~POV Arumi~
Lho, kemana si Vega? Kok kamar kosong begini? Aku segera mengambil ponselku, mengecek sesuatu yang mungkin terlewat. Oh... ini dia! Jadi Vega main ke kos temannya, hmmm baiklah.
Aku melempar tas di ranjang dan segera berbaring sambil membentangkan kedua lenganku. Ah... moodku benar-benar baik hari ini, bisakah malam ini tak segera berakhir? atau bisakah besok semuanya tak ada yang berubah?
Aku terus larut dalam lamunanku.
Tiba-tiba ponselku berbunyi...
Aku segera mengambilnya.
Bang Ryan!!! Aku terperanjat seketika.
Hatiku langsung gugup, aku ragu sekaligus takut mengangkat telepon itu, ada apa denganku?
Satu panggilan terlewat begitu saja.
Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku meneleponnya kembali?
Oh... Bang Ryan kembali menelepon.
Aku menarik nafas panjang, mencoba tenang.
Aku : halo Bang Ryan
Bang Ryan : halo Aru, udah nyampe kos?
Aku : udah Bang, ini baru nyampe
Bang Ryan : oh syukurlah kalo gitu, udah itu aja
Aku : iya Bang
Dan telepon kemudian terputus.
Eh? Jadi Bang Ryan meneleponku hanya untuk menanyakan itu, kenapa?
***
~POV Ryan~
"syukurlah Mbak Arumi udah nyampe kos ya Mas," ujar Zul yang sedang menyetir di sampingku.
"hmmm," jawabku.
Aku menaruh ponsel di Dashboard dan kemudian mengambil botol air mineral, menenggaknya hingga tersisa setengah.
"Zul." Aku menoleh pada Zul.
"ada apa Mas," jawabnya sambil menoleh sebentar padaku.
"menurut kamu, kenapa cewek normal bisa jatuh cinta sama cowok cacat?" tanyaku.
"hmmm kenapa ya? Zul gak tau juga Mas, oh ini Mas Ryan lagi ngomongin Mbak Dita sama Mas Kenzo ya?" tebak Zul.
Seperti yang kuduga, Zul pasti akan menebaknya.
"iya," jawabku.
"mending langsung tanya aja sama Mbak Dita nya Mas, kan Mbak Dita itu orangnya baik gitu, pasti mau kasih tau," ujar Zul.
Hmmm bertanya pada Dita? Apakah itu tak masalah? bukannya aku terlihat seperti ingin tahu kehidupan pribadinya saja. Tapi, apa yang Zul katakan itu benar, jika aku ingin tahu pastinya, kenapa tak bertanya langsung pada orang yang telah menjalaninya, Dita jelas orang yang tepat.
Eh tunggu sebentar! Kenapa aku ingin tahu itu? untuk apa aku mengetahuinya? Aku kan tak sedang menyukai siapapun.
***
Pagi ini sesi terapi baru saja selesai, program terapi akan berakhir seminggu lagi, setelah itu aku bisa melakukan beberapa gerakan secara mandiri dan sisanya akan dibantu oleh keluargaku, mereka semua ikut mempelajarinya, aku sungguh bersyukur terlahir di tengah keluarga seperti ini.
Kesulitan yang kuhadapi ini terasa lebih ringan karena dukungan mereka, aku berjanji tak akan pernah melupakan ini, aku akan selalu mencintai keluargaku.
"Bang Ryan... ntar siang kita main ke luar yuk..." ajak Vani yang baru saja mengantarkan terapisku ke luar.
"hmmm main ke mana?" tanyaku sambil mendorong kursi roda menuju kamarku.
"ya pokoknya main ke luar aja Bang, Mall, toko buku, toko bunga, museum, atau apa aja, asal main ke luar, yaaaaa Bang Ryan..." rengek Vani.
Kalau diingat-ingat Vani memang jarang pergi main ke luar rumah bersama teman-temannya, Papa melarangnya, takut hal-hal buruk terjadi. Vani diizinkan ke luar hanya untuk mengerjakan tugas kelompok di rumah temannya, dan itupun harus diantar oleh kita yang ada di rumah ini.
