Ba'da Maghrib semuanya berkumpul. Chandani, Miranda, dan Alia tengah sibuk memasak di dapur untuk acara makan malam nanti. Entah siapa yang akan datang. Tidak seperti tamu biasanya. Kali ini ayahnya meminta mereka untuk memasak makan malam lebih banyak, mungkin dia ingin mengundang para tamunya untuk ikut makan malam bersama. 'Hmmm... Akan ada banyak orang sepertinya di makan malam nanti. Kenapa sih, Papa enggak bersikap seperti biasanya?' Batinnya. Dia terlihat cemas dan bingung. 'Sebenarnya siapa tamunya itu? Sehingga terkesan dispesialkan, merepotkan saja!' Chandani kembali membatin.
Selesai memasak, Chandani berdiri di sisi rungan dekat jendela. Kepalanya sedikit melenggak melihat ke arah langit. Suasana malam begitu sejuk dan cerah. Gemintang dan sang ratu malam bertengger di angkasa, nyalang dengan beraninya dikegelapan malam. Sepoi angin malam bertiup perlahan meliukan pepohonan yang tersentuh. Hawa dingin seketika menyergap tubuh, kala buku jari menyentuh jendela kaca rumah yang lembab berembun selepas hujan gerimis sore tadi. Suasana malam ciri khas kota Kembang.
Hatinya terasa lelah. Chandani merasa cukup untuk kehidupannya saat ini. Namun, kenapa ayahnya selalu ingin menikahkannya? Dengan bekerja sendiri tanpa seorang suami pun, dia masih bisa menghidupi keluarganya. Meski pobianya terhadap laki-laki kini sudah sembuh tetapi, bukan berarti dia sudah bisa menerima kehadiran mereka dalam hidup. Itu masihlah hal terberat baginya. Bagaimana pun, hidup tanpa keberadaan mereka adalah yang terbaik bagi Chandani kecuali, satu-satunya lelaki yang namanya senantiasa dia lantunkan dalam do'a untuk kebaikan dunia akhiratnya, yaitu, ayahnya.
"Pa, memangnya siapa lagi yang mau menemuiku?" tanyanya seraya melipat kedua tangan sedada.
"Nanti juga, Teteh, akan tau," jawab sang ayah seraya tersenyum simpul.
"Ih Papa, bikin aku penasaran saja." Dia memeluk ayahnya yang tengah duduk di kursi roda itu dari belakang. Kemudian dia melonggarkan rengkuhan hendak melihat penampilan ayahnya. "Papa, kenapa pake bajunya rapi banget? Kaya mau nikah saja," ujarnya dengan tatapan jahil serta mulut melengkung membentuk senyuman.
Ayahnya tertawa pelan. "Teteh, bisa saja, emang, Papa, ganteng yah pake koko gini?"
"Ganteng banget, Pa, top markotop deh." Dia mengacungkan kedua jempolnya seraya tersenyum lebar lalu tertawa renyah bersama sang ayah.
Renyah tawa mereka menghangatkan suasana rumah. Chandani sangat bahagia karena bisa melihat kembali tawa ayahnya yang sempat lenyap. Semenjak musibah naas itu menimpanya, ayahnya memang belum pernah lagi menampakan tawa sebahagia seperti saat ini. Namun, malam ini, entah kenapa ayahnya itu terlihat riang gembira? Ada apakah gerangan? Mungkinkah karena tamu yang akan datang hari ini? Entahlah tetapi, dia sangat bersyukur bisa melihatnya seperti ini lagi. Semoga ini pertanda baik untuk kesembuhan sang ayah.
"Teteh, pake baju ini yah." Tangan ibunya memegangi gaun muslimah yang panjang menjuntai ke bawah, gaun berwarna salem muda yang indah dengan renda-renda di bagian roknya dan ban pita melingkar di bagian pinggang itu tampak cantik.
"Wow... Cantiknya!" Ada binar-binar di mata Chandani. Tampak dia mengagumi keindahan gaun itu di wajahnya. Namun, dia segera kembali ke akal sehatnya. "Tunggu... Tunggu... Kok enggak kaya biasanya sih? Kali ini pake di sediain gaun segala. Ada apa ini? Papa dan Mama enggak akan menikahkanku malam ini 'kan?" tanyanya. Wajahnya panar dengan tatapan menyelidik.
