~POV Arumi~
Aku tak perlu repot-repot mengunci pintu, karena Zul masih di dalam, dia yang akan mengurus semuanya. Setelah tiba di luar, aku segera menuju mobil untuk mengambil mukena.
Bang Ryan berjalan beriringan dengan Bang Abid, aku mengikuti mereka di belakang. Namun karena jalanan gang perumahan itu cukup lebar, aku pun memutuskan untuk berjalan di samping Bang Ryan.
"Aru udah lama kenal sama Kenzo?" tanya Bang Ryan setelah melirikku sesaat.
"udah dong, sebelum mereka pacaran malah," jawabku santai.
Sepertinya saran Bang Abid tadi benar, setelah kami menyelesaikan masalah itu, hatiku mulai tenang sekarang ketika berada di dekat Bang Ryan, tak ada rasa gugup atau tegang lagi.
"pernah jalan bareng kayak gini juga dong? Gimana rasanya?" tanyanya sambil terus mendorong kursi roda.
"pernah, rasanya biasa aja sih, udah sering soalnya, kan Bang Ken awal-awal pacaran sering main ke kampus," jawabku setelah mengingat-ingat.
"hmmm emang Aru gak malu? Kan diliatin orang-orang?" tanyanya lagi.
"gak sih, kan cuma diliatin aja," ujarku sambil menoleh pada Bang Ryan.
"ah, ya... ya... kamu seleb kampus, pantesan udah biasa diliatin." Bang Ryan tersenyum padaku.
Sejujurnya aku tak begitu menyukai julukan itu, meskipun aku menyadari bahwa itu memang diriku. Aku menjawabnya dengan senyuman.
"ng... Ryan juga seleb kampus dulu, Arumi, wah kalian ng... jodoh kali ya?" Bang Abid terkekeh.
"beneran Bang?" tanyaku pada Bang Ryan sambil tertawa kecil.
"gak ah, Abid asal aja," jawab Bang Ryan sambil melirik Abid lalu mengerutkan kening.
"heheheh ng... beneran Arumi, dia itu banyak punya fans, ng... lo pura-pura lupa ya Yan, itu cewek-cewek yang minta diboncengin pulang dulu ng.. lo anggap apa?" goda Bang Abid.
"itu kan temen, udah Bid, lo gak usah bahas-bahas itu lagi," ujar Bang Ryan agak keras.
Senang melihat Bang Ryan seperti ini, kebekuan seakan telah mulai mencair untuk hubunganku dengannya.
Mesjid yang kami tuju tak jauh dari rumah Bang Abid, hanya melewati empat rumah dan kami sudah tiba di pagar mesjid yang telah terbuka lebar.
Seperti mesjid-mesjid yang biasa berada di perumahan komplek, mesjid di sini juga tak terlalu besar begitupun lapangan parkirnya.
Baru beberapa meter melangkah, seseorang yang telah berpakaian rapi datang menghampiri kami dengan senyuman mengembang, dia seorang pemuda yang tampak sangat bersahaja.
"Bang Ryan... Bang Abid... Zul..." sapa pemuda berbaju koko itu.
"Farid... sudah pulang kuliah?" tanya Bang Ryan.
Sedangkan Bang Abid dan Zul membalas sapaan itu dengan senyuman.
"sudah Bang." Pemuda yang benama Farid itu mengangguk dan tersenyum.
Tidak ada siapa-siapa lagi di sana selain kami, ya maklum saja ini masih setengah jam lagi sebelum adzan.
Kami sampai di depan pintu, Bang Ryan segera menaruh sandal dan kemudian membalikkan badannya, menjangkau sesuatu di bagian belakang kursi rodanya, oh itu tas yang sering tergantung di bagian sandaran kursi roda, aku sudah menyadari keberadaan tas itu sejak pertemuan pertama kami setelah dua bulan berlalu.
Dia mengeluarkan sebuah tissue basah, kemudian mulai mengelap bagian roda kanan dari kursi rodanya, Bang Abid segera membantunya mengelap roda kiri, dan Zul membersihkan dua roda kecil yang berada di bagian depan. Mereka tampak begitu tulus membantu Bang Ryan, hmmm di dunia ini masih banyak orang-orang baik seperti mereka, aku yakin itu!
Setelah memastikan semuanya bersih, Bang Ryan kemudian memasukinya, aku masih berdiri di luar, melihatnya dari jauh, ia tampak mengambil posisi paling ujung, mungkin agar tidak mengganggu shaf yang berada di belakangnya nanti.
