Adiba makan di kantin kampus bersama teman-temannya. Dia terdiam ngilu saat banyak orang berbisik mencemooh. Ia berusaha makan dengan tenang walau kesal, tetapi bisa saja. Adiba menahan telinga terasa panas mendengar perkataan mereka.
Teman-teman Adiba mengambil tindakan. Salah satu dari mereka yaitu Bastian berdiri. Memang fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam di kenal akan persahabatan, solidaritas dan kekeluargaan yang kental. Maka jangan khawatir jika Bastian memberikan perlindungan.
"Yak ...! Apa mulut kalian ingin kami sumpal. Mengaca terlebih dahulu sebelum menghina Adik kami, Cyra. Apa kalian suci tanpa dosa? Aku pikir kalian lebih rendah karena hanya bisa menghina, mencela dan mencari kesalahan orang lain. Sebelum menghina coba mengaca seberapa suci kalian ....!" tegas Bastian si ketua kelas fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam.
Para penggosip langsung kicep mendengar seruan Bastian. Mereka memilih bungkam dari pada berurusan dengan ketua yang di kenal sangat tegas. Yang jelas Bastian di kenal begitu tegas tidak suka main-main apa lagi di bantah.
Adiba tersenyum haru mendengar pembelaan Bastian. Dia tanpa sungkan memberikan seluruh lauk pada temannya dengan semangat. Adiba tersenyum lebar akhirnya bisa berbagi pada teman-temannya.
"Hai, kamu makan apa jika kamu berikan laukmu?" tanya Bastian di angguki teman sekelas.
"Ada sayur, Kak. Terima kasih aku sangat senang, aku sayang Kak Bastian." Cyra begitu semangat mengatakan itu tanpa tahu Zaviyar berdiri cukup jauh darinya.
Bastian tersenyum tulus mendengar perkataan Cyra. Dia berikan lauk ayam goreng untuk Adiba. Baginya ucapan sayang itu maksudnya sayang sebatas Kakak dan Adik. Bagi teman sefakultas mengucap kata sayang itu biasa saja. Kata sayang bentuk rasa kekeluargaan mereka.
"Makanlah, Kakak tidak mau makan terlalu banyak. Aku nanti gendut, mending Cyra saja yang gendut." Bastian tersenyum mengatakan itu.
Adiba tersenyum lebar memperlihatkan gigi rapinya. Mata besar itu membentuk bulan sabit cantik dan lesung pipi manis. Cyra bertepuk tangan heboh akhirnya bisa mendapat ikannya lagi.
"Hore, Cyra tidak kehilangan ayam."
Adiba langsung makan dengan lahap dan lihat Bastian langsung mengambil ayam goreng itu lagi dan tidak akan memberikan pada Adiba. Bastian tersenyum cerah melihat Adiba merenggut lucu.
"Kamu tidak ikhlas memberikan pada Kakakmu, ini jadi milikku!"
Adiba merengut lucu dan langsung tersenyum saat Marisa memberikan lauk ayam goreng. Dia langsung mengucap terima kasih pada Marisa dan mencibir Bastian. Adiba kembali melanjutkan makan dengan semangat.
Zaviyar datang ke kantin karena di paksa ikut oleh Sholeh. Alhasil para Dosen muda datang ke kantin. Mereka melirik Zaviyar penuh arti saat pandangan pria itu menyorot Adiba. Walau ekspresi datar, tetapi mereka tahu ada kekesalan melingkupi hati Dosen paling muda.
Zaviyar langsung berpaling dan memilih duduk. Dia memesan air dingin serta makanan pedas dan gurih. Sesekali dia menanggapi guyonan asin para Dosen muda. Tetapi, hatinya begitu meluap melihat keakraban Adiba dan Bastian.
Adiba mendengar suara Zaviyar sontak menengok ke belakang. Mata mereka berserobok beberapa detik sebelum Suaminya berpaling. Dia tersenyum saja melihat Zaviyar tampak dingin seperti biasa.