Miranda tertawa geli. "Ya enggak lah, Teh, Mama dan Papa bakal menikahkan, Teteh, kalo nanti, Teteh, udah ngerasa siap," tuturnya.
Darma hanya tersenyum seraya menggelengkan kepalanya.
Chandani tersipu malu karena merasa sudah suudzon kepada kedua orang tuanya. "Maaf, Ma, Pa," sesalnya.
"Iya, enggak apa-apa, sekarang mending Teteh ganti baju gih, nih gaunnya," titah Miranda seraya menyerahkan gaun di tangannya.
"Iya, Ma." Chandani mengangguk patuh lalu dia mengamit gaun itu dan masuk ke kamarnya untuk berganti pakaian.
Tiba-tiba terdengar suara bel pintu berbunyi.
"Itu pasti mereka, Ma." Darma.
"Mama bukain pintu dulu ya, Pa," ujar Miranda sambil tersenyum ramah. Dia pun beranjak menuju pintu meninggalkan suaminya.
Nyonya rumah itu pun membukakan pintu dengan perlahan. Saat pintu sudah terbuka lebar, matanya menangkap tiga sosok bayangan. Di luar sudah berdiri sepasang suami istri, yang kira-kira sebaya dengan suaminya. Istrinya mengenakan gamis syar'i berwarna cream yang indah dan terlihat elegan sedangkan, suaminya mengenakan kemeja panjang berwarna senada dengan gaun istrinya lengkap dengan celana bahan berwarna hitam dan sepatu kulit, dan di sisi kirinya berdiri seorang pria muda yang memakai kemeja kasual berwarna putih dengan celana jeans berwarna cream, pria itu sudah pasti adalah putra tunggal dari sepasang suami istri di hadapannya. Kemudian Miranda mempersilakan mereka masuk dan duduk di sofa.
"Asalamu'alaikum." Daniel sekeluarga mengucap salam yang di balas Wa'allaikumsalam oleh Miranda dan Darma bersamaan. Aldebar menyalami dan mencium tangan kedua orang tua Chandani dengan penuh rasa hormat. "Gimana kesehatan, Om? Apa sudah membaik?" tanya Aldebar dengan sopan.
"Ya, beginilah, namanya juga udah tua, James," jawabnya dengan senyuman ramah.
Miranda menyambut dengan ramah kedatangan mereka. Ruangan bergaya Victorian elegan itu seolah menjadi saksi bisu untuk kedatangan Aldebar sekeluarga malam ini. Ruangan bercat abu muda dengan langit-langit putih itu, tampak berkarakter dengan sofa berwarna senada dengan dinding dan sebuah kaca besar di atas sebuah bupet ukir bercat putih klasik. Sentuhan warna biru tua pada bantal beludru sofa abu dan sebuah lukisan di dinding, turut mengiasi ruangan tersebut, manjadikannya lebih hidup.
***
Mereka semua berbincang dengan hangat. Takayal beberapa gurauan terlontar dari mulut mereka di tengah obrolan yang seketika membuat suasana menjadi lebih hangat. Daniel dan Aisyah adalah teman Darma semasa kuliah dulu. Mereka bersahabat sudah cukup lama, sampai pada kepergian Darma, yang tanpa pamit pada lima tahun yang lalu, yang juga terpaksa memutuskan tali silaturahmi ketiga sekawan tersebut. Miranda dan Darma telah memaafkan James. Mereka melihat ketulusan pemuda itu kala meminta maaf, dia telah sangat menyesali perbuatannya.
Sudah merupakan kewajiban bagi setiap umat Nabi untuk saling memaafkan, sekali pun yang mereka lakukan amat menyakitkan. Kalimat itulah yang senantiasa diingat Darma. Kalimat yang selalu berhasil menenangkan dirinya.
"Ini pasti Alia," ujar Aldebar seraya menunjuk dengan sopan seraya tersenyum ramah terpampang di wajah tampannya. Mulutnya melengkung membentuk senyuman.
Alia membalas senyumannya lalu mengangguk. "Iya."
"Kamu udah besar yah? Terakhir kali om melihatmu itu lima tahun yang lalu, kamu masih kecil saat itu," jelas Daniel. Dia tersenyum ramah kepada gadis remaja itu.
Alia hanya membalasnya dengan senyuman. Dia sama sekali tak terlalu mengenali ketiga orang ini. Wajar saja, karena saat itu dia masih kecil, dan masih tampak acuh kepada siapapun di sekitarnya.