Bang Ryan menyadari aku masih berdiri di luar, ia pun melambaikan tangan, mengkodeku untuk masuk, aku tersenyum dan segera mengangguk.
Selesai menaruh mukena, aku segera menuju tempat berwudhu yang berada di bagian samping. Bang Ryan dan Bang Abid telah berwudhu di rumah tadi, tinggal aku dan Zul saja yang belum.
***
Ada tiga orang Ibu-Ibu yang ikut sholah berjamaah bersamaku di shaf perempuan, setelah selesai menunaikan sholat, kamipun saling bersalaman. Salah satu dari Ibu itu menyapaku dan menanyakan beberapa hal padaku, ya seperti basa-basi begitu, karena mereka baru pertama kali melihatku sholat di sana.
Setelah selesai berbincang-bincang dengan Ibu itu, aku pun keluar masih menggunakan mukena, karena aku masih bersama Ibu tadi, kami berdua keluar bersama.
"oh jadi ini temannya Nak Ryan?" tanya Ibu itu pada Bang Ryan yang menungguku di luar.
"iya Bu, kami teman kerja," jawab Bang Ryan ramah.
"kok kalian kayak mirip gitu ya Nak? Tadi Ibu kira kalian sodara lho," ujar Ibu itu sambil melirik kami berdua.
Mirip? Apanya yang mirip sama Bang Ryan? Hehehe Ibu ini ada-ada saja nih.
Aku dan Bang Ryan segera saling memandang beberapa detik hingga akhirnya kami tertawa kecil.
"eh, ng.. tapi kalo diliat-liat emang kalian itu rada-rada mirip gitu," kata Bang Abid yang ternyata juga ikut menatap kami berdua secara bergantian.
"iya ya Mas Abid, bener, ada miripnya ternyata," sambung Zul tak ingin ketinggalan.
Sedangkan Farid hanya tersenyum saja.
Aku mengerutkan kening dan kembali melihat wajah Bang Ryan lebih seksama.
"anggap aja aku sodara kamu, anggap aja aku Abang Aru..." ujarnya sambil tersenyum.
Ya Tuhan, apa yang Bang Ryan katakan barusan? Abang???
Mengapa hati ini begitu bahagia rasanya mendengar itu? rasanya seperti kehangatan yang menyinari pagi yang masih dingin, apakah dia benar-benar serius mengatakannya?
"Bang Ryan serius?" tanyaku agak ragu.
"iya, kenapa tidak," jawabnya. Kemudian ia segera mendorong kursi rodanya.
Aku hanya bisa tersenyum mendengar itu. Senyuman yang sepertinya akan sulit lepas dari wajahku untuk saat ini.
***
~POV Ryan~
"kok kamu gak ikut pergi ke pestanya Om Lukman?" tanyaku pada Vani yang sibuk mengetik sesuatu di laptopnya.
"Vani mau nemenin Bang Ryan di rumah, lagian Vani gak suka pergi pesta, apalagi itu rekan bisnisnya Papa, bosenin," jawabnya yang masih menungging di atas ranjangku.
Aku sungguh beruntung memiliki adik sebaik Vani, kami sangat dekat selama ini, dan semenjak aku berkursi roda, ia semakin dekat denganku.
"makasih ya Dek, kemana lagi mau dicari Adek yang seperti ini, udah baek, cantik, pintar pula," kataku sambil tersenyum padanya.
"gak usah dicari lagi Bang, kan ini udah ada di sini," jawabnya sambil nyengir.
Aku tertawa melihat ekspresi lucunya itu.
Ah ya, bukannya aku baru saja memiliki Adik perempuan yang lain, Arumi.
Arumi juga baik, cantik, dan dia juga pintar dalam mendesain, maafkan Abang dek... Abang juga punya Adik yang lain selain kamu.
"kok Bang Ryan senyum-senyum sendiri? ada apa Bang?" tanya Vani seketika.
Senyum? Kenapa aku tersenyum?
"gak kok, siapa yang senyum-senyum," elakku.
"itu tadi, ayo... Bang Ryan lagi mikirin apa tadi?" goda Vani.
"kamu sok tau!" kataku.
"pasti ada apa-apanya nih, aku tuh kenal banget Abangku yang satu ini." Vani segera bangkit dan ia duduk bersila sekarang.
"oh ya? Coba tebak kalo gitu," ujarku iseng.
"hmmm Bang Ryan lagi suka sama cewek nih kayaknya," tebaknya sambil menunjuk-nunjukku.
Suka cewek? Siapa? Hehehe Vani ngawur nih.
Aku tak menjawab, hanya memberikan senyuman tipis padanya.
***