Chereads / Ryan & Arumi / Chapter 5 - Maaf

Chapter 5 - Maaf

~POV Ryan~

[Hai Bang Ryan, ini Arumi]

Sebuah pesan WA baru saja datang ke ponselku.

Apa sebenarnya yang dipikirkan gadis ini? aku sungguh tak mengerti jalan pikirannya.

Aku tak membalasnya, biarlah dia menyadari sendiri kesalahannya itu.

~POV Arumi~

Di read ada, tapi kok gak di balas ya?

Ini sudah malam, belum juga ada balasan. Hmm baiklah aku memang salah sangka, ku kira dia tak serius dengan kata-katanya tadi siang, dan dia akan minta maaf padaku. Tapi ternyata tidak! dia memang laki-laki cacat kurang ajar!

***

~POV Ryan~

Aku tak yakin apakah sudah siap untuk memulai lembaran hidupku yang baru, tapi yang jelas ini bukan mimpi buruk yang akan terlupakan setelah kembali pada kenyataan. Sayangnya inilah kenyataan itu.

Tapi tak ada gunanya terus mengutuk keadaan dan nasib ini, jelas aku tak sendiri seperti ini. Kenzo, Pak Boby dan orang-orang yang kutemui di komunitas seharusnya sudah cukup menyadarkanku, untuk berhenti larut dengan segala kebencianku pada diri sendiri dan jalan Tuhan ini. Harusnya aku malu ketika aku berkata aku meyakini adanya Tuhan dan meyakini segala nama-namaNya yang mewakili sifatNya, Tuhan itu maha adil! Jika ini takdirku maka pasti ada keadilan itu untukku, aku harus menemukannya!

Pagi ini adalah hari pertamaku untuk melakukan kegiatan terapi fisik atau fisioterapi, kemarin bagian Fisioterapi Neurologi rumah sakit telah mengabariku, bahwa akan ada dua orang terapis yang akan berkunjung ke rumah hari ini, untuk melakukan pengecekan awal sebelum memutuskan jenis terapi dan program latihan yang diperlukan.

Aku menunggu terapis datang di ruang tamu, tidak seperti kebiasaanku belakangan ini yang meringkuk di kamar. Terlalu banyak debu di kamarku untuk beberapa waktu ke depan, karena ada perenovasian dan penyesuaian kamar mandi, meskipun aku belum bisa melakukan apapun sendirian termasuk urusan kamar mandi, tapi orangtuaku sepertinya mendengarkan saran-saran dari Kenzo, untuk membuat fasilitas yang dapat diakses olehku nanti, jika telah bisa mengendarai sendiri kursi roda. Karena itu juga, untuk sementara ini aku tidur di kamar tamu yang masih berada di lantai satu.

Kedua orangtuaku dan saudara-saudaraku berada di rumah semuanya, aku senang melihat kehadiran mereka seperti ini.

"sekarang mulai terapi berarti ya Nak?" tanya Papa yang duduk bersama Bang Dodi di sofa.

"iya Pa, gimana perkembangan ruko baru itu Pa?" sudah lama aku tak mengikuti cerita Papa dan Bang Dodi, biasanya mereka akan membahas masalah pembangunan, sewa, agen, investor, dan... ah entahlah... sebenarnya aku tak begitu menyukai apa yang mereka geluti ini, berbisnis di bidang properti bukan passionku!

"seminggu yang lalu ada masalah sama developernya, jadi sepertinya akan tertunda dari yang ditargetkan, hah! Nanti ndak usah lanjutin kerjasama sama dia, kerja ndak becus!" omel Papa sambil membalik halaman majalah bisnis yang sedang dibacanya.

"Dodi kan sudah bilang waktu itu Pa..." ujar Bang Dodi sambil nyengir padaku, kemudian kembali sibuk mengetik sesuatu di ponselnya, pasti sedang chat dengan calon kakak iparku yang manis itu.

"mm," jawab Papa singkat.

Beliau memang pantang untuk disalahkan, sifat yang tak pernah berubah dari dulu.

Aku melirik seorang anggota polisi yang menjagaku dari kemarin, ia sedang sibuk menelepon sambil duduk santai di anak tangga.

"Bang Ryan mau nonton gak? GaJe aja nih acara semuanya?" teriak Vani yang duduk di ruang sebelah.

"ada bola gak?" tanyaku sambil mengarahkan kursi rodaku mendekatinya.

"hmmm kayaknya gak deh..." Vani menukar siaran TV dengan kasar sambil mengomel pelan.

"eh.. eh.. kita nonton ini aja Van..." kataku setelah melihat sebuah film horor luar negeri.

