Cyra mengikat rambutnya asal lalu beranjak mau membuat makanan sederhana. Dia mengupas bawang merah dan putih. Dia jadi ingat kejadian satu minggu yang lalu ketika mengiris bawang merah. Mengingat itu membuat Cyra merengut sebal.
"Aku bisa, pasti!" semangat Cyra.
Afraz baru keluar dari kamar mandi dan melihat Cyra tengah asyik mengupas bawang merah dan putih. Dia melangkah menuju Istrinya dengan segera karena khawatir sang Istri kembali mengiris jari sendiri. Afraz langsung merengkuh Cyra dari belakang. Perlahan tangannya terulur untuk menggenggam tangan Istrinya.
Cyra menegang tatkala merasa Afraz di belakangnya seraya menggenggam tangannya. Dia tidak kuasa menahan detak jantung ketika tubuh Suaminya menempel sempurna di belakangnya.
"Mas, mau apa?"
"Menurutmu apa? Aku tidak mau kamu mengiris jari kembali."
Cyra merengut sebal mendengar jawaban Afraz. Dia mendongak dan menatap tajam Suaminya. Andai saja boleh Cyra ingin menabok kepala Afraz sampai puas.
"Biarkan saja jariku teriris, tidak usah peduli. Tolong menyingkir Mas terlalu menempel!"
Afraz menunduk untuk menatap Cyra. Nyaris bibir mereka bersentuhan jika Afraz tidak berpaling. Merasa gugup ia memejamkan mata sebentar lalu mengatur irama napas.
"Kenapa tidak peduli padamu? Kamu terluka aku yang repot. Kalau tidak mau, bagaimana?"
Cyra tambah kesal kenapa Suaminya begitu menyebalkan. Dasar es kutub tidak tahu perasaan wanita. Dia langsung melepas diri dari Afraz dan berbalik menghadap Suaminya. Alhasil posisinya terkurung di kedua lengan kekar Afraz.
"Menyebalkan, minggir aku tidak jadi mengiris bawang. Aku takut merepotkan, Gus. Tidak perlu karena aku yang akan masuk."
Cyra mendorong dada bidang Afraz supaya menjauh. Namun, sebuah pelukan dia dapatkan. Ia berusaha meronta, tetapi mendapat dekapan lebih erat. Cyra ingin sekali mengigit Afraz sampai puas demi meredam emosi.
"Ternyata kamu sangat mudah marah. Tahan emosi itu tidak baik, tapi kamu lucu saat marah. Baiklah aku akan jujur kamu merepotkan jika sedang terluka. Karena aku sangat khawatir jika kamu sakit maka jangan buat aku kerepotan dengan luka. Itu sangat mengganggu, hatiku."
Afraz mengatakan kejujuran walau dengan aksen dingin dan datar. Entah kapan aksen kutub mulai cair darinya. Biarkan saja semua menjadi indah walau tanpa kata manis.
Cyra membisu mendengar perkataan Afraz. Sontak dia mendongak menatap mata hitam arang Suaminya yang penuh kejujuran. Pipinya merona dengan laju irama bergemuruh.
"Mas Zaviyar." Hanya gumam yang mampu Cyra balas. Tangan mungil itu perlahan melingkar erat di pinggang Afraz. Bersandar senyaman mungkin di dada bidang Suaminya penuh haru.
"Mau Mas ajari cara mengiris bawang merah yang benar?" tawar Afraz.
"Boleh, terima kasih, Mas."
"Hn."
Cyra kembali berbalik memunggungi Afraz. Sementara Afraz merapatkan diri dengan tangan menggenggam tangan Cyra. Sungguh keduanya begitu mesra akan situasi manis.
"Mas," panggil Cyra ketika Afraz menumu dagu di atas kepalanya.
"Hn."
"Apa tidak apa melakukan begini? Apa nanti tidak melukai jari?"
"Cukup diam."
Cyra terdiam ketika Afraz mulai mengiris bawang merah dengan benar. Tangan kecilnya terasa hangat di lingkupi tangan besar Afraz. Posisi romantis membuat dia begitu berdebar kencang penuh kebahagiaan.
"Sudah, memang Adek mau masak apa?" tanya Afraz seraya memperhatikan leher jenjang Cyra.
"Sayur oseng kangkung. Mas mau kan sayur itu? Soalnya di kulkas kasihan belum di masak."
"Masaklah karena Mas ingin makan makanan buatan Adek. Mas ingin lihat apa Istriku sejauh mana masaknya. Memang Adek bisa mengulek bumbu?"
Cyra mengerucut bibir imut karena merasa tertohok. Namun, langsung bersemu mendengar perkataan Afraz mengclaim dirinya Istriku. Ia malu berhadapan dengan Suaminya walau kesal akan ejekan mengulek. Biasanya dia akan memblender bumbu dari pada mengulek. Sebenarnya dia kurang bisa melakukan itu.
