Tepat Di belakang Aden, tanpa diketahuinya satu sosok monster menyerangnya.
"Sihir Kemurkaan Alam."
Aliran listrik tercipta dari awan gelap yang menghempaskan sengatan kuat pada musuh yang hendak menyerang.
Aden menoleh kebelakang mencari siapa yang telah menyelamatkannya.
"Kira."
"Kau sangat kacau, Aden." Penyihir Elf tua bernama Kira, menghampiri Aden dengan seulas senyum lebarnya. Mata hijau yang berkilat terang dalam gelap juga rambut panjang putih bergelombangnya yang berkibar begitu mempesona.
Namun, ada yang mengusik ketenangan Kira, ketika ia berada di dekat teman masa kecil sekaligus teman masa tuanya sekarang. Warna hijau matanya begitu kelam dengan tatapan yang begitu bengis penuh amarah tersebut. Sangat tidak nyaman sekali Kira di dekatnya.
"Nah Aden, janganlah kamu tunjukkan tatapan seperti itu pada kaummu sendiri."
Aden mengerutkan keningnya, dia sama sekali tidak paham apa maksud temannya itu.
Kira melirik ke arah Yogo, membuat Aden juga melirik ke arah yang sama.
"Tunjukkanlah tatapan hinamu itu hanya kepada iblis."
"Iblis?"
"Ya, iblis yang telah membunuh tetua dan menghancurkan desa kita."
Aden paham sekarang apa maksud kira. Kemarahanya telah melupakan siapa dia sebenarnya, dia adalah Elf yang telahir dari cahaya. Kemarahan adalah aib bagi Elf, karena emosi kemarahan mendekatkan mereka dengan kegelapan, jika memang harus marah maka hanya pantas ditunjukkan pada iblis.
Kata iblis memang pantas disematkan pada dewa perang, Yogo. Sosok yang begitu agung dalam balutan jubah merahnya masih berdiri diam. Mata keemasannya masih bernyala terang dalam bayangan tudung jubahnya. Bilah katana dipeganganya yang menjutai memberitahukan tajamnya senjata yang dia miliki.
"Aden, apa yang membuatmu ingin melawan dewa terkuat?" Kira memegang erat tongkat sihirnya. Peluh mulai membanjiri wajahnya. Hanya sekilas saja dia melihat mata Yogo, seakan merasakan panasnya api neraka. Perlahan rasa takut mulai menghinggapinya kembali, tubuhnya pun bergetar, jika bukan karena tongkat sihir yang dipegangnya, Kira sudah jatuh terduduk.
"Apa kau takut?" Aksen yang pelan tapi terdengar begitu tegas.
Punggung Aden begitu tegab, kedua kakinya bertumpuan kuat di tanah, tak ada sedikitpun gemetar, bahkan tatapan tajamnya begitu tenang menatap mata keemasan milik Yogo. Tak ada sama sekali rasa sakit yang dia keluhkan dari mulutnya yang selalu tersenyum sombong dihadapan yang maha agung tersebut.
Sosok teman yang dulu sangat dekat dengannya tapi sekarang dia menjadi sosok teman yang jauh berbeda. Kira sekarang sangat berada dekat dengan Aden namun, mengapa dia seperti tidak bisa meraihnya. Seakan Aden telah jauh berada di atas meninggalkan dia yang hanya bisa melihat punggungnya saja.
Kira mendesih kesal. "Apa kau tidak takut?"
"Aku sangat takut tapi aku lebih takut lagi, jika iblis itu membunuh semua ras kita."
Kira tertegun. Perkataan itu memang bukanlah sebuah hiburan tetapi, perkataan Aden telah mengingatkan dia akan suatu hal yaitu, dia yang sudah berumur sangat tua. Walaupun Elf memiliki hidup yang kekal tapi tubuh mereka akan tetap tumbuh seiring bertambahnya umur dunia. Hidup kekal dalam keadaan tumbuh tua bukanlah hal yang menyenangkan dan tentu saja itu juga bukan hal yang mudah.
Kira sekarang menyadari itu, dia yang sudah berumur tua sudah seharusnya mengemban tugas untuk melindungi generasi muda. Dia tidak perlu harus takut. Perlahan Kira kembali mengencangkan urat-urat kakinya hingga membuat dia dapat berdiri begitu kokohnya. Rambutnya kembali berkibar ditiup angin, dan mata hijaunya berkilat penuh semangat.
