~POV Ryan~
[sendirian?]
Pesan terakhirku itu tak juga dibalas hingga satu jam berlalu, hmmm sudahlah, mungkin dia bosan membalas pesanku. Paling tidak aku sekarang tahu, jika Kenzo sedang dirawat, semoga dia bisa segera sembuh.
***
"ish... asli nyebelin banget tadi si bibir dower itu... bener kata Bang Yan waktu itu... dia cuma pengen Vani bantuin dia dapet nilai bagus aja..." gerutu Vani yang mencoba gerakan terapis tadi pagi, ia juga ikut memperhatikannya.
"gak usah marah gitu Van, anggep aja sedekah, karna udah bantuin, eh tapi ini jangan terlalu juga mijitnya Van..." ujarku sambil tersenyum simpul.
"eh maaf Bang... maaf... gak sengaja..." Vani kemudian melunakkan pijitannya.
"Abang gak serius kok, kerasa aja gak..." jawabku.
Vani hanya diam menunduk, ia terus memijat bagian betis kananku.
"Bang..." ujarnya kemudian.
"apa Dek?" tanyaku.
~POV Vani~
Apa yang harus kukatakan pada Abangku tersayang ini? aku hanya ingin mengatakan padanya untuk tetap kuat menghadapi cobaan ini, tapi bagaimana cara mengatakannya? Dia telah melalui hal-hal sulit sejauh ini dengan susah payah, untuk apa lagi aku mengatakan itu? seakan aku pernah saja melaluinya dan punya pengalaman lebih darinya.
Dibandingkan Bang Dodi, aku lebih dekat dengan Bang Ryan, mungkin karena jarak kami yang lebih dekat, atau mungkin juga karena Bang Ryan itu orangnya terlalu perhatian, dan Bang Dodi itu cuek. Ah, entahlah... aku sayang kedua Abangku itu, tapi aku lebih menyayangi Bang Ryan, dan saat ini aku sungguh tak ingin dia sedih, aku benci mantannya waktu itu, aku benci perempuan itu! dia pasti cewek bodoh telah meninggalkan Bang Ryan karena ini, dia pasti perempuan tolol!
Aku tak akan membiarkan Bang Ryan disakiti perempuan lagi!
~POV Ryan~
"gak ada Bang, hehehe..." Vani terkekeh.
"hei... lagi ngomong apaan kalian?" tanya Bang Dodi yang baru saja masuk ke kamar sementaraku, ia baru saja menelepon di luar.
"mau tau aja!" Vani menjulurkan lidahnya, ia terlihat menggemaskan.
Momen seperti ini cukup jarang terjadi beberapa tahun terakhir, tapi sekarang... hampir setiap hari aku melihat mereka berdua di dekatku, aku tahu mereka sengaja melakukan ini agar aku tak kesepian, aku menghargai usaha mereka, tapi aku tetap bahagia dengan momen langka ini.
"Yan, Abang bingung dengan Resti... tadi siang ngambek, gak mau ngomong, eh sekarang malah marah-marah karna Abang gak nanyain kabarnya sampe tadi sore... bener-bener aneh kan?" tanya Bang Dodi yang juga ikut-ikutan memijat kakiku.
Kedua saudaraku ini, kenapa kalian harus curhat pada orang yang juga sedang galau? Kalian benar-benar keterlaluan!
"kalo cewek ngambek itu, harusnya kita gak ngelakuin yang disuruhnya Bang, tapi lakuin yang sebaliknya, kalo dia bilang gak mau ditelfon, berarti kita harus nelfon sampe dia mau angkat dan bicara," ujarku.
"oh... jadi gitu ya cara cowok itu?" sambar Vani sambil mengangguk-angguk.
"hmmm oh gitu... kamu emang jago kalo masalah cewek Yan, thanks..." Bang Dodi mengedipkan matanya, ia melihat apa yang Vani lakukan dan menirunya.
Tak lama berselang ponselku berbunyi.
Vani yang duduk santai, segera beranjak untuk mengambilkan ponselku yang tergeletak di meja dekat lampu.
"makasih Dek," kataku sambil mengambil ponsel dari tangannya.
Vani membalasnya dengan senyuman manis.
Arumi? Dia membalas pesanku?
[Maaf Bang Ryan, baru bales sekarang, ini baru pulang ke kos, tadi habis nganter Dita pulang, iya Aru sendirian tadi]
[Bang Ken baru selesai operasi, sekarang masih belum sadar, sedang dirawat di ICU]
Pesan dari Arumi.
Apa aku harus membalas pesannya? Bukankah itu yang ingin kutahu, dan dia telah mengatakannya, lalu apa lagi?
Aku menaruh ponsel di dekat ranjangku.
"dari siapa Bang?" tanya Vani yang ternyata sejak tadi terus mengawasiku.
"hmm dari temen," jawabku singkat.
"temen kantor?" tanya Bang Dodi yang ternyata juga penasaran.
Teman kantor? Hah! Aku sekarang tak punya teman kantor lagi.
