~POV Ryan~
"kamu jadi ke yayasan komunitas itu pagi ini Yan?" tanya Bang Dodi ketika kami sarapan bersama.
"tergantung yang mau nganter," jawabku.
"nanti bareng Abang aja, kalo nanti sudah selesai kabari Abang lagi, ntar dijemput," ujar saudaraku yang tiga tahun lebih tua dariku itu.
"hmmm," jawabku.
Akhirnya aku punya kesempatan untuk keluar rumah setelah beberapa waktu ini hanya berada di ruangan sempit.
Bang Dodi dan Papa membantuku hingga menaiki mobil, sudahlah aku tak mau menceritakan betapa terasa memalukannya aku seperti ini, Mama dan Vani memandangi kami dari jauh.
***
Aku sampai di depan kantor yayasan komunitas yang akan menjadi masa depanku nanti, inilah tempatku berkumpul, bersama orang-orang yang sudah tak sempurna lagi.
Baru saja membuka pintu mobil, seorang security datang menghampiri, ia dengan ramah menyapa kami dan segera membantuku turun dari mobil, ia terlihat sangat paham melakukannya, mungkin dia sudah lama bekerja di sini.
Bang Dodi dan security itu mengantarku hingga ke dalam ruangan kantor, di mana Pak Boby sedang menungguku dan beberapa orang lainnya yang belum datang.
Tak lama berselang Kenzo datang dengan dua orang lainnya, salah satunya adalah Dita, dan seorang lagi laki-laki.
"sorry Ryan, aku gak bisa jemput tadi, ada penumpang tambahan di mobil," ujar Kenzo sambil melirik laki-laki itu dengan tatapan yang tak seperti biasanya. Kenzo terlihat sedikit kesal menurutku.
"ehm.. aku hanya menjalankan tugas," kata laki-laki itu.
"gak pa pa, Abang gue tadi bisa nganter, kantornya kebetulan lewat sini." Jawabku sambil tersenyum tipis.
"jadi ini jenis kegiatan kita di sini Nak," kata Pak Boby sambil menyerahkan sebuah buku padaku.
Ternyata ada banyak kegiatan di komunitas ini, jauh melebihi apa yang kuperkirakan sebelumnya. Pak Boby dengan ramah menjawab semua hal yang kutanyakan. Tiba-tiba Dita berdiri...
"aku keluar bentar ya," katanya dan segera berlari ke luar.
Entah kenapa ada perasaan aneh yang muncul dalam hatiku seketika itu juga.
~POV Arumi~
Oh, jadi ini komunitas disabilitas itu, lumayan besar juga ya... aku segera memarkirkan mobil, eh itu kan mobil Bang Ken, aduh telat nih aku...
Nah itu Dita!
"hampir aja nyasar gua tadi Dit, ini map kayaknya agak ngaur deh," ujarku.
"yang penting kan nyampe juga, ayo masuk, dia ada di dalam," ajak Dita.
"kok gua jadi deg-degan gini ya Dit?" tiba-tiba aku merasa tak yakin akan melanjutkan ini.
"hehehe kenapa?" tanyanya.
"gimana kalo dia malah cuekin gua?" Aku menggigit bibir bawahku.
"cowok mana sih yang tega cuekin sahabat Dita yang cantik ini?" ujar Dita sambil menggeleng
"ish... lo apaan sih Dit!" elakku.
"udah, pokoknya santai aja, kan ini cuma kenalan doang, kalo gak sreg ya tinggalin aja," katanya santai
"bener juga sih." Iya, itu betul, mengapa aku harus terlalu memikirkan pertemuan ini? toh ini kan hanya ketemuan dan tak lebih.
Kami sampai di depan pintu ruangan ketua yayasan.
Baru saja aku dan Dita memasukinya, Bang Ken segera menoleh pada kami.
"Arumi!" ucapnya kaget.
"Bang Ken." Aku tersenyum padanya.
Aku mengedarkan padangan pada yang lain, dan mataku langsung berhenti pada seseorang yang berkursi roda, ia menatapku lekat-lekat sangat tajam hingga hatiku berdetak mulai tak karuan, mengapa tatapannya bisa terasa seperti ini?
