~POV Arumi~
"Bang Ryan... mousenya susah digerakin nih." Aku menoleh pada Bang Ryan yang sedang menyilangkan jarinya ke belakang kepala sambil mengangkat lengan.
"hmmm?" dia segera menoleh padaku.
"oh rusak kayaknya, Bid... ada mouse lain gak?" tanya Bang Ryan ke sebelahnya.
Tapi tidak ada Bang Abid di sana.
"eh, kemana dia?" Bang Ryan segera melirikku dengan membalikkan badan.
Aku mengendikkan bahu sambil menggeleng. Sejak kapan Bang Abid pergi? Aku juga tak menyadarinya.
"rasanya ada di dalam lemari yang itu." Bang Ryan menunjuk pintu lemari bagian atas yang berada di antara mejanya dan Bang Abid.
"oh... yang ini maksudnya Bang?" tanyaku yang telah berdiri di dekat pintu lemari itu.
Dia mengangguk.
Oh ini dia! Kumpulan mouse, ada tiga buah di dalam keranjang itu. Aku segera mengeluarkannya.
"ternyata benar Bang," ujarku sambil tersenyum pada Bang Ryan.
"hmmm aku cuma bisa menunjuknya saja," katanya sambil tersenyum dingin.
Oh tidak! Bang Ryan sepertinya kembali down, aku segera duduk di dekatnya dan menatapnya lekat-lekat.
"justru karna Bang Ryan ngasih tau tadi, makanya Aru bisa ngambil ini," kataku sambil memberikan senyuman manis padanya.
"kayaknya orang cacat emang gak banyak berguna," lanjutnya sambil menatapku sebentar, ia kemudian membuang muka.
"orang yang gak guna itu adalah orang yang cuma ngestalkerin medsos sambil ngiri'in kehidupan orang lain, ngabisin waktu buat urusan yang gak penting," kataku dengan nada serius.
Dia kembali menoleh padaku.
"Aru benar kan?" tanyaku sambil menaikkan sebelah alis.
Bang Ryan tak menjawab, dia hanya tersenyum tipis.
Hmmm aku lega melihatnya, paling tidak Bang Ryan tak memberikan tatapan dinginnya padaku. Sekarang aku mulai mengerti dengannya, aku hanya perlu mendukungnya, menemaninya melalui hal-hal sulit ini sampai Bang Ryan bisa seperti Bang Ken, ya... mungkin itu akan butuh waktu lama, tapi aku tak keberatan.
***
"Aru gak ikut pergi ke mesjid?" tanya Bang Ryan yang telah bersiap-siap dengan memakai sarung, sama dengan Bang Abid dan Zul.
Aku menggeleng, tak memberikan alasan apapun.
Bang Ryan menaikkan alisnya bingung.
Aku memberikan senyuman kecil.
"oh, ya... ya... kalo gitu kami pergi dulu ya, ati-ati di rumah Aru." Bang Ryan melambaikan tangan sambil tersenyum padaku.
Aku segera membalas senyuman itu.
"ehm.... ng... bisa batal ntar wudhu' nya," canda Bang Abid sambil melirik padaku.
"asal aja lo Bid!" Bang Ryan menoleh pada Bang Abid sambil nyengir.
Zul hanya tersenyum padaku.
"Assalamu'alaikum Aru," kata Bang Ryan kemudian.
"Wa'alaikum salam," jawabku. Hatiku terasa begitu tenang mendengarnya.
***
Aku menatap meja kerja yang telah kosong, kakiku mendekati meja yang tak memiliki kursi, meja Bang Ryan. Aku mengambil kursiku dan duduk di meja itu, merasakan apa yang dirasakan Bang Ryan di sini, hehehe sesuatu yang tampak bodoh untuk dilakukan.
Seandainya aku lebih bersabar waktu itu, tentu hubunganku dan Bang Ryan akan lebih dekat dari ini, dua bulan tak akan berlalu begitu saja, hmmm sudahlah... untuk apa lagi membahas itu, semua sudah terjadi seperti ini.
Tiba-tiba terdengar suara ponsel di dekatku, hmmm... ponsel siapa itu?
Aku mencari-cari asal suara, dan akhirnya aku menemukannya di dalam laci, oh punya Bang Ryan.
'Rena' nama yang tertulis di ponsel itu, ah... biarkan saja, bukan urusanku juga kok!
Aku kembali menutup laci itu, tapi bunyi ponsel kemudian kembali terdengar.
Hmmm bagaimana ini? apa aku harus mengangkatnya dan memberitahu jika Bang Ryan sedang keluar? Atau... aku tak usah mempedulikannya?
Aku membiarkan ponsel itu berbunyi berkali-kali, mungkin hingga lima panggilan tak terjawab.
