Cyra tersenyum saat Afraz membalah kitab imriti. Senyum tidak kuasa lepas ketika memaknai setiap ayat kata. Usai membalah Suaminya menatap tajam. Jika begini Cyra tambah terpesona akan pesona Afraz.
"Kenapa hanya menatap apa kamu tidak mendengar?"
"Dengar Gus."
"Hn, tunjukan mana tadi yang saya balah!"
Cyra menyerahkan bukunya dengan semangat. Walau fokus ke Afraz tangan lentik itu tetap memaknai kitab. Dia tersenyum manis ketika Suaminya mengambil bukunya.
Afraz menyerahkan buku Cyra seraya menepuk kepala Istrinya. Tulisan Cyra sangat rapi mencirikan karakternya. Walau gadisnya tidak bisa masak, tetapi tidak masalah.
"Sekarang saya akan memberikan arti dari semua itu!"
"Enggeh, Gus."
Cyra menulis ketika Afraz mendikte arti balahan tadi. Setelah selesai Cyra langsung merebahkan kepalanya di meja. Kepalanya pusing dan perutnya nyeri, apa lagi pinggulnya terasa nyeri efek menstruasi sering membuatnya begini.
"Kamu loyo sekali," ejek Afraz.
"Ngantuk Gus," ujar Cyra tidak mau memberi tahu sakit yang di rasa.
"Tidur di kamar!"
"Nanti saja, seperti ini dulu. Gus, nanti malam makan apa?"
"Seadanya."
Afraz membereskan buku Cyra dan bukunya. Dia menyengit saat Istrinya diam saja tanpa mau bergerak. Tangan besarnya terulur untuk menyentuh pundak Istrinya. Afraz bingung melihat Cyra tidak kunjung bergerak.
Cyra buru-buru menegakan tubuh dengan wajah menunduk. Dia berdiri dan hendak berjalan namun oleng. Ia bersyukur tubuhnya limbung dalam dekapan Suaminya.
Afraz langsung menangkap tubuh mungil Istrinya. Dia mendelik melihat Cyra begitu pucat pasi. Sontak dia gendong tubuh mungil gadisnya dan duduk di sofa sembari memangku Istrinya. Afraz begitu khawatir melihat Cyra sangat pucat.
"Apa yang sakit?" tanya Afraz datar namun tersirat nada khawatir.
"Ini sudah biasa untuk saya, Mas. Setiap datang bulan pasti begini, maaf membuat Mas repot," lirih Cyra.
"Hm, apa perlu kita ke Dokter?"
"Tidak perlu, saya besok Insya Allah sudah mendingan."
"Serius? Biasanya apa yang kamu minum saat haid?"
"Kiranti."
"Kamu membwa obat itu?"
"Habis, besok saya akan beli. Tidak apa Mas jangan khawatir."
Afraz menggendong Cyra menuju kamar pribadinya. Mungkin mulai malam ini mereka tidur bersama. Rasa panik walau ia tutup dengan wajah datar.
Dengan hati-hati Afraz merebahkan Cyra di ranjang. Mungkin ia akan membeli kiranti di Alfamart lalu membeli sesuatu untuk mereka. Afraz tidak akan membiarkan Cyra sakit akan keadaan itu.
Cyra tersenyum tipis merasakan perhatian Afraz. Tumbuhnya terasa hangat ketika Suaminya mendekap penuh kekhawatiran. Ya Allah kalau begini ia jadi merasa aman dalam dekapan Suaminya.
"Saya akan segera kembali."
"Eh? Mas mau ke mana?"
Tidak ada jawaban karena Afraz sudah pergi. Sebenarnya Afraz mau ke mana? Karena puaing dan merasa nyeri haid akhirnya Cyra memilih tidur.
Di sinilah Afraz berdiri. Dia tidak tahu kiranti itu apa. Apa itu sebuah pil atau sirup? Dengan enteng Afraz berdiri di depan kasir.
Pekerja perempuan menatap Afraz mendamba. Mahluk tampan dari mana ini? Kenapa sangat tinggi dan rupawan. Mirip sekali pada pemuda timur tengah yang memiliki wajah rupawan. Namun, memang Afraz begitu tampan bak pangeran di timur tengah.
Afraz risih di tatap begitu memuja oleh mereka. Apa lagi Mbak kasir terlihat melonggo dengan mata berbinar. Apa dia sangat tampan sampai segitunya di tatap?