"Waktu itu usianya masih sepuluh tahun, saat kita memutuskan tali sulaturahmi." Deg. Dada Darma seketika bergemuruh. Penyesalan segera menerpanya. "Maaf, Daniel, aku telah egois saat itu." Dia tersenyum simpul lalu merepatkan bibirnya dengan alis yang sedikit berkerut, terlihat jelas ada kesedihan di matanya.
"Enggak apa-apa, aku mengerti, aku pun akan melakukan hal yang sama jika hal itu menimpa keluargaku," sahut Daniel. Dia terus menunjukan senyuman ramah.
Darma tak mampu membalas. Dia hanya bisa menatap mata sahabatnya dengan sedikit senyuman simpul. "Kamu masih sahabatku."
Daniel beranjak dari duduknya, lalu berpindah ke dekat kursi roda Darma. Dia merangkul pria paruh baya yang lumpuh itu dengan bersahabat. "Tentu saja. Kita sahabat sampai kehendak Allah yang memisahkan."
"Hus! Dad, ngomong apa sih?" tegur Aisyah istrinya yang hanya dibalas tawa keras Darma dan Daniel.
Aldebar hanya mampu menyulam senyum kala melihat kedekatan dua sahabat sejati itu. Mereka berdua beruntung saling memiliki. Darma dan Daniel tidak pernah berselisih, dan satu-satunya penyebab mereka berpisah dulu, adalah ulahnya.
Miranda datang membawa nampan berisi teh manis dan kue untuk dia suguhkan kepada tamu-tamunya. "Mangga dileueut, kue dan tehnya," ujarnya sambil memanggutkan kepalanya sebagai kesopanan dengan senyuman mengembang.
"Terima kasih, dek. Aduh jadi ngerepotin ini," ujar Aisyah ibunda Aldebar sambil tersenyum dengan ramah.
"Akh bisa saja, enggak ngerepotin atuh, tibang kaya gini mah." Miranda tertawa kecil.
Aisyah membalasnya dengan senyuman lalu meminum teh yang disuguhkan sang tuan rumah. "Ditampi yah, Dek."
"Oh, mangga-mangga, Teh, mangga," sahutnya pada Aisyah. "Bang, James, silakan kue dan tehnya." Dia mempersilakan Daniel dan Aldebar untuk ikut serta menikmati suguhannya.
***
Chandani masih di dalam kamar. Dia tengah duduk di depan meja riasnya. Chandani begitu cantik dengan alis yang sedikit dia hitamkan, eyeliner tipis mempertegas bagian kelopak mata serta eyeshadow berwarna cokelat tetapi, agak muda dia ulaskan. Rona merah tipis pun tak lupa dia taburkan di tulang pipinya dengan bibir berwarna merah natural. Sayup dia mendengar renyah tawa ayah, ibu dan para tamunya dari luar sana.
Selesai bersolek, dia tak langsung keluar dari kamar. Dia duduk seraya menatap pantulannya pada cermin, lalu seulas senyuman dia tampakan. Kemudian dia mencubit lembut pipinya sendiri. "Wow... Kamu cantik, Canda." Senyum puas mengembang dari wajah cantiknya. Dia mendekatkan diri untuk melihat pantulan wajahnya dengan jelas. Pori-pori kulit yang tipis dan halus, terlihat begitu terawat. Lalu dia mengedut-ngedutkan kedua belah alisnya, menatap puas wajah cantiknya. Namun, dia segera kembali ke akal sehatnya. "Astaghfirullahaladzim." Dia mengelus dadanya. Rupanya setan menelusup dalam pikirannya tanpa dia sadari. "Ya Allah maafkan aku, jauhkan aku dari sifat ujub." Kemudian sekali lagi dia mengucap Istigfar sebagai bentuk penyesalan.
Tiba-tiba terdengar suara pintu di ketuk yang membuat tubuhnya sedikit tersentak. "Ma-masuk, Ma!" seru Chandani.
Pintu terbuka dan Miranda pun masuk. "Teh, keluar yuk? Tamu kita udah pada nunggu tuh," ujarnya seraya tersenyum ke arah putri sulungnya yang sudah tampil cantik di hadapan.
