~POV Arumi~
[Aru, ntar sore main ke cafenya Babang ya... ada yang nungguin kamu]
Chat WA dari Dita itu masih saja kupandangi sejak tadi.
Kemarin kata Dita teman Bang Ken itu mau ke sini lusa, lha.. kok sekarang sudah disuruh ketemuan sih?
[Bukannya besok Dit?]
Balasan dariku.
[Hehehe Babang udah balik tadi subuh, dan temennya ntar siang juga udah nyampe sini]
Itulah jawaban Dita yang sudah kembali sejak semalam, dia tak ikut menginap di luar kota bersama Bang Ken.
Hmmm aku sedikitpun tak senang membaca pesan terakhir itu.
Apa yang harus kubalas?
Menolak, pastinya bukan pilihan yang bijak, itu bukan perilaku yang baik.
Tapi melanjutkan perkenalan ini jelas ada resikonya. Bagaimana kalau.....
Argh...!!! cukup Arumi! Itu cuma ketakutan yang tak beralasan!
Ini hanya kenalan, cuma itu!
~POV Ryan~
Semua anggota keluarga sudah berkumpul di ruang makan, ya kecuali Papa tentunya, beliau belum pulang dari luar kota.
Kami sarapan bersama seperti biasa.
Dua puluh menit berlalu, Mama segera ke kamar mengganti baju, bersiap-siap untuk mengantar Vani.
Sedangkan Adikku itu sibuk dengan ponselnya, tertawa sendiri... menggerutu sendiri... itulah kelakuannya.
"Bang Yan, nama lengkap Kak Arumi siapa?" tanyanya seketika.
"eh, kenapa emang?" tanyaku. Hmm ada apa ini? mengapa tiba-tiba Vani menanyakan itu?
"gak, cuma pengen tau aja, siapa Bang?" tanyanya lagi tak sabaran.
"kasih tau dulu alasannya!" aku tak ingin dipermainkan Adikku yang cerdik ini.
"hmmm... baiklah... Vani mau cari di instagram, gak pa pa kan?" dia melirikku.
"stalking?" tanyaku sambil menaikkan sebelah alis.
"iya," jawabnya polos.
"gak baik ngestalking orang lain gitu," kataku serius.
"gak pa pa kok, asal yang punya akun gak keganggu." Tiba-tiba Bang Dodi yang sibuk menelepon dengan pacarnya ikut ambil bagian.
Aku segera menoleh pada Bang Dodi, tapi dia malah tersenyum simpul dan kemudian kembali sibuk dengan teleponnya.
"cuma ngecek instagramnya doang kok, ish... Bang Ryan pelit!!! Eh Bang Abid bales...yes!!! oh... Ni Made Arumi Razita toh..." Vani langsung tersenyum sendiri, dia sibuk mengetik sesuatu di ponselnya.
Abid!!! Kok kamu mau saja dimanfaatin sama anak SMP ini sih?, dasar!
Oh ya, waktu itu Arumi sempat mengangkat telepon Rena atau tidak ya? Kalau iya, kenapa dia tak memberitahuku kemarin? Atau mungkin sebenarnya dia tak pernah mengangkatnya?
Eh... ponselku bergetar.
Aku segera meraihnya yang tergeletak di dekat gelasku.
Kenzo? hmm ada apa?
Aku : Halo Ken
Kenzo : Halo Ryan, apa kabar? Lagi apa nih?
Aku : baik, ini lagi sarapan, lo gimana?
Kenzo : sama, aku juga lagi sarapan, hmmm ntar sore kamu sibuk gak?
Aku : gak, gue paling di rumah, kenapa?
Kenzo : gini... kan ada temen aku dari luar kota mau main ke sini, sekalian ngunjungin komunitas juga, ketemu Pak Boby dan temen-temen yang lain, nah ntar sore dia mau main ke cafe, kamu bisa datang gak? Ya... saling kenal gitu lah, kan kita sama-sama anggota komunitas.
Aku : oh gitu, oke deh, berapa orang?
Kenzo : cuma satu orang sih
Aku : jam berapa?
Kenzo : sekitar jam limaan lah
Aku : oke, ntar gue ke cafe
Kenzo : iya, aku tunggu di cafe, thanks udah mau datang
Aku : gak pa pa kok, kan untuk komunitas
Kenzo : hehehe iya
Tak lama setelah itu obrolan kami pun selesai.
***
~POV Arumi~
Kenapa waktu benar-benar terasa cepat bergulir hari ini? sekarang sudah pukul empat sore, aku harus bersiap-siap ke cafe Bang Ken, hmmm malas rasanya.
Aku melirik Bang Ryan yang sedang menyimpan kacamatanya, kok dia tak memakainya saja sepanjang hari? Kan dia keren memakai itu.
"kok Bang Ryan gak pake harian aja kacamatanya?" tanyaku iseng.
"oh... ya, hmmm sebenernya harusnya pakai terus sih, tapi males aja," jawab Bang Ryan santai.
"kenapa?" tanyaku penasaran.