Teman-teman sefakultas menepuk kening saat tahu Dosen es tahu kedekatan Adiba dan Bastian. Apa iya kutub utara cemburu? Tidak deh mana bisa makhluk langka cemburu.
"Cyra, samperi Pak Afraz gih," bisik Maria.
"Kenapa? Aku mau makan lapar sekali."
"Ya Allah, kamu tidak sadar dari tadi Pak Afraz melihat ke arah kamu dan melihat kedekatan kalian," bisik Maria lagi.
Adiba tidak mau karena bisa gawat kalau sampai menghampiri Zaviyar. Dia memilih makan dengan lahap dan entah kenapa kurang. Adiba mengerjap saat makanannya habis.
"Aku ingin lagi," rengek Adiba pada mereka.
"He? Kamu sudah habis banyak, Cyra. Mentang-mentang ngga bisa gendut makan banyak. Gendut kapok," cibir Bela.
Adiba merengut sebal karena tidak di berikan makanan. Dia ingin ke kasir bilang tambah, tetapi malah di cekal Marisa. Mata besar Adiba berkaca-kaca permintaan di tolak.
"Jaga image Sayangku, apa yang akan di pikirkan Pak Afraz kamu makan sepeti sapi?" lirih Marisa.
"Tidak tahu," sedih Adiba dengan mata berkaca.
"Astagfirullahaladzim!" seru mereka tanpa sadar melihat Adiba menangis.
Zaviyar langsung menengok ke arah sumber suara begitu pun para Dosen dan penghuni kantin yang lain. Mereka menyengit mendengar kegaduhan anak-anak fakultas Ekonomi dan Bisnis.
Teman-teman Adiba meminta maaf, kemudian menepuk bahu Adiba agar tenang. Sensitif sekali bocah ini, sebenarnya ada apa sih?
"Makan lagi," pinta Cyra dengan tangis sesenggukan.
"Oh, baik Adik manis kita pesankan makanan lagi," lirih mereka.
Zaviyar beranjak meninggalkan bangku dan memilih menghampiri Adiba. Kenapa Istrinya menangis? Siapa yang membuat sedih?
Anak fakultas Ekonomi dan Bisnis langsung diam ketika Zaviyar menepuk bahu Adiba. Mereka bingung kenapa sosok kutub bisa berjalan kemari?
Adiba mendongak menatap Zaviyar penuh harap. Dia ingin merengek minta makan yang banyak. Walau habis banyak perutnya belum kenyang. Pokoknya mau makan lagi titik ngga pakek koma.
"Ada apa?" tanya Zaviyar dingin.
"Makan, mereka tidak memberikan Adiba makan," jawab Adiba sukses membuat teman sefakultas menciut di tatap dingin Zaviyar.
Zaviyar melihat ada tiga piring di depan Adiba. Rakus sekali Istrinya, apa tidak sakit perut? Sudah habis tiga piring minta lagi? Zaviyar heran dengan perut Adiba seperti karet.
"Mau makan apa?"
Adiba langsung berbinar mendengar perkataan Zaviyar. Dia ingin makan makanan sedikit pedas dan gurih. Adiba langsung berdiri seraya menatap berbinar Zaviyar.
"Makan pedas dan gurih," riang Adiba tanpa sengaja.
"Mau punya saya?"
"Apa?"
"Ikut saja!"
Zaviyar menarik pelan tangan Adiba agar ikut duduk di bangku tadi. Dia tidak peduli tanggapan para penghuni kampus dan memilih membawa Istrinya. Zaviyar menggenggam tangan mungil Adiba tanpa peduli sekitar.
Adiba menunduk malu karena Zaviyar. Apa tanggapan mereka nanti jika tidak ada teman dan Suami? Dia tersenyum ramah pada para Dosen pria muda. Adiba duduk di samping Zaviyar dengan perasaan campur aduk.
"Makan!" perintah Zaviyar.
"Um, tetapi Bapak makan apa?"
"Sudah makan habiskan saja."