Selebihnya Vani sering ke luar bersamaku dan Bang Dodi, kami pergi mengunjungi tempat-tempat menarik di sekitar kotaku ini, bahkan terkadang kota-kota tetangga.
"kamu inginnya kemana?" tanyaku sambil tersenyum padanya.
"gimana kalo toko buku," jawab Vani bersemangat.
"ah, bagus itu, ayo kita ke toko buku, kebetulan Bang Dodi juga mau cari buku politik hukum pertanahan nih." Bang Dodi yang sejak tadi mengikuti kami ikut bersuara.
"buku politik hukum pertanahan? Emang Bang mau jadi notaris?" tanyaku heran.
"ya penting soalnya tau tentang itu, kemaren ada masalah dengan tanah yang udah kita beli, ya meskipun setelah ditelusuri lagi semuanya baik-baik aja, tapi Bang gak ingin hal yang sama terulang lagi, kita kan gak boleh dibodoh-bodohi orang, kita juga harus ngerti politiknya gimana," jelas Bang Dodi.
"hmmm" aku hanya mengangguk-angguk mendengar saudara sulungku itu, sudah ciri khasnya berbicara penuh semangat seperti itu.
"nah, kalo gitu kita pergi aja bertiga, udah lama gak pergi kayak gini..." Vani tersenyum simpul padaku dan Bang Dodi.
Ya, itu memang benar, semenjak berkursi roda, aku belum pernah sekalipun pergi main ke luar bersama Vani dan Bang Dodi, selain karena aku belum begitu kuat mendorong kursi roda untuk berkeliling, aku juga belum siap untuk bertemu banyak orang di luar sana, masih ada rasa malu di hatiku dengan keadaan ini, aku belum bisa menerima ini seratus persen.
Tapi, mungkin aku harus mencobanya, sekarang atau nanti toh itu sama saja, aku harus menerima bahwa aku bukan lagi Ryan yang seperti dulu, ini adalah kehidupanku yang sekarang, aku harus menghadapinya, terlepas apakah aku menerima atau tidak.
Hah... baiklah....
Aku harus terus menatap kehidupanku ke depan, tak ada gunanya aku mengenang masa lalu.
Lihatlah Kenzo dan teman-temanku di komunitas, mereka berusaha menyesuaikan diri dengan orang-orang normal di sekitarnya, mereka berinteraksi dan menjalin hubungan sosial. Aku pun harusnya begitu, ya... aku akan mencoba ini.
"jadi jam berapa kita pergi?" tanyaku.
"habis makan siang aja Bang Ryan, jadi kita langsung main aja kalo udah nyampe," jawab Vani sambil tersenyum, ia tampak begitu senang.
"nah iya, Adek Bang Dodi ini emang pintar." Bang Dodi langsung mengacak-acak jilbab sorong Vani, hal yang juga sering kulakukan dulu, tapi sekarang sepertinya itu sudah tak mungkin lagi, tanganku tak bisa menjangkaunya.
"ish... Bang Dodi!!!" teriak Vani sambil bersembunyi di dekatku, ia merapikan jilbabnya.
"iya nih Adek Bang Ryan ini emang pintar banget ya." Aku pun mengacak-acak jilbabnya yang berada dekat dengan tanganku itu.
"ish... Bang Ryan sama aja!" Vani berlari ke kamarnya.
Aku tertawa pada Bang Dodi yang juga sedang tertawa.
***
Ada dua toko buku besar di kotaku ini, Vani memilih toko buku yang berada di dekat jalan utama. Toko buku ini terdiri dari tiga lantai, tak ada lift, hanya ada tangga yang menghubungkan masing-masing lantai.
Aku mengamati tangga itu, terlalu sempit, orang-orang begitu banyak berseliweran naik dan turun, jika aku mencoba 'memanjatnya' tentu akan menghabiskan semua area tangga, dan akan terjadi kemacetan di sana, hmmm aku sepertinya harus mengalah dan menunggu saja di bawah.
Namun kedua saudaraku tetap harus naik ke lantai dua, karena tak ada buku di lantai dasar ini, hanya ada peralatan tulis.
