~POV Arumi~
Pagi ini aku menatap wajah di cermin, jilbab yang sejak semalam tergelatak di atas kursi belajarku, masih saja menarik perhatian. Tanganku akhirnya kembali menjamahnya, melipatnya menjadi segitiga dan menaruhnya di kepalaku, menutup rambutku.
"cie...cie... dipake juga nih..." suara iseng Vega terdengar membahana di kamar seketika.
Aku segera melepaskan jilbab itu.
"apaan sih Ve!" ujarku jutek.
"nah loh... kok dilepas? Kan udah bagus tadi tuh." Vega mendekatiku ke cermin.
"lu serius?" aku meliriknya yang sekarang telah berdiri di sampingku.
"iya... serius..." Vega mengangguk-angguk.
"ah... lu boong pasti." Aku segera melipat jilbab itu dan menyimpannya di lemari.
"eh kok malah disimpan? Ntar ditanyain lho sama yang ngasih 'kok Aru gak pake jilbabnya?' nah lo mau jawab gimana coba?" alis Vega tampak naik turun.
"gak mungkin dia nanyain itu, dia itu pelit ngomong," balasku.
"eh gak percaya dia... liat aja ntar... eh tapi... siapa sih cowoknya, Aru? Kenalin dong... penasaran nih gue, cowok yang bisa bikin Arumi nolak cowok-cowok lain, termasuk yang gue comblangin juga... pasti cowoknya keren abis ya?" tebak Vega sok tahu.
"gua sama dia cuma temen kok, kita belum jadian, udah Ve... lu gak mandi? Bukannya ada kelas hari ini?" tanyaku setelah melirik jam dinding.
"hehehe gue malas mandi nih, aduuuhhhh napa sih gue harus ngulang mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum? Bego banget gue ya? Padahal gue dapat A untuk mata kuliah Hukum Perjanjian Internasional." Vega memasang tampang memelas.
Aku hanya tersenyum kecil melihat Vega yang berjalan gontai menuju kamar mandi.
Pandanganku kemudian beralih pada map kertas berwarna kuning, map yang digunakan untuk menemuni dosen pembimbing, berwarna kuning karena itu adalah warna fakultasku.
Aku membukanya, melihat tulisan aneh yang agak sulit untuk dibaca, coretan penuh arti dari dosenku, hehehe.
Tiba-tiba ponsel berbunyi...
Papa???
Aku merasa gugup seketika.
Ingin rasanya tak mengangkat telepon itu.
Tapi...
Aku tak ingin durhaka pada orangtuaku sendiri.
Aku tak ingin seperti Karin, terus menyimpan kebenciannya meskipun kematian telah mencoba menyelesaikan luka di hati Mamanya.
Papa memang telah berpisah dengan Mama.
Namun, dia tetap Papaku, dan aku tetap anaknya.
Aku menarik nafas panjang.
Aku : halo Pe (halo Pa)
Papa : halo luh, engken luh kabare? (halo Nak, gimana kabarmu Nak?)
Aku : baik Pe (baik Pa)
Papa : engken kuliahe luh? (gimana kuliahmu?)
Aku : baik
Papa : Pak mekelo asannne sing tepuk luh Aru...(Papa kangen sama kamu Aru...)
Aku : hmmm
Papa : bendan ngidang mulih luh? (kapan kamu pulang ke sini?)
Aku : nden tawang ne Pe (belum tahu Pa)
Papa : bendan wisudane luh? Kel usahayang Pak neke (kapan kamu wisuda Nak? Papa akan usaha'in datang)
Aku : telah tahun ne asannne Pe (akhir tahun mungkin Pa)
Aku senang Papa masih ingat dengan wisudaku, tapi... kenangan buruk itu masih sulit untukku lupakan, kenangan ketika Papa memukul Mama, aku melihatnya sangat jelas, pada siang hari yang terik, tepat ketika aku membuka pintu rumah, seorang bocah SD harus melihat Mamanya menangis sambil berlutut, itu adalah hari yang pilu.
Papa : Pak kel ngorahang nto gen, nah luh Pak idih pelih... (Papa cuma mau ngomong itu saja, Aru... maafin Papa ya...)
Aku : ...
Air mataku berlinang, aku memejamkan mata, membiarkannya menetes, membasahi luka di hatiku.
Beberapa detik kemudian telepon pun terputus.
***
"ng... Arumi udah datang, ng... Zul! Kita berangkat sekarang!" Bang Abid yang baru saja melihat kedatanganku dari balik lemari segera berteriak.
"mau kemana Bang Abid? Tanyaku heran.
"ng... kita mau keluar, ada urusan, ng... Arumi tolong jagain temen Bang yang ini ya..." Bang Abid tertawa pada Bang Ryan.
"ya... ya... orang cacat emang harus dijagain," ujar Bang Ryan ketus.
Hmmm mulai lagi nih Bang Ryan.
"ng... ya udah, kalo gitu, ng... lo aja yang pergi sama Zul, ng... biar gue yang dijagain sama Arumi di sini, ng... sini duduk Arumi..." Bang Abid melambaikan tangannya padaku sambil tersenyum cengengesan.
