~POV Arumi~
"Bang Ryan serius?" aku masih sulit percaya dengan ucapannya barusan.
"iya Aru... serius, nanti sore ya... abis kita nyiapin ini." Bang Ryan tersenyum tipis dan mendorong kembali kursi roda ke arah mejanya.
Main ke rumah Bang Ryan?
Bertemu keluarganya?
Dan aku boleh menganggap itu keluargaku?
Astaga!!!
Baru kali ini aku bertemu laki-laki yang memiliki hati selembut ini.
Ya Allah...
Aku benar-benar bersyukur Engkau telah mempertemukanku dengannya.
Bang Ryan...
Sepertinya... aku telah mulai jatuh cinta padamu...
***
"Abid dan Zul kena macet," ujar Bang Ryan setelah menjawab telepon.
"biar Aru yang anterin pulang..." aku tersenyum padanya.
"sorry ya... aku bener-bener cuma bisa bergantung sama orang sekarang, nyusahin orang juga." Dia tersenyum tipis.
Bang Ryan! Please jangan ngomong begitu!
"kalo orangnya yang seneng bisa nganterin pulang, kira-kira masih disebut nyusahin apa gak?" ujarku sambil menatap matanya dengan manis.
"Aru seneng nganterin aku pulang?" dia terkekeh kemudian.
"hmmm seneng," jawabku pendek dan segera beranjak dari kursiku.
"serius?" Bang Ryan segera menyusulku.
Aku tak menjawab, selalu menarik melihat ekspresi penasaran Bang Ryan itu, jadi... biarkan saja dia dulu, hehehe.
***
Bang Ryan duduk di sampingku, hal ini mengingatkanku dengan kenangan pertama kami, pertengkaran pada awal perkenalan, ah.... bukan awal yang baik dalam sebuah hubungan, tapi... itulah yang terjadi saat itu.
Hari ini, ia bukan lagi seseorang yang menjengkelkan itu, Bang Ryan terasa seperti sebuah masa depan, yang mulai tersibak di balik awan mendung.
Mungkinkah kami akan bersama nantinya?
Mungkinkah kami memiliki takdir untuk bersama?
Apakah harapanku terlalu berlebihan?
Apakah aku salah berharap kebahagiaan, dari seseorang yang belum lama ini harus menerima takdir yang berat untuk dipikulnya?
Saat ini aku begitu menginginkannya.
Aku menginginkannya untuk kebahagiaanku.
Apakah aku egois karena itu?
Aku menengok pada Bang Ryan sebentar, melihat sosok yang membuatku nyaman akhir-akhir ini.
"ada apa Aru?" tanyanya yang menyadari tatapanku.
"ah... gak... hmmm Bang Ryan, ntar kita ke kosan Aru dulu ya..." ujarku sedikit kikuk.
"oke, sekalian juga nih mau liat kosannya Aru." Dia mengangguk.
"emang kenapa?" tanyaku.
"hmmm gak." Dia tersenyum lalu membuang muka.
Bang Ryan... aku suka melihatmu banyak tersenyum seperti ini, teruslah tersenyum Bang...
***
"Bang Ryan mau ke dalam?" tanyaku setelah selesai mematikan mesin mobil.
"kamar Aru yang lantai berapa?" Bang Ryan mengamati kosanku.
"lantai dua, lewat tangga yang itu naiknya." Aku menunjuk tangga samping.
"oh... hmmm aku tunggu di sini aja... kosan Aru kayaknya gak nerima orang berkursi roda nih." Dia terkekeh dingin.
"atau Bang Ryan tunggu di lantai satu aja," ujarku mencoba menyelamatkan pembicaraan ini.
"gak usah... Aru pergi aja, aku tunggu di sini." Dia tersenyum miring sekarang.
Arghhhhhh!!!!
Selalu saja ada situasi seperti ini!!!
Aku pun memilih diam, dan pergi berlari menuju tangga spiral, mencoba melupakan kejadian tadi.
Sesampainya di depan pintu, aku segera membukanya, karena yakin ada Vega di dalam.
