Maaf Penulis kurang baik dalam menggunakan EYD!!!
"Jadi apa pilihanmu?"
"Iya. Aku ingin tetap hidup, berikan aku kekuatan?" ucap Alviena penuh keyakinan, sinar bola matanya benar-benar tidak menunjukkan keraguan.
Makhluk hitam itu tersenyum makin lebar. "Kalau begitu kuatkan kebencianmu."
"Kebencian?" sahut Alviena polos.
"Ha!" suaranya pelan tapi jelas nadanya seperti orang terkejut. "Setelah apa yang kau lalui. Bahkan melihat sahabatmu mati mengenaskan di depanmu. Kau masih tidak memiliki kebencian?"
Alviena hanya diam, walaupun dia tahu apa yang dimaksud dengan sebuah kebencian, tetapi faktanya dia sama sekali tidak tau seperti apa rasa kebencian itu, yang ia tau hanyalah sebuah ketakutan dan amarah. Lalu apakah amarah tidak bisa disematkan dengan kebencian? Tidak tau, Alviena hanya merasakan kemarahan setiap kali mengingat kematian sahabatnya. Dan jika kemarahan tidak bisa disamakan dengan kebencian, apa yang harus dilakukan Alviena sekarang!
Makhluk hitam yang seluruh tubuhnya tidak kelihatan karena tenggelam dalam kegelapan, tetapi nyala terang matanya dan deretan gigi putihnya memberitahukan di mana posisinya. Sekarang makhluk itu ada di atas seperti terbang, lalu kemudian bermunculan mata-mata merah lainnya dengan deretan gigi putihnya disekeliling kegelapan itu. Sekarang kegelapan itu telah dipenuhi oleh mata merah bernyala dan deretan gigi-gigi putih.
Alviena seketika ketakutan, ketika melihat mata-mata itu menatap tajam ke arahnya, seolah dia adalah hidangan makanan yang lezat.
"Sial! Ternyata anugerah Elf itu cukup kuat untuk menyegel emosimu." suara itu menggema tapi Alviena yakin hanya satu dari ratusan pasang mata itu yang bersuara. "Sepertinya kita harus mengeluarkan anugrah itu dulu dari dalam tubuhmu."
"Anugrah?" Walau ketakutan, Alviena tetap memaksa dirinya untuk bicara.
"Kau sepertinya belum mengetahui, kebenaran tentang dirimu." suara itu seperti deraian angin yang bertiup pelan, mengusik telinga dan hati.
"Kebenaran?" ucap Alviena dengan nada agak tertekan karena situasi yang begitu mencengkam.
"Kau bukan seorang Elf!"
"Apa maksudmu?" Alviena meninggikan suaranya, tiba-tiba saja dia mendapat dorongan untuk membantah ucapan yang barusan keluar dari mulut makhluk hitam di sekelilingnya itu.
"15 tahun lalu, kau tidak sengaja ditemukan oleh suami-istri dari ras Elf..."
"....Wanita tua yang kau anggap sebagai ibu itu, bukanlah ibu kandung aslimu. Kau tidak pernah mempunyai orang tua, kau adalah anak yang terlahir dari, Kemurkaan Alam."
Alviena dapat merasakan jika makhluk hitam itu sedang berjalan mendekatinya, dan perasaannya itu terbukti benar ketika Alviena merasakan sentuhan yang begitu dingin di dagunya, dan secara paksa membuat Alviena mendongak.
Seluruh pasang mata itu berkumpul menjadi satu hingga nampak mata merah bernyala dengan deretan gigi putihnya yang begitu besar, seakan terlihat menggantung di atas langit malam. Itu bukan pemandangan yang indah, Alviena dapat merasakan ketakutan menjalar keseluruh tubuhnya hingga hampir membuatnya jatuh jika saja makhluk hitam itu tidak memancing emosi Alviena.
"Fisikmu mungkin sama seperti Elf, tetapi kau memiliki mata berwarna merah, warna mata yang sangat dibenci oleh ras Elf." Makhluk hitam itu mungkin agak sedikit berlebihan, dia sengaja mengatakan semua itu untuk memancing kebencian Alviena. Tetapi semua yang dikatakannya itu juga adalah kebenaran.