"Bisa sedikit-dikit."
"Kalau begitu lakukan!"
"Siap, Gus-ku!"
"Hn."
Afraz memisahkan diri dan memilih mencuci tangan. Dia berjalan duduk di kursi seraya menatap Cyra. Dia ingin lihat apa gadis ini benar-benar bisa mengulek bumbu? Afraz harap bisa walau pelan-pelan.
Cyra mencuci cabai dan bawang putih. Setelah bersih dia letakan di cobek dan mulai mengulek-ulek. Sungguh ini pertama kali dia mengulek-ulek bumbu. Karena tidak hati-hati mata Cyra terpercik cabai.
"Kyaa ... perih ....!" pekik Cyra. Dia merasa gagal menjadi seorang Istri yang baik. Pupus sudah harapan memasakan Afraz makanan sederhana.
Afraz langsung berdiri dan menarik Cyra agar dekat. Dia basuh mata sang Istri lalu mengelap wajah manis Istrinya dengan tangannya. Afraz takut sesuatu terjadi pada Cyra akibat keteledorannya.
"Apa sangat perih?"
"Hu'um, perih sekali, Mas."
Afraz menangkup pipi gembil Cyra dan perlahan meniup mata Istrinya secara bergantian. Harusnya dia tahu Istrinya tidak bisa mengulek bumbu dan ia malah membiarkan begitu saja. Rasa bersalah terus melingkupi hati Afraz akan kesalahannya.
Cyra berpegangan pada lengan kekar Afraz. Matanya sudah mulai mendingan, namun lelehan air mata masih saja keluar. Lain kali dia akan lebih hati-hati. Cyra tertegun merasakan ciuman Afraz begitu lembut pada kelopak matanya.
Afraz mengusap pipi Cyra lembut dan hal tidak terduga terjadi. Dia mengecup kelopak mata Istrinya lama. Biarkan begini asal rasa paniknya mereda. Afraz menurunkan tangan untuk merengkuh pinggul Cyra.
Cyra malah menangis di perlakukan lembut oleh Afraz. Dia mendongak saat Suaminya menjauhkan diri. Demi Allah ia merasa tidak berguna menjadi seorang Istri. Cyra terus menangis tanpa mau berhenti. Walau Afraz menyeka air matanya tetap saja tidak kunjung berhenti.
"Mas, maafkan aku yang tidak berguna urusan dapur. Aku sangat malu karena tidak bisa memasak dengan benar. Aku juga tidak bisa ...."
"Sstt ... aku tidak akan mempermasalahkan hal itu, Dek. Adiba-ku tidak usah sedih. Adek bisanya memblender lakukan itu. Belajar dengan pelan-pelan pasti di kemudian hari, Adek mampu melebihi Mas. Tersenyum jangan menangis," hibur Afraz.
"Mas Zaviyar, sungguh aku sangat beruntung mendapatkan, Mas. Tolong maafkan aku belum bisa apa-apa."
"Hn."
*****
Cyra menatap hari mulai petang dan sebentar lagi Maghrib. Dia sudah mandi begitu pun Afraz. Dengan langkah bergetar dia akan meminta Suaminya untuk jadi Imam. Semoga saja Suaminya berkenan mengimami dirinya. Cyra pada akhirnya sudah bediri di depan Afraz yang tengah asyik membaca buku hadits.
"Mas, itu kurang 10 menit lagi Adzan Maghrib."
"Lalu?"
Cyra meremas ujung bajunya. Semua terasa mendebarkan untuk di katakan. Dia harus bagaimana untuk meminta. Karena gugup ia sampai diam 3 menit dengan posisi sama. Cyra meremas tangannya gugup akan situasi mendebarkan.
Afraz menyengit melihat Cyra tidak kunjung berbicara. 3 menit berlalu tanpa ada suara dan Cyra tetap berdiri dengan menunduk. Sebenarnya apa yang di inginkan Istrinya?
"Mas."
"Iya."
"Apakah Mas mau Imami saya di Shalat Maghrib?"
Afraz tertegun mendengar permintaan Cyra. Dengan senyum tipis dia menjawab, "iya. Wudhu lah dulu kita akan berjamaah."
Cyra langsung mendongak menatap Afraz penuh haru. Tanpa babibu lagi dia langsung beranjak menuju kamar mandi. Dalam kamar mandi ia tersenyum sembari meletakan tangan di atas dada kirinya. Cyra bersemu merah membayangkan Afraz mengimami dirinya.
Afraz tersenyum tipis melihat kelakuan Cyra. Dia tutup kitab tentang Hadits Shahih Bukhari. Setelah itu beranjak mengambil air wudhu. Afraz akan menjadi Imam Shalat pertama kalinya bagi Cyra. Ya Allah kenapa rasanya begitu mendebarkan?