"Mbak kiranti 3."
Afraz mengatakan dengan lempeng. Mana sudi ia keliling penjuru ruangan Alfamart hanya untuk kiranti. Afraz hanya memilih menunggu dari pada berkeliaran.
"Mas mau minum kiranti?"
Kasir itu dan para wanita mendelik horor. Apa jangan-jangan pria tampan ini jadi-jadian? Ya Allah, mahluk setampan ini ternyata abnormal.
"Apa maksudmu? Itu untuk Istriku. Cepat berikan!" tegas Afraz.
"He? Mas sudah menikah ...!"
"Cepat!"
"Ah, baiklah. Mas butuh pembalut juga?"
Afraz diam memikirkan apa itu pembalut. Pembalut itu apa? Afraz pusing sendiri mendengar kata asing. Dengan asal menjawab, "Hn, yang bagus."
"Baik, mau yang berapa senti?"
Apa pembalut itu bervariasi? Afraz semakin mendesis memikirkan pembalut dan kiranti. Dia harus menjawab apa? "yang paling panjang."
"Baik, tunggu di sini Mas. Itu pembalut mau beli berapa?"
"Tiga."
"Baik, saya ambil dulu."
Afraz memilih mencari roti tawar dan selai. Dia mengambil roti tawar cokelat dan gandum. Lalu mengambil selai cokelat. Afraz juga mengambil camilan untuk Cyra serta minuman sekiranya di sukai Istrinya.
Setelah membayar semua itu Afraz nyelonong dengan muka datar. Dia tidak tahu dua kata asing yang sangat memalukan untuk di beli bagi seorang pria mampu terbeli. Ia tidak pernah tahu apa itu kiranti dan pembalut. Alhasil Afraz bertampang datar tanpa ekspresi saat membeli itu semua.
Para wanita di Alfamart cekikikan melihat tampang Afraz. Mereka geleng kepala menertawakan betapa polos pria tadi. Mau saja di suruh Istrinya beli begituan. Tetapi, rasa bangga hinggap ketika tahu Afraz begitu cinta Istrinya.
*** ❤❤❤***
Afraz menyerahkan kiranti pada Cyra. Ia sedikit sebal tadi saat membeli ini semua. Dia menatap datar Istrinya terasa menggemaskan melihatnya. Afraz pikir Cyra tidak percaya ia mampu membeli ini semua.
"Ini minumlah!" titah Afraz seraya menyodorkan kiranti.
Cyra mendelik horor melihat Afraz memegang kiranti. Dapat dari mana Suaminya ini? Demi es beserta saudar-saudaranya membuat Cyra bingung akan Afraz.
"Mas dapat dari mana?"
"Alfamart."
"Ha? Ya Allah, kenapa Mas repot beli ini. Apa Mas tidak malu?"
"Untuk apa malu? Cepat minum!"
"Baiklah."
Cyra menerima lalu membuka tutup botol. Dengan tersenyum tipis lalu mengucap Bismillah ia meneguk obat pereda nyeri haid.
Afraz tersenyum saat Cyra minum obat itu. Semoga saja lekas sembuh supaya dirinya tidak panik Walau datar di luar sejatinya dalam hati sangat panik.
"Terima kasih, Mas."
"Hn."
Cyra melihat plastik logo Alfamart dengan horor. Kenapa bisa Afraz membeli pembalut? Apa wajahnya tidak bersemu mengatakan membeli itu? Sungguh luar biasa hari ini bagi Cyra.
"Mas, itu kenapa membeli pembalut?" cicit Cyra.
"Tadi Mbak kasir bilang beli pembalut tidak? Saya jawab iya, bingung juga banyak variasi jadi bilang paling panjang."
Cyra menepuk kening dengan menggeleng lemah. Dasar pria es mana tahu soal wanita. Tetapi, cukup bersyukur Afraz begitu perhatian walau dengan cara tidak lazim.
Afraz ingat tadi saat di goda Mbak penjaga Alfamart. Dia jadi malaa beli di kompleks apartemennya. Mereka genit bikin gedek sampai ingi berkata tajam. Afraz tatap Cyra tampak aneh menatap dirinya. Ada yang salah?