Kebenaran yang tidak akan diterima Alviena begitu saja. Terlihat gadis itu mengeratkan rahangnya, nafas menggebu-gebu karena emosi kemarahan yang membuat hatinya begitu panas.
"Ha? Apa kau buta?" Alviena bersuara keras, jelas terlihat kemarahannya. "Dengan mata sebesar itu apa kau tidak melihat, mata ini." Alviena menunjuk telunjuk jarinya tepat di depan matanya sendiri. "Mataku berwarna biru, bagaimana bisa mata ini berwarna merah?"
"Karena Anugrah Elf itulah yang membuat matamu menjadi berwarna biru." Sosok mata bernyala merah itu tersenyum dengan menunjukkan deretan giginya yang lebih luas lagi. Dia mungkin tidak berhasil memancing kebencian Alviena, tetapi setidaknya luapan emosi barusan telah membuat iris biru cerah gadis itu perlahan menjadi biru gelap. "Tidakah kau sadar, kalau kebanyakkan ras Elf memiliki mata berwarna hijau. Bukankah mata birumu itu saja sudah cukup aneh bagi ras Elf."
Apa yang dikatakan makhluk itu adalah kebenaran. Alviena mengetahuinya. Semua Elf yang dikenalnya memiliki netra berwarna hijau. Ayah, ibunya, dan Sonya juga demikian, bahkan ketika ia bertanya tentang warna matanya yang berbeda itu, mereka selalu mengatakan kalau itu adalah anugrah yang titipkan untuknya. Anugrah dan titipan, dua kata itu seperti menjebol isi kepala Alviena, membuatnya berpikir sedemikian kuat.
Elf terlahir langsung dari anugrah cahaya dewi Agita, bukankah itu berarti anugrah itu bukan titipan. Lalu mengapa ibunya mengatakan kalau anugrahnya adalah sebuah titipan. Apakah itu berarti anugrah dia pemberian dari seseorang!
Pemberian! Jika apa yang dipikirkannya itu benar, jadi siapa yang memberikan anugrah itu kepadanya. Kini Alviena menatap tajam kemakhluk tersebut, menuntut jawaban.
"Kau bilang mata ku berwarna biru, karena anugrah Elf." suara Alviena terdengar pelan namun, penuh penekanan. "Siapa Elf itu?"
"Ayahmu!" Nada suaranya terkesan rendah tapi menghanyutkan. "Anugrah yang ada dalam dirimu itu adalah pemberian dari ayahmu. Hingga membuatnya kehilangan keabadian dan meninggal pada usia tuanya."
Alviena terkesiap, apa yang dikatakan makhluk hitam itu benar-benar tidak dapat dipercaya, tetapi entah menggapa dia merasakan emosinya menggelegak menyakitkan namun, ia berusaha keras agar dapat bicara, berusaha untuk menentang sebuah kebenaran yang datang dari mulut makhluk hitam itu.
"Kau bohong." Alviena dapat merasakan emosinya menggelegak menyakitkan, hatinya seperti terbakar hingga membuatnya bergetar melawan tangis yang hendak mengucur deras. "Ayah ku meninggal karena terkena racun hewan saat berburu bukan karena usianya."
"Apa kau melihat jasad ayahmu saat itu? Kau yakin ayahmu terkena racun saat itu?"
Alviena benar-benar ingat, saat melihat jasad ayahnya yang terkujur kaku. Dia mungkin tidak tau banyak tentang jenis racun, tetapi dilihat secara menyeluruh, Alviena memang tak pernah menemukan adanya bekas gigitan hewan. Lalu sedikit ingatan tentang ayahnya itu, apa bisa menjadi jawaban kalau semua yang dikatakan makhluk hitam itu adalah kebenaran?
"Tapi ibuku bilang kalau ayah meninggal karena terkena racun!"
"Ibumu hanya mengarang semuanya itu, dia hanya ingin menyembunyikan kebenaran tentang dirimu yang bukanlah anak kandung mereka, bahkan bukan dari ras Elf."
TIDAK!!! Alviena menolak untuk percaya, ia terus berusaha menegarkan hatinya, berdiri tanpa ragu, bahkan tidak takut di hadapan makhluk hitam itu.
