Jika dengan tangan kanan kau dapat mengikat takdir, maka dengan tangan kiri kau dapat memutuskan takdir itu.
____________________________________
Aden muncul di sebuah tempat berbatu dengan disuguhi pemandangan bukit kembar yang dikucuri oleh tiga air terjun, dan bunga-bunga bermekaran di sekitar danau kecil tempat air terjun itu jatuh.
Dia berada di mana?
Dengan pelan dan hati-hati, Aden melangkahkan kaki, sambil sesekali melihat pemandangan disekitaran sana. Ketika burung Syafir, burung kecil dengan bulunya yang putih bersih dan surainya berwarna biru yang panjang berkepakan di sekitarnya, membuat pria tua itu terhenti melongo, sebab burung Syafir adalah burung yang hanya bisa ditemukan dipembatas alam Akhirat, tempat orang meninggal berada sebelum pergi ke alam akhirat. Dan dapat melihat burung itu sekarang tentu membuat Aden bertanya-tanya.
Sekarang anehnya dia melihat hutan dengan pepohonan rimbun yang tumbuh saling berdekatan dan daun-daunnya pun berwarna hijau segar. Pepohonan itu membentang di pinggiran aliran sungai, airnya jernih yang memperlihatkan makhluk-makhluk kecil yang berenang dengan gesit. Hewan lainnya pun mulai bermunculan dari balik semak-semak dan pepohonan. Anehnya semua hewan di sana baru pertama kali Aden melihatnya.
Cerahnya hari yang menerangi lantas membuat Aden keheranan. Dahinya yang keriput tampak semakin keriput ketika dia mengerutkan dahinya. Sebab apa yang dia lihat sangat tidak masuk akal, di siang hari yang cerah membentang langit gelap dengan cahaya kecil yang indah bertaburan begitu banyak.
Satu hal yang diyakini, ini bukan di dunia tempat ia tinggal. Tapi di mana?
Tiba-tiba saja terlintas di benaknya yang membuat Aden terlonjak dengan mulut terbuka.
Aden memandangi dirinya di air jernih itu yang memantulkan bayangannya. Terusan tanpa lengan sepanjang kakinya, kulit bersih dan beraroma harum dengan cahaya mengitari dirinya.
"Aku ada di pembatas Alam Akhirat." Pria tua itu baru mengingatnya sekarang, dia telah dibunuh oleh dewa perang.
Aden menegakkan kepalanya, menikmati helaian angin yang menerpanya, pandanganya begitu terpesona dengan air terjun di sana. Suara gemuruh jatuh airnya seakan menghipnotis untuk berendam di air yang jernih itu. Aden pasti akan menikmatinya, andai saja jika dia tidak punya penyesalan dihidup terakhirnya.
"Semua ras Elf telah dimusnakan dari peradaban dunia Synetsa. Satu pun tidak ada yang berhasil aku selamatkan." gumamnya lirih penuh penyesalan.
Sekarang bagaimana emosi menggebu, membuat air matanya mengalir membasahi wajah keriputnya, tetapi Aden mengeratkan rahangnya dan mengepalkan tangannya dengan tatapan bola mata yang terasa sangat menusuk.
"Kau seharusnya tidak perlu menunjukkan emosi seperti itu saat berada di sini."
Asal suara itu berasal dari dalam hutan di depan, di sebrang aliran sungai itu. Suara langkah kaki di sana semakin jelas terdengar sampai 'Sraak', semak-semak di sana tersibak. Seorang pria tua yang juga memakai terusan sama seperti Aden, di seberang sana dia tersenyum hangat.
"Ricardo." ucap Aden tak percaya. Dia gelagaban, berputar-putar sambil terus bergumam. "Aku sudah matikan? Dan ini di pembatas Alam Akhirat. Kenapa ada Ricardo di sini?"
Hanya ada satu jawaban untuk itu. Aden langsung menatap serius pria di seberang sana. "Kau juga sudah mati?"