Beberapa hari setelah aku sadar, orang dari kantor datang berkunjung, termasuk bosku juga. Tapi aku yang putus asa saat itu segera mengajukan pengunduran diri secara lisan. Namun tentu saja mereka tak menanggapi itu dengan serius, mereka masih datang berkunjung dua kali setelah itu, sekedar melihat kondisiku, dan kemarin sore juga begitu.
Bos bilang bahwa aku tak perlu khawatir dengan pekerjaan, karena kantor akan memfasilitasi segala yang kubutuhkan, tapi aku merasa tak yakin akan bisa memberikan kontribusi yang sama seperti yang kulakukan sebelumnya, aku telah melewati masa kerja yang cukup untuk mengenal ruang lingkup pekerjaan seorang Software Development.
Tiga tahun jelas bukan waktu yang singkat untuk tahu bahwa seorang programmer harus bekerja delapan jam sehari baik itu mandiri ataupun dalam tim, membuat program, pengembangan, perbaikan, dan pengecekan berkala bersama klien.
Konsentrasi, logika, dan keaktifan adalah modal penting, dan sekarang aku tak memiliki poin yang ketiga itu. Aku saja tak bisa beranjak secara mandiri dari tempat tidur ini untuk melakukan hal-hal sederhana, apalagi untuk pekerjaan seperti itu, ini tidak masuk akal lagi bagiku, bahkan setelah tanganku sembuh nanti, ketika aku bisa mendorong sendiri kursi rodaku. Aku tetap tak akan sanggup dengan tekanan dan tuntutan pekerjaan itu. Sudah cukup! Aku tak bisa melanjutkannya lagi!
"gak," jawabku.
"trus siapa?" tanya Bang Dodi yang masih mengerutkan kening.
"temen Kenzo," jawabku tanpa menoleh padanya.
"Dita?" tanyanya lagi.
"kok penasaran amat sih Bang?" tanyaku mulai kesal.
"gak kok," jawabnya sambil mengendikkan bahu dan melirik Vani yang menatap kami berdua.
***
Ini baru jam sepuluh malam, tapi aku sudah sangat mengantuk, baru saja Bang Dodi dan Vani membantuku di kamar mandi yang sekarang bisa digunakan untuk berbaring sekaligus, karena ada bangku panjang yang ditaruh di sana. Mereka mengganti kantong urin dan kolostomiku, aku masih heran dengan mereka berdua, bagaimana bisa mereka tak merasa jijik dengan itu, dua hal yang sangat kotor dan busuk, terlebih kolostomi itu.
Aku membuat keputusan besar menghadirkan stoma di perutku setelah pertimbangan yang lama, ketika aku menyerah dengan program usus yang tak berjalan seperti harapan, hingga seminggu kulalui dengan penuh putus asa dan rasa sakit di perut yang tak tertahankan, entah mengapa ususku justru sembelit parah karena itu.
Hampir sebulan aku terus bermasalah dengan ini, dan akhirnya dokter memberiku solusi lain yang terdengar radikal, tapi keputusan tetap di tanganku, karena ini adalah tubuhku. Second opinion pun memberikan saran yang sama, tapi aku tak langsung setuju dan terus mencari saran terbaik, dan inilah keputusanku, hidup bersama kolostomi.
"oke selesai, tinggal urusan perbannya lagi," ujar Bang Dodi sambil tersenyum padaku.
Vani merobek sebuah bungkusan yang berisi split dressing atau perban khusus untuk direkatkan di perutku, tepatnya untuk menutupi lubang di sekitar selang kateter. Dia melakukannya dengan hati-hati. Dek... jika kamu dewasa nanti, kamu pasti akan menjadi istri yang membanggakan suamimu.
Persiapan tidur sepertinya sudah selesai untuk orang cacat ini dan mereka pun melambaikan tangannya padaku dan meninggalkanku sendirian di kamar.
Baru saja aku memejamkan mata, tiba-tiba ponselku berbunyi, aku meraihnya dari meja. Arumi?
[Kok gak dibales? Bang Ryan udah tidur ya?]
Pesan dari Arumi.
Baiklah, sepertinya tadi aku lupa mengucapkan terima kasih padanya, karena telah memberiku informasi itu.
[Makasih infonya Arumi]
Balasan dariku.
[Iya sama-sama Bang]
Balasannya, oke... sudah cukup sekarang!
~POV Arumi~
Kok gak ada balasan lagi? Ish ini orang pelit amat sih nulisnya!
Aku : besok kita tengokin Bang Ken yuk Bang Ryan... siapa tau udah bisa masuk ke dalam
Bang Ryan : maksudnya pergi bareng?
Aku : iya
Bang Ryan : kamu kan sudah tau keadaanku! Emang kamu bisa gendong aku naik turun mobil?
Ini orang kenapa harus pake marah-marah segala sih, emang gak bisa ya menjelaskannya secara baik-baik!
Stres lama-lama chatting sama orang ini.
Aku pun melempar ponsel ke ujung ranjang dengan kasar, menjauh dariku.
Cukup! Aku mulai muak dengannya, sepertinya aku memang putus asa saja meminta Dita mengenalkanku pada cowok disabilitas, aku punya hidup yang lebih baik dari ini, aku tak perlu lagi berhubungan dengannya!
***