~POV Ryan~
Seorang perempuan datang bersama Dita, inikah yang dimaksud Dita itu? seorang gadis dengan tatapan menyejukkan menatapku seakan bertanya dalam hatinya, 'inikah orangnya itu?' hmm sekarang kamu lihat siapa yang ingin kamu kenal itu, seorang pria lumpuh seperti ini.
Dia pasti akan menyalahi dirinya sendiri karena pernah terbersit untuk mengenalku, dan mungkin kedatangannya saat ini hanya akan membuatnya menyesal karena membuang-buang waktu. Sungguh menyedihkan!
~POV Arumi~
"Arumi juga main ke sini gak pa pa kan Pak?" tanya Dita pada seorang Bapak yang tampak sangat ramah.
"ya boleh dong, ayo... ayo duduk..." tawar Bapak itu.
"makasih Pak," aku membalas senyumannya.
"ini Pak Boby, ketua yayasan," ujar Dita padaku.
Aku kemudian menyalami beliau.
"ini Bayu, anggota kepolisian, yang jagain aku hari ini, aku udah cerita tadi pagi kan?" tanya Dita padaku. Tadi pagi setelah subuh Dita sempat meneleponku untuk memastikan bahwa Bang Ryan akan datang pagi ini ke sini, sekalian juga Dita menceritakan tentang dirinya yang terlibat sebagai saksi dalam kasus yang sama dengan yang dihadapi Bang Ryan, jadi untuk memastikan keselamatannya diutuslah seorang polisi.
Aku mengangguk dan menyalami Bayu.
"kalo ini Bang Ryan, temennya Babang," ujar Dita.
Aku mengulurkan tangan, tapi Bang Ryan hanya memandangi tanganku.
"Bang Ryan?" kata Dita kemudian.
Bang Ryan melihat Dita sebentar dan akhirnya menjabat tanganku. Tangannya terasa dingin.
Aku tersenyum padanya, tapi ia tak membalasnya. Ada apa dengan pria ini? aku melirik Dita seakan berharap dia bisa menjelaskan sesuatu padaku.
"bagaimana kalo kita keliling dulu?" tanya Pak Boby kemudian.
"ayo Pak." Bang Ryan mengangguk.
Dita mengkodeku untuk mengikuti mereka, aku pun melakukannya.
Aku mengiringi Pak Boby dan Bang Ryan, mereka masih asyik berbincang-bincang.
Mungkin apa yang kupikirkan ini bodoh, tapi aku sangat penasaran dengan Bang Ryan ini, mengapa ia begitu dingin?
Pak Boby menjelaskan tentang lapangan basket yang biasa digunakan oleh para komunitas, aku menyimaknya.
Sambil memperhatikan lapangan itu aku melirik Bang Ryan yang sejak tadi hanya membisu.
"Bang Ryan hobi main basket juga?" tanyaku.
"hmmm," jawabnya singkat.
Mungkin saja apa yang dikatakan Dita itu benar, Bang Ryan memang tidak seperti Bang Ken, tapi kan memang semua orang itu berbeda?
Aku kembali meliriknya yang berada di samping Pak Boby, entah mengapa aku merasa Bang Ryan kelihatan murung, oh mungkin karena dia baru saja kecelakaan. Hmm ini pasti sesuatu yang sulit baginya.
***
Selesai sudah mengunjungi semua bagian dari komunitas ini, waktunya untuk pulang dan berpamitan.
"kayaknya saya pulang dulu Pak," ujar Bang Ryan.
"biar aku yang antar Ryan," kata Bang Ken.
"trus Dita sama dia gimana?" tanya Bang Ryan sambil melirik Dita dan Bayu.
"nanti aku jemput lagi," jawab Bang Ken.
"atau sama Bapak saja Nak," tawar Pak Boby.
Hmmm sepertinya ini kesempatanku untuk mengenalnya lebih jauh, jujur aku masih penasaran dengan Bang Ryan ini.
"sama Aru aja Bang Ryan," tawarku penuh harap.
"gak usah, gue nunggu jemputan, atau naik taksi aja," tolaknya dingin.
"gak pa pa kok Bang Ryan, kan sekalian lewat juga, nunggu taksi lama loh..." bujukku.
