Chereads / Ryan & Arumi / Chapter 11 - Teman

Chapter 11 - Teman

~POV Arumi~

Mengapa dia mengatakan itu? apa aku salah mengajaknya? Apa aku salah mengajak orang cacat pergi ya? Dita dan Bang Ken bagaimana? Mereka juga salah berarti dong?

Aku benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiran Bang Ryan ini.

"Aru gak salah kok, waktu itu Aru cuma ngajak Bang Ryan buat nengokin Bang Ken yang lagi sakit, di mana letak salahnya? Oh... karna Aru gak bisa gendong ya? Sebenernya kita bisa aja cari orang buat nolongin, cuma Bang Ryan udah marah duluan," jawabku berusaha tenang.

Dia tak menjawab namun terus menatapku.

"ng... jadi bener kalian lagi berantem, mending ng... kalian pergi cari angin dulu ke luar gih, ng... gak mungkin bikin proyek kalo kayak gitu, lagian ng... kalian gangguin gue juga dari tadi, bisa salah koding gue nih, ng... Zul....! Zul....!!" teriak Bang Abid.

Astaga! Aku bahkan lupa kalau ada Bang Abid di sini sejak tadi.

"ya Bang!" sahut pemuda yang dipanggil dengan nama Zul tadi.

"Zul, ng... lo temenin mereka berdua keluar gih, ajak ke mana kek, ng... pokoknya ntar mereka udah beres nyampe sini lagi, kalo belum, ng... bawa pulang aja dulu, gak usah lanjut kerja." Bang Abid menatapku dan Bang Ryan bergantian.

"lo apa-apaan sih Bid?" tanya Bang Ryan seketika.

"lo tu yang apa-apaan, ng... punya masalah bukannya diselesai'in malah didiamin begini, ng... gak dewasa namanya," jawabnya pantang kalah.

"jadi aku bawa mobilnya Mas Ryan atau Mbak Arumi?" tanya Zul pada Bang Ryan.

"oh ng... jadi Arumi bawa mobil juga, ng... kalo gitu, Zul lo gak usah nemenin mereka, ng... biar mereka berdua aja yang urus." Bang Abid tersenyum miring pada Bang Ryan.

Bang Ryan segera menatap Bang Abid dengan tajam, tapi Bang Abid hanya melirik sebentar kemudian ia menatap monitornya.

***

Pengalaman yang sama kembali terulang saat ini, ketika Bang Ryan berada di sampingku waktu itu.

Kami sudah berada di mobil ini hampir setengah jam, melaju tanpa tujuan yang jelas, kami masih saja hening dan tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Lampu merah sedang menyala, sekitar tiga puluh detik lagi untuk menunggu, tiba-tiba sebuah motor sport Honda yang sangat kukenal melintas di samping mobilku dan berhenti tepat di depan. Aku menatap kedua pengendara motor itu.

Meski telah lama berlalu, tapi hatiku masih saja belum bisa menerima ini dengan lapang dada, ada rasa sakit hati yang tak bisa kuhilangkan begitu saja.

"cowok bermotor emang keren," suara Bang Ryan seketika membuyarkan lamunanku.

Aku segera menoleh padanya.

"iya, lebih keren lagi jika dia adalah mantan yang lagi boncengan sama selingkuhannya dulu," jawabku sambil tersenyum miring.

Bang Ryan segera memandangi pengendara motor yang hanya tampak punggungnya itu.

"jadi dia mantan kamu Aru?" tanya Bang Ryan dengan tatapannya yang lurus padaku tanpa lensa kacamata, dia sudah tak memakainya sejak kita pergi tadi.

Aku mengangguk.

"kalian putus karna dia selingkuh?" tanya Bang Ryan yang tampaknya begitu penasaran.

"iya, kayak gitulah laki-laki yang gua kenal, Papa suka kasar dan pukul Mama, Abang juga lebih milih ninggalin keluarga dan gak pernah komunikasi sama kita lagi, dia lebih milih nikah lari dengan pelacur itu, sekarang seseorang juga nyakitin hati gua, dia bilang gua bodoh karna mau kenalan sama dia, dan dia marah ketika gua ajak pergi bareng." Aku melirik Bang Ryan sebentar.

Bang Ryan menatap mataku beberapa detik sebelum akhirnya membuang muka.

Lampu hijau telah menyala, mobil kembali melaju dan kami kembali terdiam.

Lima menit berlalu masih dalam diam, namun tiba-tiba...

"Aru..." ujar Bang Ryan.

Aku menoleh sebentar.

"aku minta maaf soal chatting waktu itu," kata Bang Ryan agak pelan.

"kenapa minta maaf? Emang Bang Ryan salah?" aku mencoba membalikkan kata-katanya tadi.

