Chereads / Ryan & Arumi / Chapter 10 - Proyek

Chapter 10 - Proyek

~POV Arumi~

"kamu ikut ke perpus gak Aru?" tanya Karin yang berpapasan denganku di taman kampus.

"gak Rin, gua mau langsung ngurusin proyek nih," jawabku agak malas.

"jadi juga kamu ambil proyek itu ya Aru? Ntar skripsi kamu gimana? Kamu mau nyusun semester depan?" tanya Karin dengan wajah serius.

"gak kok, tenang aja, ntar juga selesai." Aku mengibaskan tangan padanya.

"tapi Aru...." terputus.

"udah Rin, gua duluan ya." Aku melambaikan tangan dan segera berlalu.

Entah mengapa sejak Karin bertengkar dengan Dita dulu karena Bang Ken, aku sedikit kurang respek dengannya. Karin sepertinya terlalu ikut campur dengan urusan orang lain, dan dia menurutku agak egois dengan pendapatnya. Dia tak seperti Karin yang dulu kukenal, aku curiga Bebebnya yang sekarang itu telah memberikan pengaruh buruk ini padanya.

Hari ini pekerjaan proyek dimulai, semalam Bang Ryan sudah men-share alamat rumahnya Bang Abid, teman Bang Ryan. Ya, kantor yang dimaksud Bang Ryan waktu itu adalah bagian dari rumah Bang Abid yang sengaja dimodifikasi menjadi kantor.

Tujuanku sekitar sepuluh kilometer dari kampus, cukup dekat.

Ah, itu dia rumahnya, rumah bercat abu-abu yang terlihat agak suram dengan rindangnya pepohonan di sekitarnya. Ini adalah rumah yang benar-benar sangat sederhana, tanpa tingkat dan tak memiliki taman selain pepohonan.

Ada sebuah mobil yang terparkir di pinggir jalan, pastinya mobil Audi itu adalah punya Bang Ryan, ini mobil yang sama kulihat ketika kami berpisah di parkiran walikota dua hari yang lalu. Aku pun memarkir mobil Ayla orange-ku di dekatnya.

Aku mengetuk pintu sebelah kanan, tepatnya paviliun rumah itu, Bang Ryan juga memberitahuku bahwa bagian itulah kantor yang dimaksud.

Tak lama kemudian, seorang pemuda yang kutemui di walikota tampak berada di balik pintu yang baru saja terbuka.

"mari masuk Mbak Arumi," sapanya ramah.

"ah ya makasih," jawabku sambil masuk ke dalam.

Bagian depan ada ruang tamu kecil, lalu di sebelahnya langsung disambut ruangan kerja, terlihat dua orang pria di sana yang sedang sibuk dengan monitor di depannya, salah satunya menggunakan kursi roda.

Bang Ryan menyadari kedatanganku, ia segera menengok ke kanan, tempat aku sedang berdiri.

Eh, Bang Ryan berkacamata ternyata ya... ia menggunakan vintage style, kok dia terlihat lebih manis dengan kacamata ya?

"Bid! Ini temen gue itu, ini Abid yang punya kantor ini Arumi," ujar Bang Ryan sambil menengok temannya di sebelah kiri, yang tampak sibuk dengan multi monitornya.

"heh?" dia menengok pada Bang Ryan dengan ekspresi bingung.

"Arumi... itu dia sudah datang," kata Bang Ryan sambil menengok padaku sebentar.

"oh... ya... ya... ng... ng...itu komputer kamu," ujarnya singkat, ia terlihat agak linglung.

"pas tau kamu mau datang, Abid langsung benerin komputer itu," kata Bang Ryan kemudian.

"ng... coba diidupin dulu Arumi..." Bang Abid menunjuk komputer itu dengan gayanya yang kikuk.

"oh ya, oke Bang, eh makasih ya Bang Abid." Aku tersenyum pada Bang Abid yang juga berkacamata. Apa kacamata sudah menjadi ciri khas seorang programmer ya?

"jadi Aru duduk di sini ya?" tanyaku pada Bang Ryan yang sudah kembali menatap monitornya yang diposisikan vertikal itu.

"iya," jawabnya singkat.

Aku hanya mengangguk sendiri sambil menatap meja itu, komputer itu berada di sisi lain dari ruangan itu, cukup jauh dari meja Bang Ryan dan Bang Abid.

"ng... kenapa Arumi?" tanya Bang Abid yang ternyata masih memandangiku.

"gak Bang, cuma kan Aru bikin proyeknya barengan sama Bang Ryan, tapi kok jauhan gini mejanya," jelasku polos.

"lo nih Yan, ng.. kan udah betul gue nyusunnya kemaren, ng... harusnya mejanya Arumi itu deket meja lo," cecar Bang Abid pada Bang Ryan yang tampak cuek saja.

"hmm," jawab Bang Ryan tanpa menoleh.