"ah iya... arah kosan kampus kan emang lewat di rumah Ryan juga, lagian kalo nunggu taksi biasanya agak lama dapatnya, kadang ada taksi yang batalin karna tau yang naik pake kursi roda, aku pernah ngalaminnya sendiri, Arumi itu baik kok, pasti nganterin sampe rumah," ujar Bang Ken yang sepertinya mendukungku, hihihi makasih Bang Ken...
"sorry ngerepotin lo," kata Bang Ryan akhirnya.
"gak kok Bang..." jawabku sambil tersenyum.
Kami meninggalkan kantor itu dan menuju parkiran, dua orang security datang mendekat pada kami, dengan cekatan mereka memindahkan Bang Ryan ke mobilku yang sudah kubukakan pintunya. Begitu pula dengan kursi rodanya yang telah duduk santai di bagian belakang mobilku. Aku kemudian masuk dan duduk di sampingnya yang masih tak sedikitpun memberikan senyuman padaku sejak bertemu tadi, ini orang benar-benar pelit senyum kayaknya.
Ia tampak meletakkan sesuatu di dekat kakinya sebelum ia menutupnya dengan selimut, kalau aku tidak salah itu seperti kantong urin, apa ia menggunakan kateter? Perasaan Bang Ken gak ada deh pakai itu.
"oke Bang?" tanyaku padanya yang baru saja memasang safety belt dengan tangan kanannya.
Dia mengangguk.
"Bang Ryan anak ke berapa?" tanyaku membuka pembicaraan ketika kami keluar menuju jalan raya.
"kedua," jawabnya singkat.
"hmm sama berarti dong sama Aru, Aru juga anak kedua, pasti gak asyik kan Bang jadi anak kedua, disuruh-suruh sama Kakak tapi juga direngekin Adek, hehehe," ujarku sambil tertawa kecil, berharap suasana ini mulai mencair.
"hmmm ya," jawabnya tanpa ekspresi.
"oh rumah Bang Ryan deket mana?" tanyaku.
"perumahan Sandest," katanya sambil menengok jendela.
Hmmm apa yang sebenarnya sedang ia pikirkan?
"jadi kenapa lo mau kenalan sama orang cacat?" tanyanya seketika.
Belum sempat rasanya otakku mencerna kata-kata itu, hatiku telah terlebih dahulu kacau tak karuan, mengapa ia bertanya begitu tiba-tiba?
Aku mencoba mencari jawaban yang masuk akal, tapi otakku buntu!
"hmmm lo mungkin gak berpikiran jernih waktu itu, sekarang lo liat seperti apa orang cacat itu," katanya.
"bukan gitu Bang... " terputus.
Aku tak tahu harus melanjutkan dengan kalimat apa lagi kata-kataku barusan.
"gue rasa lo cuma putus asa waktu itu, lo terlalu bodoh memilih cara ini," dia tersenyum pahit padaku dan kemudian membuang muka.
"apanya yang salah Bang Ryan? Dita dan Bang Ken bagaimana?" tanyaku membela diri.
"oh, jadi itu?" ia menoleh kembali padaku sambil tersenyum miring.
"Kenzo dan gue itu beda! Lo salah berharap jika gue bakal seperti dia!" katanya.
Ini orang kenapa sih? dari tadi ngajak ribut muluk.
"iya gua tau kalian beda! Trus apa?" tanyaku mulai emosi.
Ia tak menjawab apa pun, hatiku terasa sesak menunggu reaksinya. Tapi aku tak juga mendapatkan apapun hingga aku memasuki kompleks perumahan Sandest itu.
"yang mana rumahnya?" aku berusaha ramah sambil menahan kekesalan.
"belok kanan rumah pertama," ujarnya datar.
Sampai di depan rumahnya, security yang berada di dekat pagar segera menyusul.
"lo gak sepatutnya bertindak bodoh seperti ini, tapi jika lo masih niat cari cowok cacat, semoga lo mendapatkan seperti yang lo inginkan, tentunya itu bukan gue! makasih tumpangannya!" katanya sebelum security itu menggendongnya turun dari mobil.
Apa maksudnya? Dia menolakku mentah-mentah? Kenapa?
***