"Baik.".
Adiba berdoa sebelum makan kemudian menyuapkan makanan pedas. Dia langsung terdiam seribu bahasa merasakan betapa pedas makanan Zaviyar. Ia lupa tanya pedasnya bagaimana? Adiba merasa perutnya bergejolak menyakitkan.
"Saya ke belakang dulu, Pak."
Adiba memilih pergi mengambili tas dan menyerahkan uang pada temannya untuk membayar makanan. Kemudian berlalu begitu saja seraya membekap mulutnya. Perutnya mual dan rasanya begitu menyiksa.
Zaviyar memang dasarnya suka pedas jadi tidak masalah. Dia meminta izin pergi lebih dulu dan menyerahkan uang 50 ribu pada mereka agar di bayarkan. Zaviyar tadi sempat melihat wajah Adiba tiba-tiba berubah tegang. Makanya ia memilih menemui Istrinya.
Sampai restroom Adiba merasa sakit di perutnya dan dengan hebat memuntahkan isi perutnya. Kepalanya pusing, tetapi harus kuat agar tidak tumbang. Karena lelah akhirnya Adiba duduk di kloset seraya bersandar di dinding.
Adiba kembali beranjak saat perutnya kembali bergejolak tinggi. Dia memuntahkan isi perutnya agar puas. Perutnya nyeri sekali membuatnya pusing hebat. Adiba mencengkeram pinggir wastafel untuk berpegangan.
Zaviyar menunggu di depan Restroom. Perasannya kalut akan rasa bersalah memberikan Adiba makanan pedas. Hingga dia melihat Istrinya keluar dengan keadaan mengenaskan.
Adiba terbelalak melihat Zaviyar dan langsung tersenyum canggung. Dia berusaha melewati Suaminya setelah tersenyum tipis.
Zaviyar mencekal lengan Adiba cukup erat. Kenapa Istrinya begitu pucat? Apa sesakit itu? Zaviyar diam saja, namun hatinya begitu sakit melihat Adiba begitu.
Para Mahasiswi melihat Zaviyar dan Adiba penuh arti. Kenapa Dosen mereka bisa ada di depan pintu kamar mandi dan parahnya begitu perhatian?
Adiba melepas cekalan tangan Zaviyar. Dia menunduk untuk meredam rasa sakit di perutnya. Karena sakit Adiba langsung mencekal lengan kekar Zaviyar.
"M-Mas, sa ... sakit," lirih Adiba.
"Katakan apa yang sakit? Kita ke rumah sakit, Dek!"
Adiba menggeleng lemah karena paling anti dengan rumah sakit. Setiap ingat rumah sakit masa itu kembali menguar. Traumanya cukup menyulitkan membuat Adiba kalut.
"Pulang, tidak mau ke rumah sakit. Tidak mau, jangan ke sana. Pulang," cicit Adiba.
"Tetapi, Adek pucat dan mengeluh sakit. Bagaimana jika terjadi apa-apa?"
"Pulang, jangan ke sana, hiks."
Adiba menangis sembari memejamkan mata rapat mengingat masa lalunya. Semua begitu menyedihkan ketika teringat tragedi mengerikan.
Zaviyar paham tanpa babibu mengangkat tubuh mungil Istrinya. Dia akan pulang guna merawat Istrinya supaya tidak terjadi apa-apa. Dia bersyukur ponsel dan dompet ada di saku. Pikiran Zaviyar sudah kalut membuat lupa di mana berada. Dia tidak peduli akan pandangan seluruh penghuni kampus. Rasa panik menguasai pikiran Zaviyar akan keadaan Adiba.
Adiba memejamkan mata rapat karena menahan sakit dan rasa bersalah karena merepotkan Zaviyar. Dia tersenyum tulus melihat Suaminya begitu khawatir padanya. Rasa sakit di perutnya perlahan berangsur membaik berkat Suaminya. Adiba sudah merasa tenang saat menghirup parfum Zaviyar yang meneduhkan.