"gaaaaakkk!!!" teriak Vani lalu dia melempar bantal santai padaku.

Aku terkekeh melihat tingkah lucu adik tersayangku ini.

"ehm ehm donat ubi ala Mama...." Mama datang membawa dua buah piring donat yang baru saja di uji coba di dapur hari ini, hmmm semoga rasanya tak terlalu aneh, seperti hasil uji coba sebelumnya.

Vani melirikku dan kemudian mengerutkan keningnya, aku hanya tersenyum dan mengkodenya untuk mengambil donat itu.

"Ryan... ! terapisnya sudah datang Nak!" teriak Mama yang berada di ruang tamu.

***

Sedikit terasa nyaman mendapatkan terapi hari ini, meskipun apa yang kulakukan tadi belum bisa seutuhnya disebut program latihan, tapi dengan gerakan kecil di pergelangan kaki, lutut, dan menekuk paha sepertinya membuat aliran darahku mulai lancar, untuk saat ini kakiku terasa tak begitu kedinginan.

Hanya saja tubuhku masih kesakitan terlebih pada bagian pinggang, perut dan panggul, bagian-bagian tubuh yang masih bisa kurasakan meskipun tak seperti dulu lagi. Ya, paling tidak itu sedikit lebih baik dibandingkan kedua kakiku yang hanya memiliki respon kecil pada sentuhan.

Selain terapi, fitness adalah rencanaku selanjutnya, terapis dan Kenzo memberiku saran yang sama untuk ini, lucu... malah sudah cacat begini baru aku bersungguh-sungguh untuk kesehatanku.

Siang ini seperti biasanya, aku selalu kelelahan, dokter bilang itu hanya karena aku masih pada masa pemulihan, ya... semoga saja itu benar, oh.. aku harus istirahat sekarang!

***

"Bang Ryaaaaannn.....!!!!" teriak Vani dan tiba-tiba pintu kamar terbuka."

Aku tersentak, terkejut.

"ya Allah.... ada teroris di Gerai Stroberi! Itukan cafe yang terkenal itu, kan Bang?" tanyanya seketika.

Gerai Stroberi? Bukannya itu tempat kerja Kenzo?

"teroris?" tanyaku heran.

"iya Bang... berita di TV bilang gitu... ada baku tembak juga, satu korban luka, kabarnya yang punya acara... gerainya kan lagi tutup hari ini, mereka ada acara," jelas Vani menggebu-gebu.

"siapa korbannya?" tiba-tiba aku punya perasaan tidak enak.

"gak tau juga nih Bang, beritanya baru nongol... belom ada tambahan infonya... baru itu aja." Vani kemudian melihat ponselnya.

Aku kemudian meraih ponsel yang berada di dekat bantal, mencari nomor Kenzo.

Tak ada jawaban, satu, dua, hingga tiga kali.

Ah, sayangnya aku tak tahu nomor Dita, jangan sampai apa yang kupikirkan ini benar.

"oh... kata saksi mata, korban yang kena tembak itu laki-laki pakai kursi roda Bang..." Vani membaca sesuatu di ponselnya.

Ya Tuhan... apa yang sebenarnya terjadi di sini?

Selamatkanlah dia, Tuhan...

"Ryan..." ujar seorang anggota kepolisian yang baru saja masuk ke kamar.

"tadi kami dapat perintah agar kamu untuk sementara tetap di rumah saja, keadaan belum terkendali di luar, ini masih berbahaya," lanjutnya.

"akan ada dua orang lagi tambahan anggota yang akan berjaga di sini," kata rekannya yang sejak tadi berjaga di teras rumah.

***

Kami sekeluarga tidak bisa kemana-mana sejak tadi, mengingat penembakan tadi melibatkan orang terdekat saksi, sehingga polisi pun mengisolasi kami di rumah, paling tidak untuk hari ini.

Tak ada yang bisa kami lakukan selain memantau perkembangan kasus itu, dalam hati tentunya aku ingin melihat kondisi Kenzo saat ini, tapi aku tak bisa melakukan apapun sekarang.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu, bukankah aku punya nomor teman Dita? Mungkin saja dia tahu apa yang terjadi saat ini dengan mereka. Tapi... apakah dia akan membalas pesanku jika aku menanyakan itu? aku telah berkata kasar padanya kemarin.

[Hai Arumi, gue minta maaf soal yang kemaren]

Pesan yang baru saja kukirimkan.

***

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

~~~~~~~~~~~~~~~~~

~~~~~~~~~~~~~~

Visualisasi:

~Ryan Fernando Pratama~

(Jefri Nichol)

~Dodi Putra Pratama~

(Adipati Dolken)

~Vani Adella Pratama~

(Joyagh)