"Mas, lain kali jangan membeli yang aneh-aneh ya. Pembalut dan kiranti itu untuk wanita. Sekali lagi maaf merepotkan, Mas."
"Hm."
Cyra tersenyum saja melihat Afraz begitu lucu. Polos juga Suaminya ini untung Mbak kasir tidak aneh-aneh dengan Suaminya. Jika aneh-aneh awas saja habis kena timpuk dirinya.
Afraz mengukir senyum manis dalam hati. Dia bersyukur Cyra tersenyum cerah begitu. Ia berharap senyum itu selalu ada untuknya. Afraz jadi gemas ingin nyubit gemas pipi gembul Cyra.
"Berhenti tersenyum, istirahatlah!"
"Tidak bisa, aku sudah terjaga. Mas sangat polos ya, aku tidak menyangka orang segenius Mas ... bodoh soal pembalut dan kiranti."
Afraz memincing mata tajam mendengar ejekan Cyra. Dia langsung menarik lengan langsing Istrinya dan memberikan tatapan tajam.
"Apa maksudmu bicara begitu? Memang saya harus tahu soal begitu? Lupakan, saya ingin mengerjakan tugas."
Cyra menahan tangan Afraz agar tetap duduk di tepi ranjang. Dia lalu menggenggam tangan besar Suaminya sedikit erat. Cyra takut Afraz marah padanya akan perkataan tadi.
"Mas, maafkan Cyra ya. Tadi hanya bercanda hehehe. Mas jangan marah."
Afraz kembali duduk lalu memeriksa wajah cantik Istrinya. Sudah tidak terlalu pucat, syukurlah. Lalu merespon pasif , "Hn."
"Terima kasih banyak Mas Afraz!" pekik Cyra tanpa sadar. Dia tersenyum begitu lebar seraya tersenyum manis.
Afraz tersenyum tipis bahkan tidak terlihat tersenyum jika tidak di perhatikan dengan seksama. Perlahan ia mengusap puncak kepala Cyra dengan lembut. Semua akan di mulai sejak hari ini.
Cyra tersipu ketika mendapat elusan lembut di kepala. Mata besarnya menatap Afraz dalam penuh haru. Apa Suaminya sedang sakit?
"Mulai sekarang panggil saya, Mas Zaviyar!"
"Eh? Kenapa begitu? Mas Afraz juga sangat manis dan lebih keren."
"Jadi kamu menolak, Dek Adiba?"
"Eh?"
Cyra tercengang mendengar panggilan baru Afraz. Dek Adiba, sungguh apa dia tidak salah dengar? Kenapa Suaminya memanggil begitu?
Afraz takut jika Cyra menolak panggilan baru itu. Dia hanya ingin mengawali hari baru bersama Istrinya. Ia berharap panggilan ini semakin merekatkan hubungan mereka.
"Kenapa? Apa jelek?"
"Bukan begitu, saya sangat senang bisa memanggil Mas dengan sebutan baru. Lalu kenapa Mas meminta saya memanggil dengan, Mas Zaviyar? Terakhir, kenapa memanggil saya Dek Adiba? Kenapa bukan Cyra?"
"Saya hanya ingin mengawali hari baru bersama Istriku. Saya tidak ingin Istriku memanggil seprti mereka. Saya hanya ingin di awal terdapat panggilan baru. Boleh saya memanggil, Dek Adiba?"
Cyra membisu mendengar penuturan Afraz. Mata cokelat mudanya berkaca haru akan perkataan Suaminya. Sungguh dia sangat terharu sampai tidak kuasa menahan air mata.
Afraz seka air mata Cyra dengan senyum tipis. Dia paham gadisnya merasa terharu akan perkatanya. Kalau begini ingin rasanya Afraz merengkuh Cyra erat.
"Mas Zaviyar, tentu saja boleh memanggil saya begitu. Terima kasih banyak, Mas."
Cyra langsung merengkuh Afraz erat. Dia tidak peduli karena mereka sudah sah maka sangat sakral merengkuh kapan pun. Tangis haru terus keluar mengingat hari baru bersama Suaminya. Cyra begitu bahagia bisa mengawali hari baru penuh sayang.
Afraz membalas pelukan Cyra tidak kalah erat. Walau mereka di satukan dengan cara tidak mengenakan. Namun, Afraz sangat bersyukur dan akan menjaga Cyra dengan caranya.