~POV Arumi~
Aku dan Dita melambaikan tangan pada dua sahabat kami yang lain, ketika kami berpisah di depan kampus. Mereka mencari seorang dosen untuk mengkosultasikan judul proposal Siska yang harus direvisi, untunglah Siska yang masih belum paham prosedur itu ditemani oleh Karin.
"Aru abis ini kemana?" tanya Dita.
"pulang," jawabku singkat.
"kalo gitu kita ke rumah temennya Babang yuk, dia punya banyak buku tentang desain grafis, kan bagus untuk referensi kita," ujar Dita dengan bersemangat.
"sorean mungkin Dit, gua ntar siang mau ngelanjutin proyek website dulu," kataku sambil tersenyum kecil.
"oh yang barengan Bang Ryan itu ya.... hmm ya udah deh, sore aja." Dita tampak tersenyum aneh, seakan ada maksud lain.
"oke, ntar gua jemput ke rumah deh, temen kuliahnya Bang Ken dulu ya?" tebakku.
"iya Aru, ada temen Bang Ken yang pintar banget, sekarang lagi jalan S3, nah dia yang punya banyak buku itu," jelas Dita.
"wah hebat banget ya! Ya udah, ntar kita ke sana, tau kan alamatnya?" tanyaku.
"tau, aman itu, bye Aru..." Dita melambaikan tangan ketika kita berpisah di parkiran.
Aku membalas lambaian itu.
***
Sampai juga di kantor alias rumah Bang Abid, hehehe. Eh, kok tak ada mobil Bang Ryan terparkir di sini? Apa dia belum datang ya?
"Bang Abid," sapaku setelah masuk ke dalam.
"ng... Arumi." Bang Abid melambaikan tangannya tanpa mengalihkan pandangan dari monitor, hmm itu sudah kebiasaannya.
"Bang Ryan belum datang ya Bang?" tanyaku penasaran.
"ng... Ryan lagi nganterin Zul daftar bimbel," ujar Bang Abid sambil menoleh sebentar padaku.
"bimbel? Zul mau ikut ujian SNMPTN ya Bang?" tanyaku heran.
"gak, ng.. kalo paket C gak bisa ikut itu, targetnya Ryan, ng.. Zul ikut SBMPTN." Bang Abid membalikkan badan dan berhenti mengurusi komputernya.
"hmm jadi Zul mau kuliah abis ini ya?" aku mengangguk-angguk.
"ya, ng.. Ryan yang nguliahin," jawab Bang Abid.
"oh, Zul itu keluarganya Bang Ryan ya Bang?" tebakku.
"gak sih, ng... Ryan emang gitu orangnya, kalo udah peduli, ng... bisa peduli banget, kalo udah sayang, ng... bisa sayang banget juga, hehehe." Bang Abid terkekeh.
Kenapa ekspresi Bang Abid seperti itu, aneh!
"eh, ng... umur panjang nih mereka, baru juga diomongin." Bang Abid menatap ponselnya yang bergetar.
"ng... halo Yan," ujar Bang Abid.
"hah! Mogok!" teriak Bang Abid.
"ya udah, ng... gue jemput lo sekarang, lo dimana?" tanya Bang Abid.
"oke oke, ng... gue tunggu share location lo," tutup Bang Abid.
Bang Abid kemudian memeriksa sesuatu di Google Map.
"ng... Arumi, Bang mau jemput Ryan dulu nih, ng... dia bilang dia harus pulang secepatnya, kolostomi bag nya bocor," ujar Bang Abid agak panik.
"iya Bang," jawabku sambil mengangguk.
Baru berjalan beberapa langkah...
"eh, ng... Bang lupa, bentar lagi ada yang mau ke sini, ng... klien kita, ng... kalo Arumi aja yang jemput Ryan gimana?" tanya Bang Abid dengan wajah bersalah.
Hah? Menjemput Bang Ryan? Hmmm kalau aku sih gak masalah, tapi Bang Ryan nya gimana?
Eh, bukannya Bang Ryan sudah menganggap aku adiknya, mungkin ini tak apa-apa.
"oke Bang, dimana Aru jemput?" tanyaku.
Bang Abid kemudian memberikan alamat yang dia dapat dari map tadi padaku.
***
Nah, itu dia mobil Bang Ryan, berada di pinggir jalanan yang sepi.
Aku segera keluar dan menuju kursi samping, tak terlihat siapapun karena kaca film mobil yang gelap, namun sedetik kemudian kaca mulai terbuka.
"Aru! Kenapa ke sini?" tanya Bang Ryan heran.
"mau jemput Bang Ryan," kataku datar.
"gak jadi Abid?" tanyanya lagi sambil mengerutkan kening.
"gak, Bang Abid ada tamu," jawabku singkat. Sepertinya sekarang aku jadi ikut-ikutan irit ngomong juga nih.
Di luar dugaan, Bang Ryan tak memberikan penolakan, ia segera meminta Zul untuk membantunya keluar dari mobil dan naik ke mobilku, Zul pun menggendongnya. Aku segera mengambil bagian-bagian kursi roda Bang Ryan dan memindahkannya ke bagasi mobilku, hal yang pernah kulihat dilakukan oleh Dita.
"maaf merepotkan Aru," ujar Bang Ryan yang tampak memegangi perutnya.
"gak pa pa kok Bang," kataku sambil tersenyum.
"oh, kamu ada tissue?" Bang Ryan tampak melihat dashboardku yang kosong, kebetulan tissue di mobil baru saja habis, aku belum membeli yang baru.