Bagaimana kalau ini telepon penting dan aku melewatkannya, bisa-bisa Bang Ryan yang berada dalam masalah nanti.
Aku mengangkatnya dengan ragu-ragu.
Aku : .....
Rena : ya ampun Ryan sayang... kok lama banget sih ngangkatnya? Lagi ngapain sih? Eh ini gue lagi sama Tante Martha lho, lagi jalan ke rumah, hehehe
Bilang sama Ryan 'jangan pulang lama-lama' (suara wanita lain)
Nah tuh... denger... Tante bilang 'cepetan pulang!' hehehe
Aku : .....
Rena : Ryan? Kok diam aja sih?
Aku : .....
Rena : Ryan??
Aku menutup telepon itu, menatap ponsel itu untuk beberapa saat dan segera menghapus log panggilan terakhir, aku kembali menaruhnya di dalam laci.
Ponsel kembali berbunyi, aku tak peduli!
Aku bergegas mengambil tas dan beberapa barangku yang berserakan di atas meja, meninggalkan ruang kerja itu. Pintu kantor segera kukunci dan menitipkannya pada Umi Bang Abid yang kebetulan sudah pulang dari sekolah, beliau seorang guru SMA. Umi mengenakan mukena, sepertinya akan menunaikan sholat.
***
Apa yang kupikirkan selama ini? sejak awal Bang Ryan sudah mengatakan bahwa dia punya pacar, kenapa aku malah melewatkan itu dan membiarkan hatiku seperti ini? dasar Arumi bego! Bego! Bego!!!
Aku menyetir mobil dengan hati kesal.
Lagian kan Bang Ryan cuma menganggapku Adiknya, tak lebih. Oh! Ayolah Arumi! Kenapa kamu tak sadar diri sih!
Aku memukul setir mobil, melepaskan rasa yang tak bendungkan ini, rasa marah!
***
~POV Ryan~
"ng... kok kekunci?" Abid menoleh padaku .
"bukannya Arumi ada di dalam," kataku dengan nada datar.
Beberapa detik kemudian...
"tadi Arumi nitip kunci, dia buru-buru mau pulang kayaknya." Umi Abid tiba-tiba membuka pintu rumah sambil menyerahkan kunci.
"pulang?" tanyaku heran.
***
~POV Arumi~
Ponselku berbunyi, itu dari Bang Ryan.
Aku tak ingin berbicara dengannya sekarang!
Ponselku kembali berbunyi. Aku masih membiarkannya.
Hmmm tapi kalau aku tak segera menjawabnya mungkin Bang Ryan justru curiga padaku, bagaimana kalau dia tahu apa yang kupikirkan, oh tidak! Itu tak boleh terjadi!
Aku : halo
Bang Ryan : halo Aru, ada apa? Kenapa buru-buru pulang?
Aku : maaf Bang Ryan, Aru lupa janji sama Dita, kami mau minjam buku ke rumah temennya Bang Ken, takut kesorean.
Bang Ryan : oh... Bang kira tadi kenapa-napa, ati-ati ya...
Aku : iya, makasih Bang
Aku menutup telepon itu.
Kenapa hatiku masih saja bergetar begini? Sudah! Cukup!
Argh....!!! harusnya aku tak melanjutkan proyek ini sejak bertemu Bang Ryan waktu itu. Nyebelin! Nyebelin! Nyebelin!
***
"lo napa Aru? Kok mie ayamnya gak dimakan? Tadi lo ngangguk pas gue nanyain, sekarang kok didiemin gini?" tanya Vega yang baru selesai menyerumput potongan mie.
"hah." Aku menghembuskan nafas.
"gua lagi gak nafsu makan Ve," ujarku malas.
"kenapa? Lo lagi diet?" Vega nyengir padaku.
Aku menggeleng lesu.
"trus?" Vega memandangiku.
"gak tau, gua lagi kesel aja sama diri sendiri." aku melirik Vega.
"lo napa sih? Cerita dong," bujuk Vega.
Aku tak menjawab, hatiku menimbang-nimbang perkataan Vega itu, Vega bukan sahabatku tapi... dia adalah teman kosku yang aku temui setiap hari, dan aku tak sanggup terus memikirkannya sendiri seperti ini, baiklah!
"Ve... gua suka orang yang udah punya pacar," ujarku sedih.
"hah!!!" Vega berhenti mengunyah mie nya.
"lo serius Aru? Siapa? Kok bisa?" tanya Vega bertubi-tubi.
Akupun menceritakan semuanya pada Vega, sahabat baruku.
Menumpahkan semua rasa yang tak pernah kubayangkan akan menjadi seperti ini, menyiksaku, membuatku marah, dan memberiku kesedihan.
***