Maaf Penulis kurang pandai dalam menggunakan EYD!!!
Di belakang perbukitan ada sebuah hutan yang begitu lebat. Di sanalah sekarang Aden, Sira, kakaknya, dan satu temannya berada. Hutan yang begitu mempesona dengan kegelapan yang melingkupinya, karena daun pepohonan di sana begitu besar hingga membuat cahaya matahari tidak bisa menerobos masuk. Cahaya dari kunang-kunang yang bertaburan di sepenjuru hutanlah yang memberikan penerangan dan bunga Arock yang tumbuh liar juga ikut menerangi kegelapan di hutan.
"Dari sekarang kalian harus diam." ucap Aden seraya menyiapkan panahnya.
Bersembunyi di antara semak-semak adalah hal yang dilakukan ketiga anak itu. Sementara Aden, berdiri di atas dahan pohon dengan busurnya yang sudah siap menembak. Tatapannya begitu tajam dengan tangan kanannya yang menarik tali busur sedikit bergemetar karena kuatnya tarikkan.
Seekor Kijang tampak terlihat santai memakan rerumputan, tetapi Aden belum berani untuk melepaskan anak panahnya. Ketika tiba-tiba angin bertiup kencang hingga membuat sedikit bergerakkan pada Kijang itu, tanpa sengaja Aden melepas tembakannya hingga tepat mengenai tubuh Kijang tersebut.
"Sial." Aden berdecih kesal. Dia sebenarnya mau menembak hewan itu tepat di jantung tetapi, karena angin tersebut tembakkan yang ingin dia arahkan jadi meleset.
"Itu keren kakek." ujar kakak sira. Teman dan adiknya pun memandang takjub pada Aden.
"Boleh kami mencobanya kakek?" tanya teman mereka dengan penuh harap.
Aden tertawa. "Masih terlalu cepat untuk kalian menggunakan senjata."
"Dari pada belajar menggunakan senjata. Apa di antara kalian ada yang mau mencoba sihir penyembuhan, atau kalau kalian bisa, aku ingin melihat apa kalian bisa menggunakan sihir kehidupan."
Para kaum ras Elf terlahir dari anugerah dewi cahaya, Agita. Merupakan sosok dewi yang terkenal akan kecantikannya. Jadi tak heran pula para ras Elf memiliki paras yang cantik dan tampan. Selain dianugerahkan kecantikan dan ketampanan para Elf juga dianugerahi sihir cahaya berupa penyembuhan.
Sihir penyembuhan yang begitu kuat bahkan dapat menghidupkan orang yang telah meninggal. Selama jasad itu masih utuh dan belum menjadi bangkai.
Mereka para Elf juga tidak memakan daging. Mereka hanya memakan tumbuhan dan buah-buahan yang didapat dari alam. Berburu hanyalah untuk melatih kemampuan mereka, lalu ketika mereka selesai maka mereka akan menghidupkannya kembali.
Begitulah sekarang Aden mengajarkan kepada ketiga anak itu sihir kehidupan sebelum mereka siap untuk berburu. Karena mereka masih kecil maka kemampuan sihir mereka belumlah besar, jadi Aden meminta ketiga anak itu untuk duduk melingkari mayat hewan Kijang tersebut. Secara bersamaan mereka merapal sihir. Alunan rapalan sihir mereka terdengar begitu indah hingga membuat cahaya hijau yang begitu benerang pada masing-masing telapak tangan mereka.
Hiduplah!
Rapalan sihir terakhir itu membuat cahaya yang berada di tangan mereka melepas dan masuk ke dalam tubuh Kijang tersebut. Beberapa detik kemudian Kijang itu kembali hidup. Sebelum Kijang itu sempat lari, Aden mencengkram kuat tubuh Kijang itu dan memberikan sebuah tanda di tubuhnya.
Hal itu dilakukan untuk menandai hewan yang pernah dihidupkan, karena sihir kehidupan hanya dapat digunakan satu kali pada jasad yang sama.Tentu ada batasannya!
"Sangat bagus. Aku tidak mengira kalian dapat melakukannya pada percobaan pertama." Puji Aden.
Anak-anak tersenyum bangga karena mendapat pujian tersebut. Namun anehnya Sira, gadis kecil itu sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apapun. Dia hanya terdiam dengan terus memandangi kedua telapak tangannya, tatapannya seperti membeku dengan bola matanya yang menggelap, seolah dia baru saja melihat hal yang mengerikan.