"ah... pas banget lu lagi nyetrika nih Ve... gua titip ini ya," ujarku setelah melempar jilbabku di atas tumpukan baju Vega.
"nah loh... mau kemana nih Buk? Mau kondangan? Hehehe." Vega memungut jilbab itu dan segera membentangkannya di papan setrikaan.
"gua mau ketemu camer!" teriakku sambil membuka baju.
"HAH!!! Lo serius???" Vega membalas teriakanku tak kalah kencang.
"hahaha, lu setrika aja tuh jilbab, gua buru-buru nih," elakku.
"trus lo gak mandi gitu? Idiiiihhh calon mantu apaan nih... hehehe," ledek Vega.
"gak sempat, ah... biarin aja... eh Ve... gua pinjam rok lu ya... gua gak punya rok nih." Aku membuka lemari Vega yang berada di samping lemariku.
"ya ya... cari aja sana! Nih jilbab lo udah siap, emang lo bisa makenya?" Vega beranjak dan mendekatiku.
"makasih Vega sayaaaangg..... hehehe gua gak bisa.... ajarin gua ya...." aku tersenyum genit pada Vega.
"ckckckck, ikat dulu rambut lo sana!" Vega pun membantuku memakai jilbab itu.
***
"maaf lama ya Bang Ryan..." ujarku setelah duduk di dalam mobil.
Bang Ryan tak menjawab apapun.
Ia hanya menatapku.
Terus menatap.
Masih menatap.
"Bang Ryan..." aku melambaikan tangan di depan wajahnya.
Ia terkejut seketika.
"kamu manis banget Aru..." ia tersenyum.
"makasih Bang Ryan..." aku membalas senyumannya, lalu menoleh ke depan, tersenyum sendiri, malu... tapi senang, senang dengan pujiannya itu!
***
Baru saja aku keluar dari mobil, menunggu Bang Ryan berpindah dari mobil ke kursi rodanya yang dibantu security, Vani tiba-tiba muncul dengan suara cerita, datang menyambutku.
"Kak Arumiiiiii.....!!! ternyata beneran ya, kirain Bang Ryan boongin Vani tadi, ayo masuk Kak." Vani langsung memegang lengan kananku, dia menarikku masuk ke rumah.
"cantik banget Kakak pake jilbab, tu kan bener, jilbabnya itu lucu, Vani yang milih lho..." dia tersenyum manja padaku.
"makasih ya Vani... untung kamu yang pilihin." Aku membalas senyumannya.
"Mamaaaa.... liat nih siapa yang dateng... temannya Bang Ryan!" teriak Vani ketika kami berada di ruang tamu.
Hmmmm terima kasih Van... kamu mempercepat proses perkenalanku, hehehe.
"kita langsung ke dapur aja Kak, Mama tadi lagi masak." Vani menarik lenganku kembali.
Aku hanya bisa tersenyum melihat adik Bang Ryan yang bersemangat itu, hmmm mungkin suatu saat akan menjadi adikku juga.
Ah... itu Mamanya Bang Ryan.
"siapa Van?" Mama Bang Ryan menoleh padaku.
"sore Tante..." sapaku sedikit kaku.
Mama Bang Ryan melihatku lebih seksama.
"sore Nak." Ia kemudian melirik Vani dengan heran.
Sepertinya Mama Bang Ryan tak mengenaliku, beliau mungkin tak ingat pernah bertemu denganku sebelumnya.
"ini Kak Arumi Ma... temennya Bang Ryan," tutur Vani.
"oooo... temen apa Nak?" Mama Bang Ryan melihatku dengan tatapan teduhnya.
"temen dekat Ma... pacar!" ujar Vani seketika.
Aku segera melirik Vani, menggeleng padanya.
"gak Tante... Aru temen kerjanya Bang Ryan..." tuturku meluruskan identitasku.
"tapi bentar lagi kan jadi pacar, hehehe." Vani menoleh padaku dengan tatapan usil.
