Akhir pekan ini aku mendapat izin untuk beberapa hari cuti, aku memanfaatkannya untuk mengunjungi rumah, ya... tepatnya rumah kedua orang tua ku, sebenarnya hanya ada ayah disana. Ibu ku sudah lama meninggal dunia akibat kangker paru paru yang dideritanya saat usia ku berumur 10 tahun, saat itu aku benar benar merasa bersalah karena aku tidak bisa menuruti permintaan terakhirnya untuk tetap tinggal sementara di sisinya.
Setelah empat bulan kepergian ibu, ayah menikahi seorang perempuan muda dan lajang, usianya dan ayah terpaut 10 tahun, dia menerima kehadiran ku dengan baik.
Setelah pernikahan berjalan empat tahun lamaya mereka dikaruniai seorang anak laki laki bernama Mahardi Ataka. Aku selalu menyayanginya dengan setulus hati, aku selalu saja mengalah padanya, bahkan usrusan makan pun aku harus rela berbagi dengannya.
Ayah dan ibu tiri ku itu selalu saja berbicara tentang kelebihan Hardi di depan ku, Hardi yang selalu penurut dan baik kepada orang lain atau apalah itu.
Aku mulai kesal disaat Hardi mulai tumbuh dengan baik, ibu dan ayah mulai berubah, aku mulai tak diperhatikannya, mereka selalu memenuhi kebutuhan Hardi, ya... hanya untuk Hardi seorang.
Hal ini memancing emosi dan sikap kekanakan ku, aku yang berusaha untuk mengerti dan tumbuh dengan pemikiran yang baik, malah pada akhirnya aku menjadi anak yang memberontak.
Tahun tahun berlalu dengan tidak baik, sampai akhirnya aku memutuskan untuk menetap di kota lain bersama om dan Tante ku.
Mereka tidak memiliki anak, aku lebih nyaman bersama om dan Tante ku mereka menyayangi ku sepenuh hati, nasehat yang selalu mereka berikan menjadi tombak ku untuk terus memburu nilai nilai terbaik di kelas.
Setiap malam om Aris dan Tante Ana selalu masuk kedalam kamar mengecek beberapa pelajaran dan buku buku ku, mereka juga selalu menemani ku sampai benar benar terlelap.
Aku senang hal yang selalu dilakukan ibu akhirnya ku rasakan kembali.