"biar Bang yang tolongin naik ke atas," ujar Bang Dodi ketika kami sampai di depan anak tangga.
"gak usah Bang, biar aku tunggu di bawah aja," kataku sambil tersenyum tipis.
"ya udah kalo gitu, Bang temanin kamu." Bang Dodi melangkah menjauh dari anak tangga itu.
"gak usah Bang, lagian Bang kan juga mau cari buku." Aku mendorong kursi roda, menyusul Bang Dodi yang sedang mengamati jejeran notes.
"atau Vani aja yang tememin Bang Ryan, Vani cuma mau main aja kok ke sini, gak ada rencana beli buku, Bang Dodi naik aja ke atas. Vani mendekatiku.
Ah... malah jadi begini. Harusnya aku tadi mengajak Zul pergi bersama, jadi kedua orang ini tak perlu khawatir seperti ini padaku.
"Bang Ryan!" sapa seseorang yang suaranya sangat kukenal.
Aku segera memutar kursi roda, membalikkan badanku.
"Dita!" kataku setelah memastikannya.
Kedua saudaraku telah mengenal Dita, sama seperti mengenal Kenzo.
Kami berbincang-bincang ringan sebentar dengan Dita.
"oh jadi Bang Dodi sama Vani mau cari buku, hmm biar aku aja yang nemenin Bang Ryan di sini, aku juga gak ada kegiatan lagi abis ini," ujar Dita mencoba meyakinkan kedua saudaraku.
"bener gak merepotkan nih Dit?" tanyaku pada Dita.
"iya, gak pa pa kok, lagian bisa ngobatin kangen sama Babang juga dikit, hehehe." Dita nyengir.
"maksudnya karna kursi roda ini?" tanyaku heran padanya.
Dita hanya tersenyum simpul.
Kedua saudaraku akhirnya bisa dengan tenang pergi berburu buku di lantai dua.
"beli buku apa Dita?" tanyaku ketika Dita baru saja membayar Buku di kasir, di bagian paling ujung lantai dasar ini.
"buku tentang teori desain komunikasi visual, Babang nyuruh aku beli yang versi barunya, kata Babang ini penting untuk bab dua proposal aku," jelas Dita sambil menunjukkan buku yang covernya berwarna hitam itu.
"Kenzo ngerti proposal Dita?" tanyaku.
"hehehe ngerti dong, kan Babang jurusannya juga desain grafis, sama kayak aku." Dita tersenyum, sekilas aku merasa senyuman Dita sepertinya mirip dengan senyuman Kenzo, hmmm mereka benar-benar berjodoh.
Aku kemudian mengangguk.
"Dit." Aku tiba-tiba teringat sesuatu.
"ada apa Bang?" tanya Dita. Dia menoleh padaku.
"boleh Bang nanya sesuatu yang agak pribadi?" tanyaku sedikit ragu.
"hmmm tentang apa Bang?" Dita segera berjongkok di lantai, di depanku.
"kenapa Dita jongkok?" tanyaku heran.
"hehehe gak pa pa kok Bang Ryan, aku kalo ngomong sama Babang emang sering kayak gini, jadi Bang Ryan mau nanya apa?" tanya Dita penasaran.
"maaf sebelumnya ya, kalo Bang nanya tentang ini, Bang cuma ingin tau." Aku mengambil nafas sejenak.
"kenapa Dita bisa cinta sama Kenzo?" meskipun masih ragu, tapi aku akhirnya mengatakannya juga.
"oh itu... banyak juga kok orang nanyain tentang itu, hmmm gimana ya? Aku tuh suka sama Babang seperti kayak cewek suka sama cowok aja, ya sama aja sih," jawab Dita santai.
"hmmm.... tapi kan Kenzo bukan cowok biasa, ya... samalah sama Bang, kita kan punya kekurangan," ujarku.
"justru itu yang bikin aku tambah suka sama Babang, kalo bagi aku sih, apa yang aku rasain itu sama aja seperti yang dirasain cewek-cewek pada umumnya, gak ada yang beda, intinya aku nyaman sama Babang, makanya aku cinta sama dia," jawab Dita.
Benarkan itu? begitu sederhanakah cinta Dita pada Kenzo?
***