Ketika pertanyaan itu terlontar. Bibir Ricardo yang terkatup rapat saat itu, langsung terbuka. Dia terkekeh kecil lantas berucap, "Bukankah itu pertanyaan yang harus aku tanyakan juga?"
Kemudian mereka berdua saling tertawa, membuat ikan-ikan yang berenang tenang bersembunyi dibebatuan di aliran sungai yang menjadi pembatas bagi mereka untuk saling berjabat tangan. Saling sapa dengan sebuah senyuman hangat sudah menjadi hal terbaik bagi pertemuan mereka yang tak disangka itu.
"Sejak kapan kau Meninggal?" tanya Aden.
"Lima tahun setelah aku memberikan anugerahku."
"Kamu serius? Padahal selama ini aku selalu berlatih. Agar saat kita bertemu nanti aku bisa menang dari duel yang biasa kita lakukan. Tapi siapa sangka kita malah bertemu pada saat kita sama-sama meninggal, bahkan pertemuan kita terhalat oleh aliran sungai."
Mereka berdua jelas masih sangat tertawa, bicara tentang apa yang telah dilalui hingga bisa berada di tempat yang disebut pembatas alam akhirat. Sampai Ricardo menanyakan tentang perkataan yang pertama kali.
"Apa yang mengganggumu sampai menunjukkan emosi yang mengerikan itu ditempat suci ini?"
Pertanyaan itu lantas membuat Aden berhenti tertawa. Senyum dibibirnya berubah menjadi garis lurus dan tatapannya seakan menusuk, tetapi tersirat kesedihan sekaligus penyesalan.
"Ras Elf sudah tidak ada lagi di dunia Synetsa."
Perkataan itu bagaikan pukulan kuat yang menghantam dadanya dan mengguncang segala nalar dalam pikiran Ricardo.
Teringat dengan Istrinya dan anak perempuan yang mereka temukan di hutan.
Dia gigit bibirnya kuat-kuat, menahan emosi yang hendak meluap. Sampai lagi sebuah suara terdengar.
"Tidak semuanya. Anak itu masih hidup, Alviena dia masih hidup."
Itu suara dari seorang wanita tua, dan suara itu sangat dekat dengannya. Ricardo menoleh ke sampingnya, di sana ada seorang wanita tua yang masih memancarkan kecantikan. Ricardo benar-benar terpana pada sosok di hadapannya sekarang. Terusan putih tanpa lengan sepanjang lutut, rambut hitam sebahu mengembang berterbangan dihelai angin, dan sebuah mahkota dari untaian bunga-bunga kecil primrose tersemat di kepalanya.
Wanita tua itu tersenyum lembut kepada Ricardo, dan kemudian sapaan itu terdengar lagi, dengan nada tak kalah lembut dari senyumannya.
"Kita bertemu lagi, Ricardo."
Senyum lebar penuh kasih itu, membuat hati Ricardo dibanjiri emosi yang tak terkendali. Emosi itu.... Adalah rasa rindu. Rasa rindu yang meluap-luap hingga air mata Ricardo mengalir tanpa disadari. Wanita itu pun menatap Ricardo dengan tatapan yang sama.
Lalu bibir Ricardo terbuka, sebuah panggilan lembut keluar dari bibirnya.
"Istriku...." ujarnya, memeluk istirnya dengan berjuta haru.
"Jadi kamu sudah meninggal?" gumamnya pelan, pria tua itu memeluk istrinya, pelukan yang kuat tapi begitu lembut. "Kalau kamu sudah meninggal, itu berarti anugerahku sudah menghilang dalam diri Alviena, dia akan kembali kedalam kegelapan."
Istri Ricardo menggelengkan kepala, lalu merenggangkan sedikit jaraknya untuk menatap iris hijau suaminya.
"Aku selalu percaya, Alviena pasti dapat mengalahkan kegelapan dalam dirinya. Tapi saat ini kegelapan mungkin telah berhasil merebut jiwanya, tetapi tidak dengan hatinya. Anak itu, anak yang kita temukan dan kita rawat, dia telah tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Mungkin sekarang dia sendirian tapi aku yakin dia akan menemukan seseorang. Seorang teman yang akan menuntunnya kepada cahaya. Lalu jika seorang itu laki-laki dan mereka menikah." Istri Ricardo tersenyum sambil sesekali terkekeh membayangkan Alviena kelak menjadi seorang ibu.
