Afraz dan Cyra baru keluar dari kamar mandi. Mereka selesai bersiwak dan wudhu. Entah perasaan mereka begitu berdebar karena ini malam pertama bagi keduanya.
Cyra menyengit melihat Afraz malah jalan ke Pasholatan. Kenapa tidak di kamar saja jama'ah nya?
"Mas kenapa tidak di kamar kita berjemaahnya?" tanya Cyra merasa heran.
"Apa Adek terburu-buru ingin melakukan malam pertama?" tanya balik Afraz tanpa menjawab pertanyaan Cyra.
Cyra langsung menggeleng cepat untuk menyangkal. Pipinya sudah merona parah akan tuduhan Afraz.
"Itu bukan begitu, ah itu aku ... aku penasaran kenapa malah Shalat di sini makanya bertanya," cicit Cyra.
Afraz tidak menggubris Jawaban Cyra. Dia memilih masuk ke ruang pasholatan dan memakai sarung dan kopiah.
Cyra membuntuti Afraz dari belakang dengan tubuh bergetar. Dia memilih memakai mukena dan bersiap melaksanakan ibadah Shalat isya, kemudian Shalat dua rakaat.
Shalat selesai, Afraz berdoa dengan khusyuk dan Cyra mengamini setiap doa Suaminya. Setelah semua selesai Afraz berbalik menghadap Cyra.
Cyra menyambut salaman Afraz dengan senyum haru. Dia kecup punggung tangan Suaminya penuh ketulusan. Ini sudah waktunya menyerahkan diri pada Afraz.
Afraz mengusap kepala Cyra lembut lalu memilih menggenggam erat tangan Istrinya. Jantungnya berdegup kencang merasakan betapa lembut kulit Istrinya.
"Boleh Mas mengecup kening, Adek?" tanya Afraz dengan nada tenang namun terdengar begitu sopan.
Cyra mendongak menatap mata hitam Afraz penuh haru. Dengan lembut dia bawa tangan Suaminya untuk mengecup pergelangan tangan.
"Adek milik, Mas dan semuanya milik, Mas. Tidak perlu sungkan karena Adek seutuhnya milik, Mas."
Afraz tersenyum tipis mendengar jawaban Cyra. Dia tangkup pipi gembil Istrinya lalu mengecup mesra kening Cyra. Cukup lama Afraz mengecup Istrinya hingga akhirnya merengkuh erat.
"Terima kasih, Dek."
"Sama-sama, Mas."
Afraz mengurai pelukan mereka lalu menangkup pipi Cyra kembali penuh kehangatan. Mata dingin itu meneduh untuk pertama kalinya.
"Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Dek Adiba," salam Afraz dengan senyum tipis.
"Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh, Mas Zaviyar," jawab Cyra di iringi senyum dan tangis haru.
Tangan kecil Cyra menggenggam erat lengan kekar Suaminya. Dia terus tersenyum tulus seraya menatap Afraz.
Afraz melepas genggaman tangan Cyra. Tangan besarnya penuh keyakinan menyentuh ubun-ubun Istrinya. Dengan senyum tipis Afraz akan berdoa.
"Bismillahirrahmanirrahim Allahumma inni as-aluka min khairihaa wa Khairi maa jabaltahaa alaihi wa 'audzubika min syarrihaa wa syarri maa fiihaa wa syarri maa jabaltahaa alaihi."
Cyra menitikkan air mata mendengar doa Afraz. Kini tugasnya akan segera di mulai. Untuk kudepanya dia hanya berharap semua baik-baik saja.
Afraz menghapus air mata Cyra dan memilih merengkuh Istrinya penuh kehangatan. Ini awal dari segalanya dan Afraz ingin menjadi Suami Sholeh.
"Boleh Mas lepas mukena, Adek?"
Cyra tersenyum haru mendengar izin Afraz. Dia tidak percaya Suami esnya ternyata begitu sopan dan hangat. Ia tidak pernah menduga Afraz begitu lembut di balik sikap es. Cyra memang sudah tahu dari satu tahun yang lalu, tetapi kini sikap itu mampu Cyra lihat.
"Bukalah, Mas."