"ah ng... sini biar Bang atur lagi." Bang Abid segera bangkit dan berjalan mendekati meja itu dengan tubuhnya yang agak bungkuk.

Aku ikut menolong Bang Abid yang sedang mengangkat meja kayu itu, memindahkannya di samping meja Bang Ryan, sehingga meja kami berbentuk leter L sekarang.

Bang Ryan tampak tak peduli, ia bahkan tak melirik pada kami ataupun meja yang baru saja datang di dekatnya, ada apa sih dengannya?

Aku duduk di sana setelah semuanya terpasang dan komputer dihidupkan kembali. Bang Ryan masih saja tak bergeming, 'Hey! bukannya kita harus memulai proyek ini? kenapa kamu malah diam saja sih?'

"Bang Ryan...." kataku.

"ya?" dia menoleh padaku dengan tatapannya yang selalu terlihat tajam itu.

"hmm bukannya kita harus memulai proyek website itu?" tanyaku basa-basi.

"oke," jawabnya singkat.

Lalu semua kembali hening. Kok dia diam saja sih?

"ng... kalian ini kenapa sih? Ng... belum pernah bikin proyek website? Kalian ng... kayak orang lagi berantem aja." Bang Abid melirik heran pada kami berdua.

"sotoy lo Bid!" sela Bang Ryan seketika.

"trus? Ng... kenapa gak mulai juga? Ng... bukannya kalian harus bikin konsepnya dulu?" ujar Bang Abid sambil menggelengkan kepala.

Bang Ryan menghembuskan nafasnya dengan kasar, kemudian membalikkan badannya padaku dengan memutar kursi rodanya.

"setelah aku baca-baca file yang dikasih sama Mas Rendra itu, ini kira-kira desain web dasarnya." Bang Ryan menunjukkan beberapa kertas yang ia gambar dengan pena.

Aku yang tak begitu paham dengan sistem informasi, hanya bisa melihat kertas-kertas itu seperti kumpulan catatan anak kuliahan, tak lebih!

"Aru gak ngerti ini Bang, bisa dijelasin gak?" tanyaku.

"aku juga gak bisa jelasin," jawab Bang Ryan.

"bo'ong itu Mbak, Mas Ryan pintar kok jelasinnya, aku yang ndak ngerti koding bisa ngerti dikit-dikit jadinya," ujar seorang pemuda yang tadi membukakan pintu untukku, dia baru saja datang membawa beberapa nasi kotak dan jus buah.

Bang Ryan tampak melirik pemuda itu dengan dingin, tapi pemuda itu justru membalasnya dengan senyuman.

"jadi kamu bagian mana yang gak ngerti?" tanya Bang Ryan setelah pemuda tadi pergi ke depan.

Hmmm katanya tadi gak bisa jelasin, ish... Bang Ryan ini ternyata pelit juga ya bagi-bagi ilmu.

"kalo gak mau jelasin juga gak pa pa," jawabku agak jutek.

"ya udah," katanya singkat, ia memutar kembali kursi rodanya dan menatap monitor.

"ng... lo apa-apan sih Yan? Gak biasanya gini." Bang Abid terlihat sangat heran sekarang.

Bang Ryan tak memberikan respon apa pun.

"Ryan! Jelasin sana, ng... itu kan proyek kita, lo jangan main-main gini dong," ujar Bang Abid dengan wajah serius.

"ya Bos, ya... puas lo sekarang?" Bang Ryan kembali memutar kursi rodanya sehingga mendekat padaku kembali.

"oke, ini untuk tampilan home, ini Header nya." Bang Ryan menunjuk sebuah kotak yang berisi tulisan 'Header' di kertas itu. Ia kemudian mulai menjelaskan satu persatu dari kata-kata dan gambar yang ia tulis di sana. Sebelum beranjak pada bagian yang lain, Bang Ryan tak pernah lupa untuk menanyakan pemahamanku terhadap apa yang baru saja dijelaskannya, bahkan ia tak keberatan ketika harus mengulangnya kembali.

Ternyata apa yang dikatakan pemuda tadi itu benar, Bang Ryan memang bisa memberikan penjelasan dengan baik, lalu mengapa dia berbohong tadi? Bang Ryan sepertinya masih marah dengan chattingan kami terakhir waktu itu, apa aku harus minta maaf saja ya?

"Bang, Aru minta maaf karna gak bales chat waktu itu," kataku dengan sedikit ragu-ragu.

Dia terdiam sesaat.

"kenapa minta maaf? Emang kamu salah?" tanyanya sambil menatapku.

Tunggu sebentar! Dia benar, mengapa aku yang minta maaf? bukannya dia yang berkata kasar waktu itu, harusnya dia dong yang minta maaf.

"kamu gak salah kok, yang salah itu cuma kenapa kamu ngajak orang cacat seperti aku." Bang Ryan tersenyum dingin padaku.