Chandani mengangguk lalu bangkit dari duduknya. Dia berjalan dengan anggun seraya meremas buku jarinya gugup. Dia melakukan ini bukan untuk pertama kalinya tetapi, entah kenapa dia selalu saja merasa gugup. Mungkin karena rasa bersalahnya juga yang turut menyertai. Entah sampai kapan dia akan berhenti melakukan ini. Mungkin sampai ayahnya berhenti memperkenalkannya kepada anak teman-temannya. Atau, entahlah.
Dia sama sekali tidak ingin menikah karena traumanya terhadap laki-laki. Dia tak masalah jika seumur hidupnya, dia habiskan tanpa memiliki pendamping. Dia sudah merasa sempurna dengan kehidupannya saat ini. Sudah lebih dari cukup, menurutnya.
Miranda menggandeng Chandani keluar dari kamarnya. Chandani sangat anggun malam ini. Dia terlihat sangat cantik dengan riasan make up natural dan gaun salem yang dikenakan menjuntai panjang hingga menutupi mata kakinya. Tak luput hijabnya yang berwarna senada dia lilitkan di kepala. Wajah tirus, hidung mancung, mata bulat, bibir tebal berwarna merah muda dan kelopak matanya indah dengan bulu mata panjang lebat nan lentik meneduhi mata indahnya. Dia digandeng sang ibu menuju ruang tamu.
"Selamat malam," sapa Chandani dengan sopan kepada para tamu, mata meneduhkannya masih tertunduk.
Aldebar terpegan kala melihat keindahan Chandani, hingga matanya tak kuasa berkedip. Tidak ada yang berkurang. Perempuan itu masih terlihat cantik seperti dulu, hanya bertambah aura dewasa yang menjadikannya lebih sempurna. Namun, dia segera kembali ke akal sehatnya, dia menunduk kepala. Bukan mahram, dilarang untuk melihat terlalu lama.
"Malam, Canda. Wah... Cantiknya anak, Bunda," sahut Aisyah sambil tersenyum. Wajahnya tampak kagum kala melihat kecantikan Chandani, anak gadis yang sudah dia anggap sebagai anak kandungnya sendiri itu kini, sudah tumbuh menjadi seorang wanita dewasa nan anggun.
Chandani memangukan kepalanya. Seketika dia terpegan kala melihat siapa tamunya itu. 'Bunda? Ayah?' gumamnya dalam hati. Dia mulai gugup dan takut lalu dengan ragu matanya melirik ke arah pria yang berdiri di samping Daniel. Di sana dia melihat seorang pria tengah memandanginya dengan senyuman di bibirnya. 'James?' gumamnya bergema dalam hati. Mata mendelik saat melihat sosok itu. Dadanya seketika bergaung. Sesak dengan debar jantung yang tiba-tiba terpacu. Dia mundur beberapa langkah dengan tergesa-gesa sembari mengepalkan kedua tangannya. Panas seketika menyeruak dari tengkuk hingga membuat daun telinganya terasa terbakar. Lantas dia segera berbalik dan melangkah dengan tegas meninggalkan ruang tamu tanpa berbicara sepatah kata pun.
"Teh... Teteh...." panggil Miranda dan Darma bersamaan lalu sang ibu mengejar Chandani.
Alia terlihat heran, dia tak mengerti apa-apa. Dia hanya terus melihat kakaknya sembari mengerutkan kening. 'Teteh, kenapa?' Pikirnya bingung.
"Dan, Ais, maafkan anakku," ujar Darma kepada kedua sahabatnya dengan wajah berkerut, dia merasa tak enak hati kepada kedua sahabatnya tersebut.
"Enggak apa-apa, kami mengerti," balas Daniel sambil memalsukan senyumannya, terlihat jelas ada kekecewaan di wajahnya.
Aisyah hanya menatap nanap ke arah Chandani dengan tatapan sendu. Dia sudah lama ingin bersua dengan anak gadisnya itu, dan kini saat dia berada di hadapannya, justru tak ada yang dapat dia lakukan. Aisyah sangat menyesalkan sikap Chandani tetapi, dia juga tak dapat menyalahkannya, karena kesalahan terletak padanya. Gadis cantik yang dahulu selalu bergelayut manja padanya itu, sekarang tampak ketakutan saat berjumpa dengannya. 'Anak bunda," gumamnya dalam hati bagai mantra. Terbersit kesedihan di wajahnya.