"ada Bang, ini." aku menyerahkan tissue yang baru saja kuambil dari dalam tas.
"makasih." Bang Ryan segera mengambilnya beberapa lembar.
Bang Ryan menarik baju kaosnya sedikit dan menumpuk tissue itu pada tumpukan tissue yang terlihat sedikit merembes.
"sorry kalo nanti ada bau-bau gitu." Bang Ryan tersenyum miring.
"gak perlu minta maaf kok Bang, ya udah kita langsung pulang kan? Alamat rumah Bang Ryan dimana?" tanyaku.
"Aru kan udah pernah ke rumah sebelumnya?" Tanya Bang Ryan heran.
"Ng... Aru lupa Bang," jawabku malu.
Bang Ryan tak menyebutkannya, tapi ia menuntunku sambil mobil terus melaju.
Kami tak berbicara apapun, aku hanya mengangguk setelah Bang Ryan mengarahkan jalan.
Kira-kira lima belas menit berlalu seperti itu, aku pun mulai bosan.
"Bang Ryan dulu kuliah dimana?" tanyaku basa-basi.
"sama dengan tempat Aru kuliah sekarang," ujarnya. Aku menoleh padanya dan ia ternyata telah memandangiku sejak tadi.
"oh," aku mengangguk.
Hmmm apa lagi ya yang mau ditanyakan? Kenapa aku jadi kikuk begini sih?
"Aru lagi nyusun ya?" tanyanya kemudian.
"iya Bang, tapi baru ngajuin judul sih, belum tau di Acc atau gak," jawabku sambil menoleh padanya, dan sama seperti tadi, aku melihat Bang Ryan telah memandangiku, apa jangan-jangan dia terus melihatku sejak tadi?
"sayang Bang gak jurusan desain grafis, kalo gak Bang bisa bantuin," kata Bang Ryan. Aku tak menoleh padanya, aku gugup melihat matanya terus-menerus.
Bantuin? Itu serius? hmmm ada apa nih sama Bang Ryan?
"Bang Ryan bisa aja kalo becanda nih..." aku tertawa sambil terus memandang ke depan.
"gak, siapa yang becanda? Bang mau kok bantuin Aru." Kata-kata Bang Ryan terdengar begitu serius, aku pun menoleh padanya, pandangan kita kembali beradu, hatiku bergetar seketika, aku segera membuang muka, kembali memandangi jalanan.
Aku tak memberikan jawaban apapun.
***
"yang mana rumahnya Bang?" tanyaku ketika telah memasuki gang perumahan mewah ini.
"yang itu." Bang Ryan menunjuk sebuah rumah yang berada di seberang.
Oh iya, ini rumahnya Bang Ryan, aku ingat sekarang.
Baru saja kami berhenti di depan pagar, security segera keluar menemui kami, setelah ia melihat wajah Bang Ryan, dengan cekatan ia mengeluarkan kursi roda dan membantu Bang Ryan turun.
"makasih Aru," ujar Bang Ryan yang sudah duduk di kursi rodanya.
"sama-sama Bang, biar Aru tungguin, jadi kita barengan aja ke kantor," kataku.
"gak usah, ngurus ini lama biasanya," tolaknya.
"gak pa pa kok Bang Ryan, Aru gak masalah nungguin Abang sendiri kok." Aku tersenyum padanya.
Ia kemudian membalas senyumanku dengan begitu manis.
"hmmm kalo gitu, Aru masuk aja ke dalam, lagian ini juga waktunya makan siang, lunch di sini aja," tawar Bang Ryan.
Eh? Lunch di rumah Bang Ryan, hmmm gimana ya?
"kok diam aja? Ada Mama juga kok di rumah, tenang aja." Bang Ryan terkekeh.
"oke deh Bang." Aku mengangguk sambil tersenyum kecil.
***
Mama Bang Ryan sedang di luar, beliau pergi mengantar koper dan barang-barang Papa Bang Ryan ke bandara, ada keperluan ke luar kota mendadak, urusan bisnis.
Jadi aku sendirian saja di ruang tamu ini, namun beberapa menit kemudian...
"Assalamu'alaikum!" suara seorang perempuan di dekat pintu masuk.
Aku segera menoleh, ternyata seorang gadis yang memakai seragam SMP, ia menggunakan jilbab.
"Wa'alaikum salam," kataku sambil tersenyum padanya.
Nampak raut bingung di wajahnya ketika melihatku.
"kakak siapa?" tanyanya. Ia segera mendekatiku dengan tatapan curiga.
"aku Arumi, temen kerjanya Bang Ryan," jawabku sambil mengulurkan tangan dengan wajah ramah.
"oh... barengan ama Bang Abid juga ya?" tanyanya sambil menjabat tanganku
"aku Vani, adeknya Bang Ryan," katanya datar.
Hmmm bahkan Adiknya Bang Ryan juga sama saja dinginnya dengan dia, keturunan mungkin ya?
"aku tinggal ya Kak," lanjutnya dan kemudian berlalu.
Aku tak sempat menjawab apapun.
Tak lama berselang...
"sorry lama Aru, ayo kita lunch," ajak Bang Ryan yang baru saja muncul, di sampingnya ada gadis tadi, eh siapa namanya tadi? oh ya Vani.
Aku mengangguk, dan mengikuti Bang Ryan.
Kami makan siang di sana tanpa banyak bicara, tapi bukan itu yang membuatku agak risih, Vani adik Bang Ryan itu, entah mengapa sejak tadi terus melihatku dengan tatapan tak bersahabat, aku benar-benar tak nyaman dengan itu.
***