"udah udah! Lo pergi aja sana! Noh Zul udah nungguin di luar tuh! Ati-ati di jalan! Bye!" usir Bang Ryan.
Hehehe Bang Ryan... Bang Ryan...
Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala sekarang.
Setelah Bang Abid pergi bersama Zul, tinggallah kami berdua yang sibuk dengan kerjaan masing-masing.
Suara Papa kembali terngiang di dalam benakku, ingatan-ingatan menakutkan itu silih berganti menvisualkan kejadian masa lalu yang harusnya tak pernah terukir seperti itu.
Pikiranku menerawang, jauh...
Wajah Mama yang penuh luka lebam itu yang masih bisa kuingat hingga saat ini. Hanya itu kenangan yang tersisa tentang Mama.
Karena dia telah pergi, meninggalkan negara Indonesia, menetap di Australia, tempat ia dilahirkan, kampung halaman Kakekku.
Mama masih meneleponku sekali-kali, masih mengirimku foto hidup barunya di sana, masih berbagi momen dengan video call, tapi... kami tak pernah bertemu lagi... dia tak lagi ada untukku, di sampingku, bersamaku.
Hmmm mengapa mereka menikah, jika hanya untuk bercerai?
Mengapa mereka menyeret anak-anaknya dalam kehancuran seperti ini?
Padahal mereka hidup dalam keluarga yang penuh kasih sayang.
Pekak dan Mbah adalah pasangan yang tak pernah bertengkar sepengetahuanku, bahkan ketika urusan sawah yang membuat keluarga besar terlibat masalah hingga ke pengadilan.
Sedangkan Pap dan Granny yang menetap di Australia juga adem-adem saja di sana.
Tapi mengapa mereka seperti ini?
Monitor yang kupandangi sejak tadi seakan berubah menjadi blank space, pikiranku terasa kosong sekarang.
"Aru..." suara seseorang terdengar sayup-sayup.
"Aru... kamu kenapa?" ah... bukannya itu suara Bang Ryan?
Aku segera menoleh ke samping kiri.
"ada apa Bang Ryan?" tanyaku heran.
"kamu baik-baik aja Aru? Dari tadi aku panggilin." Bang Ryan mendorong kursi rodanya mendekat padaku.
"oh...hmmm ya," jawabku singkat.
Bang Ryan menatap mataku dengan tajam, terasa sedang mencari sesuatu yang jauh tersembunyi di hatiku.
"cerita'in aja Aru..." ujarnya kemudian.
"aku kan temenmu..." dia menaikkan alisnya.
Aku hanya meliriknya.
"Abangmu?" dia tersenyum.
Aku mengerutkan kening.
"atau... orang yang kamu suka..." dia bersedekap sambil memiringkan kepalanya.
Aku tersenyum seketika, dan segera mengalihkan pandangan dari wajahnya.
"cerita'in aja Aru..." bujuk Bang Ryan.
"hah... Bang Ryan yakin mau denger cerita Aru?" akhirnya aku buka suara.
"yakin, kenapa gak?" dia mengangguk-angguk.
Selama ini aku tak pernah membuka aib kehidupanku ini pada laki-laki yang pernah menjalin hubungan denganku, tak satu pun dari mereka yang tahu.
Cerita itu hanya kubagi pada orang-orang yang sangat kupercayai, para sahabatku!
Tapi... entah mengapa kali ini berbeda.
Aku merasa percaya dengan Bang Ryan.
Percaya untuk membiarkannya menyimpan masa laluku yang menyedihkan.
Rasa apa ini?
Mungkinkah aku telah....
***
~POV Ryan~
Bergetar hati ini mendengar cerita hidup Arumi, gadis yang tampak selalu bahagia itu tak pernah kusangka memiliki kenangan pahit.
Aku benar-benar menyesal pernah ikut melukai hatinya saat itu, aku sungguh menyesal!
Ia menyeka matanya lagi, teriris hatiku melihatnya begini, tapi... aku lah yang telah memintanya untuk membuka luka lama itu.
Ya Tuhan....
Cukup Arumi! Cukup!
Jangan menangis lagi!
~POV Arumi~
Bang Ryan mengelus lembut rambutku, hatiku merasa tenang seketika.
"makasih Bang Ryan... udah mau dengerin cerita Aru." aku melihatnya sambil berusaha tersenyum.
"makasih juga sudah mau cerita, Aru..." ujar Bang Ryan membalas senyumanku.
Aku mengerutkan kening, tak mengerti dengan perkataannya itu.
Kami pun terdiam untuk beberapa saat.
"Aru..." Bang Ryan melirikku.
Aku meliriknya.
"nanti sore main ke rumah yuk..." dia tersenyum manis, sangat manis.
"ada apa di rumah?" tanyaku heran.
"gak ada, main aja, ketemu Vani... Bang Dodi... Mama dan Papa juga," jawabnya santai.
Aku masih menatap bingung padanya.
"ya... anggap aja keluargaku adalah keluarga Aru..." dia menaikkan alisnya.
Hmmmm????
***