"Untuk apa aku percaya dengan monster sepertimu."
"Kau benar-benar keras kepala." Mata merah bernyala dan deretan gigi berukuran besar yang menggantung di langit kegelapan itu, tiba-tiba menghilang dan merubah tempat itu menjadi kegelapan yang sempurna.
Dalam kegelapan itu, ada titik cahaya biru yang berasal dari bola mata Alviena, dengan tatapan mata yang begitu tajam tanpa ada keraguan.
"Akan butuh waktu lama untuk mengeluarkan anugrah itu dari dalam tubuhmu...."
".... Untuk sekarang aku akan membantumu dulu, menyingkirkan manusia biadab itu..."
".... Dan dari sekarang panggil aku, Dark!"
***
Lengan yang besar penuh lemak merengkuh pinggang Alviena, kemudian perlahan dia menuruni celana gadis remaja itu hingga sampai lutut kaki, memperlihatkan celana dalam yang menutupi daerah pribadi si gadis.
Pria gempal itu tidak langsung melakukan hal sejauh itu, dia masih menahan nafsunya, karena saat ini pria gempal itu lebih tertarik untuk melumat bibir tipis si gadis. Bibirnya yang besar juga tebal itu perlahan mulai hendak menempel ke bibir si gadis yang ia tindih. Namun, sedetik kemudian Raja gempal itu telah kehilangan kepalanya. Membuat darahnya mengucur deras bak air mancur yang mencurat dari leher yang terpotong.
Cipratan darah itu tak sedikit menetes ke wajah Alviena hingga perlahan membuat gadis itu mulai membuka matanya. Dia langsung duduk tanpa mempermasalahkan buah dadanya yang terlihat dan celana yang melorot. Karena Alviena terbangun bak boneka dengan bola mata berwarna biru gelap tanpa ekspresi apapun, dan ia hanya melihat tenang pada jasad tanpa kepala di depannya, seakan dia sekarang hanyalah raga tanpa nyawa.
"Sudah aku bilangkan! Aku menyukai darah." Makhluk hitam berbentuk bola terbang tak jauh di samping Alviena. Tubuh bulatnya membesar dan mulutnya bergerak ke kanan dan ke kiri, seperti sedang memakan sesuatu. Dan tak lama setelah itu terdengar seperti suara tegukan bersaman dengan darah yang mengalir dari sela-sela deretan giginya, yang perlahan pula mengembalikan bentuk ukurannya menjadi seukuran bola sepak
Dark, lah yang telah memenggal kepala pria gempal itu bahkan memakannya sampai menyisakan darah yang keluar dari sela giginya.
Alviena mulai menampakan ciri-ciri kehidupan. Jemari mungilnya sedikit bergerak, ada sedikit kilat kecil di iris matanya seperti sambaran listrik, dan perlahan warna netranya kembali menjadi biru dibarengi dengan deruan nafas yang terdengar.
"Kau sudah sadar sepenuhnya ya?" ucap Dark.
Alviena langung berdiri terkejut mendapati tubuh tanpa kepala di depannya, cepat pula ia segera membetulkan celananya dan menutupi dadanya dengan lengan.
"Akhirnya dia mati juga." suara itu bergetar dan menakutkan.
Alviena terkesiap, menatap pria paruh baya yang bertelanjang bulat, tubuhnya begitu kurus nyaris seperti tulang yang hanya dibaluti oleh kulit. Dia tertawa keras sambil menendang-nendang mayat tanpa kepala itu.
"Aku kira dia bisa lebih berguna dari ini."
Alviena merasa pria paruh baya itu berbeda dari sebelumnya, karena mata pria itu berubah menjadi warna merah, semua kulit di tubuhnya menghitam, lalu ada sayap besar berwarna merah bernyala muncul dari punggungnya.
"Elf merah." gumam Dark. "Aku tidak menyangka ada manusia yang dapat memelihara Elf merah bahkan sampai membuat mereka besar seukuran manusia." Deretan gigi-gigi putihnya mengerat hingga menimbulkan suara bergemerutuk. "Sisi Kegelapan seperti apa yang bisa membuatnya jadi sebesar itu?"
"Siapa yang memiliki kekuatan sebesar itu?"