Afraz melepas mukena yang dikenakan Cyra. Kini tidak ada penutup kepala sehingga memperlihatkan betapa manis Istrinya. Netra hitamnya begitu suka menatap Istrinya tanpa hijab. Walau Afraz akui Cyra jauh lebih cantik menggunakan hijab.
Afraz melepas kopiah hitam polos dan sarung. Ia lipat sarung dan meletakan di tempat semula begitu pun dengan kopiahnya.
Cyra juga sudah melipat mukenanya dan kini dia berdiri cukup jauh dengan Afraz. Sungguh dia tidak pernah membayangkan bisa hidup bersama Gus.
Afraz mendekat ke arah Cyra lalu setelah dekat. Dia tarik pinggul Istrinya dan merasa begitu tinggi. Bayangkan Istrimu hanya sebatas ketiakmu.
Cyra merasa sangat kecil di dekat Afraz. Kenapa bisa Suaminya tumbuh setinggi ini. Dia jadi sakit leher karena terlalu mendongak menatap sang Suami.
"Apa Adek sudah membuat susu?"
"Sudah Mas. Adek taruh di kamar soalnya Adek pikir mau Shalat di kamar."
Afraz mengangguk saja lalu mengurai jarak. Saat mata mereka saling menatap dia dengan segera mengangkat tubuh mungil Istrinya.
"Kyaa ... Mas turun in Adek berat," pinta Cyra seraya mengalungkan tangan di leher kokoh Afraz.
"Adek sangat ringan."
Afraz melangkah pelan meninggalkan tempat pasholatan dan melangkah menuju kamar. Mata Afraz terus menatap Cyra penuh arti.
Cyra menyadarkan kepalanya di bahu lebar Suaminya. Baginya hari ini tidak akan pernah terlupakan sepanjang sejarah. Afraz adalah sosok yang sangat Cyra cintai seumur hidup.
***
Afraz merebahkan Cyra di ranjang dengan hati-hati. Dia tidak ingin menyakiti Istrinya jika terlalu kasar. Jadi biarkan kelembutan penuh cinta ia lakukan. Afraz duduk di tepi ranjang kemudian meraih gelas berisi susu putih. Dia membantu Cyra duduk dan memberikan gelas pada Istrinya.
Cyra menerima gelas itu campur aduk. Dia mana bisa meminum air ini terlebih dahulu. Rasanya kurang sopan minun dulu sebelum sang Suami. Cyra tidak berani menatap Afraz jika suatu semakin intimidasi.
"Minumlah terlebih dahulu!" perintah Afraz.
"Tapi, Mas ...."
"Minum, Dek!"
"Bismillahirrahmanirrahim."
Cyra meminum tiga teguk air susu. Kemudian mengucap Alhamdulillah. Dia serahkan gelas pada Afraz dengan senyum tipis.
Afraz menerima gelas itu lalu mengucap Bismillah. Dia meneguk seluruh air susu tepat di mana Cyra tadi meminumnya. Setelah habis Afraz mengucap Alhamdulillah.
"Mas."
"Hn."
Afraz merutuki diri karena tidak bisa melakukan guyonan garing. Sumpah dia saja irit bicara, lalu mau guyon apa untuk mencairkan suasana? Ah dia ambil secara realitas saja.
"Dek, maafkan Mas tidak bisa guyon. Hidupku terlalu dingin dan kaku. Mas merasa kurang percaya diri soal bercanda. Hidup, Mas terlalu monoton penuh keseriusan."
"Mas, Adek paham dan jangan merasa begitu. Adek menerima Mas karena Allah dan akan selalu bersama Mas seumur hidup. Mas tidak perlu jadi orang lain karena Adek mencintai Mas apa adanya. Adek sangat mencintai Mas karena Allah."
Cyra tidak tahu kenapa bisa mencetuskan perasaannya. Memang dia pernah mengaku suka di awal bersama. Namun, ini ia menyatakan cinta di situasi yang mendebarkan. Cyra sangat berdebar akan respons Afraz setelah ini.
