Chereads / Penguasa Kegelapan / Chapter 7 - Ritual Pemanggilan

Chapter 7 - Ritual Pemanggilan

Dan hari perayaan tiba, semua penduduk Agalta berkumpul. Bendera-bendera berwarna putih yang melambangkan kerajaan Agalta terpasang di semua jalan yang menuju kerajaan. Seluruh pohon dan pagar-pagar rumah dihiasi dengan balutan kain warna-warni untuk memeriahkan suasana. Aroma masakan sup dan bubuk rempah nan gurih yang dihidangkan bersama daging panggang memenuhi meja yang terpantri disetiap jalan dan seluas halaman istana.

Perayaan terbesar yang pernah dilakukan penduduk benua Azella, dengan banyaknya hiburan, pesta kembang api dan makanan yang melimpah ruah gratis untuk seluruh penduduk yang datang menghadiri pesta tersebut. Sebuah perayaan untuk penghormatan kepada Raja baru Agalta sekaligus rasa terimakasih kepada Raja sebelumnya, Rio Agalta.

Semua para gadis muda yang sudah berkumpul dihantarkan menuju pintu gerbang istana. Alviena sendiri malah bersembunyi malu di belakang punggung sahabatnya, Sonya. Mereka berteman sudah sejak kecil saat mereka berusia masih lima tahun, hingga sekarang mereka berdua masih sangat akrab. Sonya adalah teman satu-satunya Alviena bukan hanya karena umur mereka yang sebaya tapi karena Sonya juga berasal dari ras Elf.

"Bukannya tadi kamu bilang tidak akan malu."

Alviena memang ingat pernah mengatakan tersebut sebelum pergi. Hanya saja ia tak memperkirakan jumlah orang yang datang akan sangat banyak, bahkan ketika hanya gadis-gadis muda saja berkumpul yang hendak dipandu masuk ke dalam istana tetap saja berdesakkan hingga membuat atmosfer di sekitar terasa sesak.

"Habis aku tak mengira kalau akan sebanyak ini."

Sonya mengembuskan nafas kasar, berbalik menghadap Alviena, lalu kedua tangan Sonya mencubit pipi Alviena. "Ya ampun Ena, sepolos apa si dirimu." Sonya biasanya memangil Alviena dengan Ena. "Jelas saja banyak orang datang. Kota Agalta bukan hanya manusia saja tapi juga banyak ras lain, tentu saja akan banyak orang yang berdatangan, kau tidak ingat?"

"Maaf." Alviena mengelus kedua pipinya yang memerah akibat ulah Sonya.

"Ya sudah, ayo kita jalan."

Melihat Sonya yang hendak berjalan lebih dahulu, dengan cepat Alviena meraih lengan sahabatnya dan merangkulnya dengan erat. "Jangan tinggalkan aku."

Melihat mata Alviena yang berkaca-kaca membuat Sonya merasa bersalah, lalu secara tiba-tiba ia mengamit lengan Alviena dan menggandengnya menembus keramaian orang menuju pagar yang telah dibukakan oleh penjaga kerajaan yang dikhususkan hanya untuk gadis-gadis muda yang boleh memasuki istana kerajaan Agalta.

"Ena, kamu tidak merasa aneh? Kenapa kerajaan memperbolehkan kita masuk ke istana, terlebih lagi hanya gadis-gadis muda seperti kita yang diijinkan masuk?" Sonya melihat dari ekor matanya, melihat sosok sahabatnya yang masih meringkuk dipunggungnya sambil memegang erat pergelangan tangannya. Bahkan Alviena juga tidak mendengar apa yang barusan diucapkan oleh Sonya.

Tanpa memperdulikan lagi, dan tetap membiar sahabatnya itu mengumpet di belakangnya, Sonya terus menuntun perjalanan di lorong istana kerajaan yang mewah. Hampir seluruh bagian istana dihiasi dengan ukiran berlian yang terpantri di tembok-tembok putihnya, sementara itu lantai istana ini dihiasi dengan ukiran emas yang diukir di atas keramik batu putih hingga ketika terkena sinar matahari yang berasal dari jendela membuat keramik itu seperti bermandikan cahaya yang penuh warna warni, menciptakan perbaduan warna yang memukau.

Keluar dari lorong tersebut, kini mereka melintasi jalan setapak yang menghubungkan kebagian istana lainnya. Disisi kanan dan kirinya adalah taman dengan pepohonan rindang dan rerumputan yang seolah mengajak untuk berbaring di atasnya.