"iya, aku yang salah," jawabnya singkat.

Aku memang mengharapkan Bang Ryan meminta maaf seperti ini, tapi entah kenapa aku malah merasa bersalah begini setelah mendengar permintaan maafnya barusan.

"aku juga minta maaf karna bilang kamu bodoh waktu itu, aku terlalu berpikiran jauh waktu itu, aku memang tak tau diri hehehe, padahal kita hanya kenalan aja," ujarnya dingin.

Mengapa jantungku justru terasa sakit begini mendengar permintaan maaf Bang Ryan ini?

"kita masih bisa temenan kan?" tanyanya kemudian sambil tersenyum manis, ia tampak begitu manis saat ini.

Aku meliriknya sesaat tanpa memberikan jawaban apapun, hatiku gundah mendengar kata 'teman' itu, meskipun terdengar seperti hubungan kami mulai membaik, namun ia juga seakan memberikan jarak antara kami.

"kok diam aja? Gak mau temenan sama aku ya?" tanyanya sambil kembali tersenyum manis.

"baiklah, kita temenan," ujarku singkat.

"hmmm sepertinya kita sudah bisa balik ke kantor, Aru," ujar Bang Ryan kemudian.

Aku hanya menjawabnya dengan anggukan.

***

"ng.. jadi kalian sudah baikan nih ya?" tanya Bang Abid ketika kami kembali menempati meja masing-masing

"iya Bid, lo gak usah nanya ulang deh," ujar Bang Ryan agak kesal.

"oh oke oke, ng... baguslah kalo gitu." Bang Abid mengangguk-angguk.

Bang Ryan kemudian fokus pada monitornya dan begitupun aku yang mulai melirik menu di desktop, mencari aplikasi Photoshop, oh ini dia!

Aku mengamati kertas coretan Bang Ryan tadi dan mencoba memahami langkah awal yang akan kulakukan, tentunya adalah tema, oke UI designer, mari bekerja!

Laptop yang kubawa segera kuhidupkan, aku butuh ide untuk tema, website Pemkot berarti tema profesional, oke aku kira aku punya beberapa referensi untuk User Interface nya, mari kita lihat.

Ah, dua contoh ini kayaknya bagus juga, aku coba kombinasikan saja.

Urusan pertama, mendesain tombol, klik file lalu new dan kita mulai mengatur ukuran dan resolusinya.

Kamipun akhirnya larut dalam kesibukan masing-masing hingga satu jam berlalu begitu saja.

***

"Bid, gue siap-siap dulu, tungguin gue barengan ke mesjid," ujar Bang Ryan memecah keheningan.

"ng... emang kapan gue ninggalin lo Yan, kan ng... gue selalu bareng lo," jawab Bang Abid tanpa menoleh sedikitpun.

Bang Ryan pun berlalu menuju ruangan di sebelah.

Tak lama berselang...

"kok Bang Ryan siap-siap sekarang Bang? Kan sholat zohor masih sejam lagi?" tanyaku sambil melirik jam dinding.

"ng... iya kan dia harus ngosongin kateter sama kolostomi bag nya dulu," jawab Bang Abid yang sedang meluruskan punggungnya dan kemudian meregangkan tangannya.

Jadi Bang Ryan masih memakai kateter? Kenapa aku tak melihatnya?

Kolostomi? Bukankah itu anus buatan yang ada di perut itu ya? Kenapa Bang Ryan bisa punya itu?

"Bang Ryan punya kolostomi juga Bang?" tanyaku.

"iya, ng... habis kecelakaan dibuatnya." Bang Abid sekarang melirik ponselnya, tampak sedang mencari sesuatu.

"oi Bro... ng.. lo kapan sini? Ini program lo udah siap nih?" tanya Bang Abid sambil menelepon.

"ng.. eh, Arumi, Bang keluar dulu ya." Bang Abid segera ke ruangan depan.

Berarti kondisi Bang Ryan parah juga setelah kecelakaan itu ya, apakah karena itu dia memperlakukanku seperti ini?

***

"Aru, kita ke mesjid dulu, kamu tunggu aja di sini ya," ujar Bang Ryan ramah. Bahkan aku belum pernah melihatnya seramah ini sebelumnya.

"Aru ikut sholat juga Bang," kataku.

"kamu muslim Aru? Bukannya nama panjang kamu...." terputus.

"Aru muslim kok Bang Ryan, Aru lahir di desa muslim Pengayaman, kami muslim keturunan," jelasku.

"oh gitu, hmmm ya udah, ayo bareng kalo gitu," ajak Bang Ryan.

Aku mengangguk dan segera mengikuti mereka ke luar.