"ng... dia takut dibilang cupu Arumi." Bang Abid yang baru saja mengetik sesuatu di keyboard langsung terkekeh.
"oh gitu." Aku mengangguk sambil tersenyum.
"gak gitu kok Aru, lo asal aja Bid! kapan gue ngomong gitu?" Bang Ryan menantang Abid dengan tatapan mautnya itu, tapi Bang Abid cuek saja.
Beberapa saat kemudian...
"hmmm Aru..." seketika Bang Ryan menatapku tajam.
Jantungku tiba-tiba berdetak kencang, apa yang ingin dia katakan?
"waktu itu Aru ada angkat telpon ya?" tanyanya masih dengan tatapan menakutkan itu.
Aku menelan ludah, takut!
Apa yang harus kujawab? Berbohong saja atau... mengatakan yang sebenarnya? OMG aku tak sanggup jujur saat ini, aku malu!!!
Mulutku masih bungkam, aku hanya menunduk, nyaliku ciut.
"Aru?" tanya Bang Ryan lagi.
Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya.
"maafkan Aru, Bang Ryan... Aru harusnya bilang waktu itu, kalo ada yang nelfon." Aku memberanikan diri melihat wajah Bang Ryan yang berada di samping mejaku.
"oooh... aku cuma mau nanya itu aja, hmmm oh ya... besok sepertinya kita harus ketemu Mas Rendra, nunjukin progres kerjaan kita," ujar Bang Ryan tenang.
Dia tidak marah? Benarkah? Oh... terima kasih Ya Allah... syukurlah...
"iya Bang Ryan," kataku pelan.
"ayo kita pulang!" Bang Ryan tersenyum padaku.
"ng... Bang..." aku teringat sesuatu.
Dia menoleh padaku sambil menaikkan alisnya.
"hmm abis ini Bang Ryan ada kegiatan gak?" tanyaku sedikit malu.
Lebih baik aku pergi menemuni teman Bang Ken itu dengan Bang Ryan, ya... paling tidak pertemuan ini tidak terlihat seperti kenalan, ya... anggap saja acara temu komunitas gitu, hehehe.
"ada, aku ada urusan jam lima ntar," jawab Bang Ryan sambil melirik jam dinding.
Yah... bener-bener mengecewakan! Hmmm....
"kenapa emangnya?" Bang Ryan nyengir padaku.
Hei, ada apa dengan cengirannya itu? mengapa terlihat begitu menggoda?
Kok Bang Ryan belakangan ini terasa semakin menyenangkan ya?
Hmmm seandainya dulu saat pertama kali bertemu ia seperti ini padaku, tentu tak akan ada pertengkaran waktu itu.
"gak... gak ada kok," elakku.
"hmmm kirain tadi mau ngajak pergi bareng," tebaknya seketika, dia tersenyum padaku.
"ehm..." suara Bang Abid. Aku bahkan hampir lupa Bang Abid masih di sini bersama kami sejak tadi.
Eh? Kok Bang Ryan bisa tahu sih?
Aku hanya menjawab dengan senyuman kecil.
***
~POV Ryan~
Di cafe bertemu dengan Wahyu, teman Kenzo, salah satu bagian dari komunitas. Itu berarti dia adalah temanku sekarang. Dia tampak lebih tua dariku, mungkin satu atau dua tahun.
"Mas Wahyu ini yang buat cafe jadi unik, dia pintar bikin ornamen-ornamen yang keren," puji Kenzo.
Laki-laki itu hanya tersenyum mendengarnya, ia kemudian menanyakan tentangku, dan kami pun saling berbagi cerita.
Meskipun obrolan kami telah jauh melanglang buana, tapi pandanganku masih saja fokus pada kaki dan tangan Mas Wahyu itu, celana jeans yang dipakainya tak bisa menutupi kakinya yang telah mengecil, tampak jelas Atrofi otot telah menghampirinya, dan itu juga akan menghampiriku, tinggal menunggu waktu.
Tangannya juga tampak mengalami Atrofi, bahkan kedua telapak tangannya terus mengepal kaku, aku pernah melihat yang seperti ini sebelumnya, salah satu kenalanku di komunitas, itu disebut Quadriplegia, lumpuh tangan dan kaki.
Tuhan pasti murka padaku jika aku tak bersyukur dengan apa yang masih kumiliki saat ini, aku bisa menggerakkan kedua tanganku dengan normal, Alhamdulillah ya Allah...
Kira-kira sepuluh menit berlalu, tiba-tiba pintu ruangan VIP ini digeser dari luar.
"Babaaaaang," sapa Dita dengan suara bersemangat.
Meskipun sedikit kaget, aku tetap tersenyum pada gadis kesayangan Kenzo itu, Dita selalu terlihat seperti itu, penuh optimisme.
"Hai Bang Ken," sapa suara lain. Aku mengenal suara itu, sangat kenal!
Pemilik suara langsung bungkam ketika pandangan kita saling bertemu.
Arumi? Mengapa dia ada di sini sekarang?
Atau jangan-jangan...
Mas Wahyu itu....
Astaga!!!