Afraz tertegun mendengar jawaban Cyra. Dia tersenyum tulus mendengar pengakuan cinta Istrinya. Sepertinya dia juga mencintai gadis ini. Afraz ingin memberikan segala cinta pada Cyra walau melalui tindakan.
"Terima kasih, Dek Adiba. Kamu sangat manis tapi sayang pendek," ucap Afraz dengan gestur biasa.
"Mas Zaviyar, kumat menyebalkan lagi. Adek tidak pendek, Mas saja seperti genter berjalan. Ingat tinggi Adek waktu terakhir ukur 159 cm. Itu sudah tinggi untuk gadis pribumi. Nah, Mas berapa? Aku tidak menyangka Suamiku genter jalan."
"Hai, Mas cukup pendek hanya 190 cm dan Adek saja terlalu pendek."
"Masyaallah, pantas kayak tiang listrik tinggi sekali. Pokoknya Adek tinggi ngga pendek!"
"Baiklah nona tinggi."
"Hello, Mr ...! Saya bukan Nona tapi Nyonya!"
"Baik, Nyonya."
"Menyebalkan."
Cyra merengut sebal dan langsung terbelalak saat Afraz mengecup sudut bibirnya. Dia menatap Suaminya tepat berada di depannya. Degup jantungnya begitu keras sampai rasanya pipinya terbakar. Cyra menunduk dalam menyembunyikan rona wajahnya akibat Afraz.
"Mas menyukai, Adek. Bisa mulai di tahap inti?"
Cyra memilih mengaguk setuju tanpa mengeluarkan suara. Dengan begini semuanya di mulai. Setelah doa maka malam panas akan terjadi di antara mereka. Cyra berdoa Afraz mampu mengantarkan ke Surga-Nya Allah.
Afraz berdegup kencang merasakan gugup luar biasa. Ini pertama kali akan melangkah ke jenjang lebih tinggi. Ia ingin menjadi mentari pagi yang selalu melingkupi Istrinya Afraz begitu menyukai Cyra yang sederhana memiliki jiwa humoris.
"Mari berdoa beragama, Dek."
"Enggeh, Mas."
"Bismillah, Allahumma jannibnaa Syaithana wa jannibis syaithana Ma Razaqtanaa."
Afraz mengangkatp dagu Istrinya perlahan. Dengan pelan namun pasti dia memiringkan kepala lumayan dalam. Hingga sebuah penyatuan bibir pertama kali terjadi. Dia memejamkan mata menerima sensasi baru. Afraz membuka mata pelan guna menatap Cyra. Senyumnya merekah indah tatkala Istrinya menggenggam tangannya.
Cyra memejamkan mata saat merasakan bibirnya di kecup Afraz. Ini ciuman pertama mereka dan akan menjadi malam panas. Ciuman pertama di malam spesial. Sungguh Cyra begitu berdebar saat Afraz menjamah bibirnya.
Afraz mulai menggerakkan bibir menjadi lebih intim. Dia rengkuh tubuh mungil Istrinya erat. Entah sejak kapan ia sudah berada di atas tubuh Istrinya. Afraz begitu gila merasakan ciuman luar biasa bersama Cyra. Tangannya gemas sehingga meremas pinggul Istrinya untuk menambah sensasi.
Cyra membalas ciuman Afraz yang panas. Perlahan tangan mungil itu merambat naik untuk mengalung di leher kokoh Suaminya. Dia merasa sensasi luar biasa saat Suaminya menjamah tubuhnya. Cyra merasa berada di nirwana bersama Afraz. Sungguh ini sangat memabukan membuatnya tidak mampu menahan erangan nikmat.
Alunan melodi penuh irama panas menguar di ruangan ini. Desahan erotis menggema memacu gairah. Baik Afraz atau pun Cyra melebur menjadi kesatuan mendapat kenikmatan halal. Hubungan intim demi menyempurnakan sunah Rasul.
Kenikmatan yang baru mereka perolah menyebabkan ingin merasakan lagi dan lagi. Penyatuan pertama mereka walau Cyra harus merasa sakitnya untuk pertama kali. Ciuman, usapan, remasan dan lumatan mereka lakukan dengan suka cita. Kini hanya ada mereka berdua memadu kasih dengan takdir.