertawa pelan, yang kemudian dibalas senyuman oleh Alicia.

"Loe mau balik? Balik bareng yuk? Tenang, gue anterin sampe rumah kok," ucapnya seraya mengedut-ngedutkan kedua alisnya.

"Emang nggak ngerepotin?" Chandani mengangkat kedua alisnya lalu merapatkan bibirnya.

"Yaelah, nggak kali. Masa nganterin loe doang ngerepotin sih?" bantah Alicia.

"Ya deh, aku mau." Chandani tersenyum ramah.

Mereka pun pulang bersama. Alicia merupakan salah satu karyawan di kantor ayahnya yang kebetulan seumuran dengannya. Mereka baru saling mengenal sekitar enam bulan lamanya. Namun, Alicia sangat pandai bergaul dan baik, membuat siapapun mudah akrab dengannya, termasuk Chandani.

"Gimana kabar, Tuan Darma? Apa dia sudah membaik?" tanya Alicia dengan mata yang masih fokus melihat ke depan karena tengah menyetir.

"Alhamdulillah, kondisi Papa sudah lebih baik sekarang," jawabnya seraya tersenyum ramah.

"Syukurlah. Kejadian waktu itu sungguh membuat semua orang kantor terkejut. Kami semua selalu mendo'akan untuk kesehatan Tuan Darma, dia boss yang baik. Kami berharap, dia akan sembuh dan kembali sehat seperti sedia kala," ujar Alicia dengan penuh perhatian.

"Amin! Terima kasih untuk kepeduliannya, Papa pasti senang kalau tau para karyawannya enggak pernah melupakannya, bahkan peduli dengan kesehatannya."

Alicia menoleh lalu tersenyum. "Canda, lo tuh perempuan yang baik, kenapa lo masih belum married? Jangan bilang kalo nggak ada yang mau sama lo, that's impossible." Dia kembali fokus menatap ke depan.

Chandani tersenyum. "Mungkin belum sampai jodohnya, Lis."

Alicia hanya tersenyum lalu mengangguk.

Tak lama kemudian mereka pun sampai di depan gerbang rumah Chandani. Wanita cantik itu pun turun dari mobil, dan tak lupa dia mengucapkan terima kasih kepada Alicia untuk tumpangannya. Dia berjalan sekitar dua menit sebelum sampai di depan pintu rumahnya. Pelataran di depan tempat tinggalnya itu cukup luas dengan dihiasi berbagai macam bunga di dalam pot dan dua pohon cemara yang tinggi hanya sekitar satu setengah meter.

Saat memasuki rumah, dia mendapati ayahnya tengah menonton tv sebari duduk di kursi roda. "Papa, udah berseka?" tanya Chandani kepada sang ayah.

"Udah tadi sama, Alia."

"Kalo makan?"

"Udah tadi sama, Alia."

Chandani mengecup tangan dan pipi sang ayah. "Maaf, yah, Pa? Teteh nggak bisa lagi jagain, Papa."

"Enggak apa-apa, Papa ngerti, Teteh sibuk ngurusin perusahaan sekarang. Papa yang harusnya minta maaf sama kalian berdua, Papa sudah banyak ngerepotin Teteh dan Alia."

"Ih Papa, jangan ngomong gitu ah, sudah merupakan suatu kewajiban bagi setiap anak untuk ngurusin orang tuanya, apalagi kalo sakit," tutur Chandani.

Darma hanya tersenyum saat mendengar ucapan anaknya. "Teh."

"Ya, Pa." Matanya menatap langsung sang ayah.

"Sudah merupakan kewajiban juga bagi setiap manusia yang berakal untuk saling memaafkan, dan menjalin silaturahmi yang baik dengan sesama umat Nabi. Papa minta, Teteh untuk selalu memaafkan kesalahan orang lain, sekalipun yang mereka perbuat sangat buruk terhadap, Teteh."

"Iya Teteh faham, Pa. Insya Allah." Chandani tersenyum.

"Alhamdulillah," Darma mengucap syukur. Dia mengelus lembut kepala anak kesayangannya. "Papa sayang sama Teteh. Papa ingin kelak yang menjadi pendampingmu seorang pria yang baik dan bertanggung jawab."

Chandani menggapai tangan yang tengah membelainya lembut kepalanya lalu mengecupnya. "Teteh juga sayang sama Papa. Papa, cepet sembuh yah." Dia tersenyum manis kepada sang ayah.

"Insyaallah."