"Sira, ada apa?" tanya sang kakak.
Suara kecil itu berhasil membuat Sira mengangkat pandangannya dari telapak tangannya. "Kak, tadi cahaya yang keluar dari telapak tangan Sira berwarna merah. Tidak seperti kakak yang berwarna hijau."
Mereka mengernyitkan kening, kebingungan, karena yang diucapkan Sira barusan sama sekali tidak jelas. Mereka sendiri melihat kalau cahaya yang keluar dari tangan Sira berwarna hijau. Mengapa Sira bisa mengatakan itu berwarna merah?!
Sang kakak mendekati adiknya, mengelus lembut pucuk kepala adiknya. "Mungkin cuma salah lihat. Kakak sama teman kakak, melihat cahaya hijau kok yang keluar dari tangan Sira." Dia hanya mengucapkan apa yang benar-benar dilihat, walau sebenarnya hatinya sangat mempercayai perkataan adiknya itu.
Aden pun menatap serius, dia sendiri tak dapat menjelaskan. Sama halnya dengan dua anak itu, dia pun hanya melihat cahaya hijau yang keluar dari telapak tangan gadis mungil itu. Tapi perkataan Sira bisa dipercaya, mengingat gadis kecil itu terlahir saat malam dimana bulan sama sekali tidak menunjukkan cahayanya. Hingga dia terlahir dengan tidak menerima anugerah cahaya tapi masih dapat menerima berkah cahaya dari orang tuanya. Berbeda dengan yang terlahir saat siang atau malam ketika bulan menampakkan cahayanya, mereka akan terlahir langsung mendapatkan anugerah cahaya.
Kelahiran seperti itu pun baru pertama kali terjadi, namun bukan berarti itu adalah sebuah masalah. Bagi Elf, selama anak itu tidak memawarisi mata merah dan masih dapat menerima berkah cahaya, maka tidak ada masalah.
Sampai Sira berusia 5 tahun sekarang, gadis kecil itu terlihat hidup normal layaknya anakĀ kecil seusia dia yang terlahir langsung dianugerahi cahaya. Dan anehnya sekarang, gadis kecil itu melihat sesuatu yang dapat dilihatnya, tetapi tidak dapat dilihat oleh orang lain. Apakah itu salah satu tanda dari kelahiran Elf yang tidak langsung menerima cahaya.
"Mau lanjut berburunya." ucap Aden mengalihkan segala pikirannya, dan juga untuk menarik perhatian anak-anak itu agar tidak terlalu khawatir.
"Iya, ayo." ucap temannya lalu menarik lengan kedua adik-kakak itu.
Aden bersyukur teman kakak Sira cukup paham untuk bisa mengubah suasana tadi.
Dalam langkah kaki yang terus bergerak, Aden masih saja kepikiran.
"Dia hanya anak kecil. Semoga saja dia hanya salah lihat." gumam Aden seraya terus mempertahankan keyakinannya.
Sampai langkah kaki mereka tersendak karena melihat Aden yang terdiam.
Para Elf memiliki telinga runcing yang berbeda dari ras lainnya. Dengan telinga runcing itu ras Elf dapat mendengar suara yang jauh bahkan pelan sekalipun.
Begitulah sekarang Ricardo terdiam, telinganya mendengar suara penduduk dari desanya yang penuh amarah dan teriakkan pertolongan.
"Ada apa Kakek?" tanya kakak Sira.
Ketiga anak itu tidak mendengar suara jauh tersebut, karena mereka masih belum mengerti cara memanfaatkan telinga runcing mereka.
"Kalian tetaplah di sini." Karena menyadari situasi, Aden terpaksa berbohong untuk tidak membuat anak-anak itu khawatir. "Kakek mau pergi sebentar dulu mencari hewan. Nanti kalau ketemu kakek akan panggil kalian."
Ketiga anak itu mengangguk.
***
Derai angin menerpa jubah merah yang bergesekan dengan rerumputan yang dilaluinya, membakar setiap rerumputan yang bersentuhan dengan jubah itu.
Kobaran api yang membara tak lantas membuat yang melihatnya panik, sebab mereka semua terdiam oleh rasa takut saat melihat sosok yang berdiri di hadapan mereka.
"Apa Kalian punya Alasan? Hingga tidak pernah Menyembahkanku."
Seketika mereka semua bergematar karena rasa takut yang luar biasa.