Alviena mengambil air dialiran sungai di lorong yang sebelumnya pernah dia lewati, dia membasuh mukanya membersikannya dari bercak darah. Gadis itu hanya membersikan mukanya saja tanpa membersihkan badan dan rambutnya yang masih terwarnai oleh darah.
Alviena mengambil kain putih penutup jendela lalu melilitkanya ketubuh untuk menutupi buah dadanya. Gadis itu masih terus waspada, sesekali dia akan melihat kebelakang kalau saja ada sosok yang mengejarnya. Sementara itu langit mulai terlihat gelap. Alviena mengernyitkan keningnya. Mata biru milik gadis itu berenang ke pandangan di luar jendela. Dia menyembulkan kepalanya di jendela itu, mendongak untuk melihat langit.
Alviena ternganga ketika apa yang dia lihat, tidak jelas itu apa, tetapi itu hampir seperti asap berwarna hitam, dan jumlah mereka sangat banyak terbang ke langit menutupi awan juga sinar matahari, hingga membuat keadaan menjadi gelap seperti malam hari. Pemandangan di jendela itu adalah penggunungan dan hutan, dibalik gunung itu ada banyak asap yang terlihat. Telinga runcing Alviena sayup-sayup mendengar suara teriakan. Ada yang tidak beres di bawah sana.
Memikirkan tentang keadaan ibunya, Alviena segera mungkin kembali berlari. Jalan dia tempuh berbeda dari jalan sebelumnya. Kali ini di memasuki bagian lorong istana lain. Walau begitu Alviena yakin dia tidak akan tersesat, karena walaupun setiap bagian istana terpisah jalan lorong istana menuju keluar tetap akan terhubung.
Ketika Alviena sudah sampai di depan pintu keluar istana Agalta, laju larinya perlahan mulai melambat, dia sedikit meragu ketika telinganya semakin jelas mendengar suara penuh keputus asaan dan teriakan kesakitan. Tanpa sadar hal itu juga membuat Alviena kembali bergetar ketakutan, keringat panas mengucur deras di sela pori-pori tubuhnya, maniknya mulai berkendut, namun Aviena tetap mengerahkan kekuatanya dan terus melangkahkan kakinya untuk keluar dari istana terkutuk itu.
Dan setelah di luar Alviena ingin memuntahkan sesuatu, karena saat dia berada di luar sekarang, dia mencium bau busuk yang begitu menyengat, itu bau dari bunga Arock yang telah hancur. Mulut dan hidungnya ditangkup dengan kedua telapak tangannya, matanya pun melebar.
Halaman istana yang dijadikan tempat pesta telah hancur berantakan, darah ada di mana-mana, merubah warna rerumputan di sana hampir menjadi merah, dan rumah-rumah penduduk habis terbakar oleh kobaran api besar.
Brukk!!!
Ada sesuatu yang jatuh. Pandangan Alviena mengarah ke asal suara itu. Hal pertama yang menyambutnya adalah genangan darah yang mengalir membasahi telapak kaki telanjangnya, dan tak jauh dari posisi berdiri Alviena, ada seorang pria tua tertelungkup bersimpah darah.
Masih tidak terlalu jelas terlihat, karena tertutup oleh bayangan kegelapan yang melintas di atas mereka. Bayangan itu tidak menghiraukan dua manusia di bawahnya, ia hanya lewat begitu saja lalu menyemburkan api yang membakar peradaban di bawahnya. Kobaran api itu memberi penerangan, menampakan jelas rupanya.
"To...Tlo.....Tolong...." ucapnya tersenggal-senggal seraya merangkakkan telepak tangannya yang penuh darah.
Reflek Alviena, sedikit mundur dengan persona terkejutnya ketika melihat wajah sosok pria tua itu hancur berantakkan layaknya tersobek dan tertumbuk-tumbuk. Bola matanya hendak meloncat keluar, rambutnya terwarnai merah, mulut tersobek, kulit terkelupas, namun hebatnya dia masih sanggup bergerak dan bicara. Sampai setelahnya ia menghempuskan nafas terakhir.
Jika itu pertama kalinya Alviena melihat seseorang mati mengenaskan, gadis itu pasti sudah berteriak dan berlari menjauh. Tapi hal yang telah dilaluinya sudah memberi dia banyak kekuatan. Kekuatan yang membuat dia masih sanggup berdiri diam di sana dengan terpaku oleh sosok tubuh yang sudah tak bernyawa itu. Dia menyaksikan bagaimana sebuah cahaya hitam yang membungkus tubuh tak bernyawa itu, lalu mengeluarkan rohnya yang telah terselubung kegelapan terbang menyatu dengan langit.
Semua penduduk yang sudah tak bernyawa mengeluarkan roh-roh yang sama, berwarna hitam terbang menutupi langit dan cahaya matahari. Hingga seisi dunia Synetsa diselimuti oleh kegelapan.
Sisa-sisa kobaran api rumah warga menjadi satu-satunya penerang bagi Alviena yang sedang berusaha menerobos hutan. Bunga-bunga Arock yang banyak tumbuh di kota Agalta telah hangus terbakar hingga menyisakan bau busuk yang membakar indera penciuman. Alviena sama sekali tidak memperdulikannya, dia memacu laju larinya dan terus berdoa agari ibunya masih hidup. Alasan dia bertahan hidup sekarang adalah untuk bertemu dengan ibunya, memenuhi janjinya untuk terus bersama ibunya, dan mendapatkan kebenaran tentang dirinya.
Tanpa disadari Alviena, ada sosok bayangan yang mengejarnya, melesat cepat melewatinya begitu saja, menyisakan deruan angin yang menampar personanya dan mengibarkan rambutnya.
Alviena berhenti tepat di tepi sungai. Matanya menangkap sosok ibunya yang berdiri di luar rumah, Alviena tersenyum lebar ingin memanggil, tetapi suaranya tercekak di tenggorokan seketika melihat ibunya sedang bersama seseorang.
Sosok Kegelapan yang baru melintasinya tadi terbang mengitari di sekitaran rumah mereka. Sosok kegelapan itu menyerupai seekor naga yang menghempaskan nafas panasnya membakar rumah mereka. Dari kobaran api itu, Alviena dapat melihat siapa sosok yang bersama ibunya.
Ibu Alviena sedang berdiri menghadap Arma yang tampak tenang. Tudung jubahnya telah ia singkap, memperlihatkan rambut hitam panjangnya, meskipun wajahnya masih terselubung kegelapan di balik tirai rambutnya yang berjuntai, Alviena bisa melihat bawah iris gelap lelaki itu menampakkan sinar ketidaksukaan. Apa yang dibicarakan ibunya dengan Arma?
Alviena segera berlari menyeberangi jembatan untuk sampai keseberang namun, langkahnya tersendak ketika melihat sebuah pedang menembus jantung ibunya.
Netra Alviena terbelalak melihat ibunya jatuh bersimbah darah. Gadis bersurai hitam itu ingin mendekatinya ibunya, tetapi tertahankan oleh telapak tangan ibunya yang ke depan yang melarang Alviena mendekat.
"Lari Alviena," suara ibunya tersengal tapi ia berusaha tuk tersenyum walau terlihat memilukan. "M...Maafkan Ibu."