Mati diusia tua sekarang bukanlah pilihan yang buruk.
Kira tersenyum penuh kesombongan. "Pasukanya lah yang akan sangat merepotkan kita." Dia memasang kuda-kuda mengacungkan tongkatnya yang menciptakan aliran listrik yang berpendar di ujung tongkatnya.
"Andai saja kita juga mempelajari cahaya bukan hanya sebagai penyembuh tapi juga menyerang maka, melawan mayat hidup pasti akan lebih mudah."
"Kalau begitu kita harus bisa melindungi ras Elf, agar kelak mereka dapat mempelajari sihir cahaya jauh lebih baik dari kita."
"Hahaha, Aden, apa kamu bisa membunuhnya?"
"Tidak."
Aden langsung berlari begitu cepatnya. Menghampiri segerombolan mayat hidup yang siap menusuknya. Sepuluh sihir anak panah tercipta melayang di atas bahu kanan Aden. Sihir anak panah itu menembak dengan sendirinya ketika ada musuh yang membahayakan penggunanya.
Tidak hanya ingin tinggal diam, Kira melepaskan beberapa bola listrik yang menghantam keras tubuh pasukan mayat hidup, Yogo. Berkat itu Aden dapat berlari dengan leluasa. Satu-satunya alasan yang membuat dia ingin berlari begitu cepat dan menerobos semua mayat hidup itu adalah untuk mendekati Yogo yang sadaritadi hanya berdiam diri.
Tangan kiri Aden mengengam kuat ujung busurnya, mengayunkan layaknya sebuah pedang yang akan menebas leher. Yogo hanya sedikit saja menggerakkan tangannya yang memegang katana tapi tangan kiri Aden langsung terputus. Sangat cepat, bahkan tak terlihat.
Aden segera mungkin melompat jauh ke belakang. Rasa sakit yang didapatnya tidak sama sekali membuatnya getir. Sisa sihir anak panah yang masih melayang di bahunya melesat cepat ke arah Yogo. Namun, tepat sebelum mengenai Yogo, sihir anak panah itu hancur tak berbekas hanya dengan tatapan keemasannya.
Mengambil belati yang tersimpan di punggung celananya. Aden terlihat seperti orang yang telah kerasukan. Hasrat akan keinginan membunuh telah membuatnya hilang kesadaran, tangan kirinya yang terpotong dengan darah yang terus mengalir benar-benar diabaikannya.
Yogo selalu tersenyum di balik tudung jubahnya. Menikmati setiap tebasan-tebasan belati yang diayunkan oleh seorang pria tua. Serangan yang sangat cepat namun tidak teratur. Begitu mudahnya sekarang jika Yogo, ingin membunuhnya. Akan tetapi, pria bermatakan emas itu membiarkannya hingga seberapa kuat Aden sanggup mengayunkan belatinya.
Angin berkumpul pada belati yang Aden pegang. Serangan berikut dengan gaya menusuk berhasil ditahan Yogo dengan gagang katananya. Bersamaan saat itu juga angin yang melingkupi belati Aden, menembak layaknya sebuah peluru.
Serangan kejutan seperti itu memang tak akan berhasil mengenai Yogo tetapi, deraian angin akibat serangan barusan telah menyimbak tudung jubahnya.
Dewa Yogo, selalu menundukkan kepala dalam tudung jubahnya. Hingga membuat orang-orang tak pernah melihat wajah dari seorang dewa perang. Walaupun ada yang bisa melihat wajah Yogo, sudah sangat dipastikan orang tersebut akan dibunuh saat itu juga.
Banyak penduduk Synetsa berpendapat tentang Yogo yang selalu menundukkan wajah di balik bayang tudung jubahnya. Dari wajah Yogo yang sangat buruk rupa hingga menjadi alasannya selalu mengenakan tudung jubah. Namun, ada juga pendapat lain yang mengatakan kalau wajah Yogo terlalu tampan, sehingga dia selalu mengenakan tudung jubahnya, karena wajah tampannya tidak pantas diperlihatkan dengan mata emas agung dan mengerikan miliknya.
Aden mungkin juga akan menjadi salah satu dari mereka yang bernasib sama setelah melihat wajah Yogo.