Untuk pertama kali Afraz jadi Imam untuk Cyra. Mereka Shalat berjamaah untuk pertama kali dengan perasaan campur aduk. Baik Afraz atau pun Cyra sama-sama gugup serta begitu bahagia.
Afraz berbalik untuk mengajak salaman. Wajahnya masih saja datar namun berubah sedikit ketika melihat air mata Cyra. Ya Allah ada apa dengan Istrinya? Apa Istrinya sedang ada masalah?
Cyra mengecup punggung tangan Afraz penuh suka cita. Dia sangat terharu bisa menjadi makmum bagi pria idamannya. Hingga air mata luruh deras mengingat Suaminya mampu ia raih. Cyra selalu bermimpi bisa menjadi Makmum Afraz dan kini impiannya terwujud.
"Adek, kenapa?"
"Saya hanya sangat terharu, Mas. Mas, ayo mengaji bersama sembari menunggu Adzan isya," usul Cyra.
"Hm."
Walau pria es itu irit bicara dan sangat datar, tetapi bagi Cyra semua beda. Di luar Afraz memang dingin, namun sejatinya sangat perhatian dan hangat.
Mereka wudhu kembali dan memilih mengaji. Afraz dan Cyra terkesan diam usai mengaji lalu saling memandang sekian detik. Cyra tidak kuat akhirnya memutus kontak mata bsrsama Afraz.
Afraz menatap lamat-lamat Cyra yang tampak gelisah. Ada apa dengan Istrinya? Ia tidak tahu pasti yang jelas begitu janggal. Dia melihat ada banyak kata mau di sampaikan dari bibir tipis nan mungil itu. Namun, Afraz tahu Cyra kurang berani mengutarakan isi hati.
"Ada apa, Dek? Dari tadi Mas lihat Adek terlihat gelisah."
"Mas, izinkan saya menjadi Istri seutuhnya. Izinkan saya menjadikan Mas ladang amal dan izinkan saya meraih Surga bersama, Mas."
Afraz menepuk puncak kepala Cyra. Dia tersenyum untuk pertama kalinya memperlihatkan lesung pipit yang sangat manis. Ini awal baru di hubungan rumah tangga. Afraz tersenyum melihat Cyra begitu manis saat tersipu akan dirinya.
Cyra terpaku melihat senyum Afraz yang sangat manis. Ya Allah manis sekali Suaminya ini. Dia langsung menunduk tidak sanggup menatap lama sang Suami. Hingga Cyra tersadar ketika Afraz menyentuh bahunya.
"Apa Adek siap? Ingat Mas bisa menunggu saat Adek siap lahir batin. Lagian Adek baru suci, Mas tidak mau semua menjadi beban. Adek punya masa depan cerah, maka dari itu Mas hanya bisa mendukung. Jangan terburu-buru mengambil keputusan, Dek."
Cyra kembali mendongak menatap Afraz. Tangan mungilnya menggenggam erat tangan besar Suaminya. Dia angkat tangan itu lalu mengecupnya lama. Cyra tersenyum usai mencium pergelangan tangan Afraz.
"Insya Allah, saya siap lahir batin menjadi Istri, Mas seutuhnya. Asal ada Mas dan selalu di samping saya, kenapa tidak? Bukannya menikah tujuannya memiliki momongan? Apa Mas siap menjadi Ayah untuk anak kita kelak? Kalau Adiba sangat ingin agar ada yang menemani. Masa depan Adiba ada pada, Mas Zaviyar. Tidak masalah jika semua harus hilang asal saya bisa menjadi Istri Shalehah untuk, Mas."
Cyra tersenyum saat mengatakan kata manis. Dia akan menjadi Istri Shalehah untuk Afraz. Suaminya adalah masa depan terindah. Biarkan ada janin di rahimnya asal semua terbayar manis penuh makna.
Afraz tersenyum haru mendengar perkataan Cyra. Kenapa bisa gadis kecil ini mampu merobohkan pertahanan kokoh hanya kurun beberapa hari? Ya Allah Istrinya memang takdirnya begitu manis. Afraz meraih tangan Cyra lalu mengecupnya penuh arti.
Cyra tersipu malu saat Afraz mengecup punggung tangannya lama. Dia tidak bisa berhenti berdegup keras akan Suaminya. Ia tertunduk hingga Suaminya megangkat dagunya. Cyra bersemu melihat mata Afraz begitu memukau.
"Alhamdulillah ya Allah, Mas sangat bahagia mendengar itu, Dek. Insya Allah, atas nama Allah, Mas siap menjadi Ayah dan Suami yang Sholeh. Mari awali hal baru dengan mengucap Bismillah."
"Bismillahirrahmanirrahim."