"Pohon Agola." Tanpa sadar Alviena melemahkan gandengan tangannya hingga membuatnya terpisah dari Sonya. Kini Alviena terdiam bodoh, dengan mulut menganga lebar bak patung. Inilah alasan Alviena bersikeras untuk datang ke kerajaan Agalta. Melihat hamparan luas pepohonan Agola, dedaunannya begitu besar hingga menutupi cahaya matahari. Namun, karena warna daun keemasanya membuat sinar matahari yang mencoba menerobos dedaunan lebat tersebut seolah membuat cahaya matahari berubah menjadi warna senja yang begitu indah.

***

"Alviena?" Sonya tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya saat menyadari sahabatnya itu hilang entah ke mana.

"Alviena!!" Gadis berambut putih tersebut terus memanggil nama sahabatnya, bahkan setelah dibantu oleh beberapa perkerja kerajaan hingga kembali ke taman, di mana Sonya yakin kalau itu titik di mana ia kehilangan Alviena, tetapi di sana ia juga tidak menemukannya.

"Di mana... di mana... mana?!" Kian gusar, Sonya tidak tau harus ke mana, dengan tidak menemukan Alviena, Sonya ingin keluar dari istana tapi saat dia ingin keluar istana ada seorang pria paruh baya menghentikannya.

"Kau mencari sahabatmu?"

Sonya sedikit ketakutan ketika melihat tatapan orang tersebut yang seakan hendak menerkamnya, tetapi ia berusaha kuat untuk dapat menjawab karena ia sangat khawatir dengan Alviena.

"Iya."

Pria paruh baya tersebut tersenyum simpul, "ikutlah denganku."

Melihat pria itu melangkah duluan sedikit jauh darinya, menatap punggung pria tersebut, agak sedikit ragu tapi Sonya sendiri tidak tau lagi harus ke mana mencari Alviena, maka dengan terpaksa ia mengikuti pria paruh baya itu.

***

Lama terdiam, Alviena akhirnya tersadar dari diam bodohnya, hal pertama yang ia rasakan adalah kebingungan, tempat itu tiba-tiba menjadi sunyi, semua orang menghilang bahkan sabahatnya, Sonya juga tidak ada. Lalu Alviena merasakan ketakutan ketika ia melihat seluas tempat itu hanya berwarna putih yang terlihat seperti sebuah perasaan kehampaan.

"Di mana aku?"

"Mana tamannya?"

"Ke mana semua orang?"

"Di mana kamu Sonya?"

Alviena terus membatin, mulut terus berkomat-kamit seperti mengucapkan sebuah mantra, dan genangan air sudah ada di sudut matanya. Ketika keputus asaan hampir merebut seluruh kesadaran, Alviena melihat secercak warna merah. Awalnya hanya satu, namun terus bertambah hingga menutupi warna putih di sana melingkupi warna merah yang berubah menjadi genangan darah.

"Aku menyukai darah."

Ada suara seperti di dalam kepala Alviena, dan suara itu terdengar seperti suara pria dengan aksen berat ditambah itonasi yang dalam hingga membuatnya terdengar, seperti sebuah ancaman yang membuat bulu kuduk merinding karenanya.

Alviena hampir terjatuh kebelakang, jika saja tidak ada tangan seseorang yang menahan punggungnya.

"Tangan?" Wajah Alviena menjadi pucat basi, walaupun hanya sekilas, dia sempat melihat tangan yang menyentuh punggungnya itu berwarna hitam.

"Hei, jangan takut seperti itu." suara itu lagi tapi kali ini suara tersebut terdengar lebih halus dan tenang.

"Siapa kau?" Alviena memutar tubuhnya, melihat sekeliling berharap dapat menemukan asal suara tersebut.

"Hei, berhenti berputar kau membuatku pusing."

Tidak menemukan apapun di sekitarnya, sekarang Alviena sangat yakin kalau asal suara itu ada di dalam kepalanya.

"Keluar dari dalam kepalaku!" Alviena menggenggam sekuat mungkin kepalanya bahkan menyambak rambutnya sendiri, karena ia yakin dengan melakukan itu dapat mengeluarkan makhluk di dalam kepalanya.

"Jangan menyakiti dirimu sendiri seperti itu."

"Keluar dari kepalaku!"

"Tenanglah! Sepertinya ada yang melakukan ritual untuk memanggilku."

"Ritual, apa maksudmu?" Alviena berhenti dari aktivitas yang menyakiti dirinya sendiri itu. Pandangannya berubah menjadi mendung ketika ia melihat bayangan dirinya di genangan darah berubah menjadi makhluk hitam dengan mata merah bernyala terang.

"Ha, kau benar-benar tidak tau siapa aku? Padahal selama ini kita selalu bersama!"

"Kau dan aku selalu bersama?"

"Aku mengerti." ketika bayang itu melihat Alviena, suara misterius itu dapat mengingat apa yang pernah terjadi.

"Sepertinya anugrah dari Elf itu yang mengunci setengah dari ingatanmu tapi tidak apa-apa karena, sebentar lagi aku akan bangkit."