"udah udah! Van! Kamu bikin Kak Aruminya gak enak tuh... ini pegang spatulanya! Temenin Asih di dapur, dari tadi main ponsel aja!" ujar Tante pada Vani yang tampak mulai cemberut.
"ayo Nak... kita duduk di depan," ajak Tante padaku.
Aku mengangguk, mengikuti Tante menuju ruang tamu.
Kami mengobrol di sana, Tante ternyata penasaran bagaimana awal perkenalanku dengan Bang Ryan, aku hanya menceritakan momen pertemuan kami di kantor Walikota tempo hari, aku takut menceritakan awal perkenalan yang sebenarnya, takut jika itu terdengar seperti sebuah perkenalan yang gagal.
Rasanya baru sekitar sepuluh menit berlalu, tiba-tiba...
"Assalamu'alaikum... eh Arumi! Wah cantik banget nih calon adek ipar Bang Dodi, cocok banget kan warnanya? Eh tumben main ke sini Arumi? Ada acara apa nih? Yaaaannn..!!! Yaaannnn....!!!" Bang Dodi segera memasuki sebuah kamar yang berada di dekat ruang tamu ini.
"Wa'alaikum salam... aduh... maklumin aja ya Arumi... Dodi kadang suka becanda," ujar Tante ramah.
"gak pa pa kok Tante," kataku.
"Arumi sudah punya pacar?" tanya Tante mengejutkanku.
Aku menggeleng malu, rasanya seperti mengakui sesuatu yang salah saja, hehehe. Aku agak gugup dengan percakapan ini.
"belum Tante," lanjutku.
Tante pun tersenyum kemudian.
Entah apa yang beliau pikirkan, hanya dia dan Tuhan yang tahu.
"eh bentar lagi magrib, kita ambil wudhu dulu yuk, nanti kita sholat berjamaah ke mesjid," ajak Tante lembut.
"iya Tante," kataku.
Pantas saja Bang Ryan rajin sholat berjamaah ke mesjid, ternyata sudah dari keluarganya yang seperti itu, beruntungnya Bang Ryan dibesarkan dan dididik dalam keluarga yang dekat dengan agama.
Selesai berwudhu dan memasang mukena, aku berpapasan dengan Papa Bang Ryan yang tampak tegas, namun sangat ramah.
***
Sholat magrib berjamaah telah ditunaikan, kami kembali ke rumah, sangat dekat jaraknya, hanya perlu menyeberang jalanan gang ini, ya... rumah keluarga Bang Ryan berada tepat di depan Masjid kompleks perumahan Sandest ini.
Sekarang kami berada di ruang makan, Bang Ryan berada di depanku, ia tersenyum melihatku yang duduk di sebelah Tante, apa yang sedang dipikirkannya ya?
Papa Bang Ryan pun membuka obrolan dengan menanyakan tentang orangtuaku, tiba-tiba aku terdiam, rasanya ingin saja berbohong, mengarang cerita jika kedua orangtuaku baik-baik saja, tapi... untuk apa melakukan itu? itu hanya pilihan seorang yang putus asa! bukan pilihanku!
"Papa dan Mama bercerai Om," ujarku tenang. Tak peduli jika hal ini akan merubah pandangan Om dan Tante padaku.
"jadi Arumi tinggal sama siapa?" tanya Tante.
"sama Saudara perempuannya Papa, Tante," jawabku.
"jadi di sini kos berarti ya?" tanya Om.
"iya Om," jawabku.
"kalau bosan di kos, main aja ke sini Nak... Mama ada di rumah kok," Tante menatapku dalam-dalam sambil melengkungkan senyuman.
"iya... nginap aja sekalian, Vani pasti senang punya Kakak perempuan." Om juga tersenyum padaku.
"ntar tidur sama Vani aja Kak... kapan Kak... kapan Kak? Vani udah gak sabar nih." Vani tersenyum lebar padaku.
Aku merasa seperti disambut dengan baik di rumah ini, layaknya keluarga sendiri.
Terima kasih Bang Ryan... telah membawaku ke sini.
***