"Bukankah ras Elf akan ada lagi kelak."
"Kau bahkan tidak tahu. Apa laki-laki itu baik atau tidak untuk Alviena." Ricardo menanggapinya dengan senyum juga tawa.
Sementara Aden hanya terdiam melihat sebuah drama pertemuan itu. Tetapi dia sendiri tersenyum, dia sangat bahagia saat melihat kedua insan itu saling berbagi senyum hangat. Sampai Aden juga merasakan sosok lain ada di sampingnya.
"Tetua?" ujarnya terkejut melihat seorang kakek di sampingnya yang tersenyum melihat dua orang di seberang sana.
"Bahkan saat kita semua sudah tiada, kita masih bisa berkumpul." Tetua melirik ke arah Aden. "Tidak hanya Alviena, masih ada satu lagi ras Elf yang masih hidup."
Perkataan tetua berhasil membuat Aden mengalihkan perhatiannya. Sekarang dia hanya terfokus dengan kakek tua di sampingnya.
Aden, masih menunggu tetua untuk bicara.
"Sira, gadis yang terlahir saat cahaya tidak ada, dia masih hidup."
Aden sungguh bahagia mendengar itu, tetapi tentu dia masih penasaran, kenapa tetua tahu kalau Sira masih hidup?
"Ada yang aku sembunyikan selama ini tentang Sira." Tetua mengajak Aden untuk berjalan, meninggalkan Ricardo dan Istrinya.
Tetua dan Aden berjalan di jalan setapak bebatuan yang mengarahkan mereka ketepian danau kecil yang dikucuri oleh tiga air terjun. Mereka berdiri sejajar ke samping, saling memandang air yang jernih memantulkan bayangan mereka.
"Kelahiran Sira yang tidak biasa itu sebenarnya telah mengundang salah satu Penguasa Kegelapan. Sira telah dipilih sebagai salah satu kandidat Penguasa Kegelapan, tetapi beruntung Sira masih dapat menerima berkah dari cahaya. Sosok Penguasa Kegelapan itu belum pernah berhasil menyentuh Sira, namun sekarang di kegelapan yang telah menutupi seluruh cahaya di dunia Synetsa, bukan tidak mungkin jika Sira telah bertemu dengan Penguasa Kegelapan itu."
Aden terkejut mendengar pernyataan itu, wajahnya yang pucat tampak tak mengenakan dilihat. Bibirnya pun bergetar, tak menyiratkan kepercayaan pada objek yang terpantul di air jernih itu.
"Maksud tetua, Sira telah jatuh dalam kegelapan?"
"Keadaan negara kita yang kacau, juga teman, dan orang tuanya yang dibunuh di hadapannya, telah membuat dia merasakan kebencian, hingga dengan mudahnya Sira menerima Penguasa Kegelapan dalam dirinya." Kalimat itu, entah mengapa dapat diucapkan tetua dengan senyuman. "Tapi aku yakin Sira, tidak mungkin membiarkan jiwanya ikut jatuh dalam kegelapan."
Aden nampak diam tapi jelas dia terlihat menahan emosi. Sepasang iris hijau di matanya memandang dengan sorot tajam pada bayangan dirinya sendiri. Sorot tajamnya bahkan untuk sesaat terasa menggetarkan nyali, namun tak lama semua itu memudar, ketika tetua Elf kembali bicara.
"Kita hanya perlu menunggu, sampai cahaya kembali menyinari dunia Synetsa. Saat itu terjadi, aku yakin Sira, akan kembali menjadi seorang Elf yang diberkahi cahaya."
Wajah keras Aden yang tadi telah melunak, dan tatapannya pun berubah bersahabat. Apa yang dikatakan tetuanya tadi, telah memberikan harapan.
"Setidaknya ras Elf masih punya kesempatan untuk kembali membangun peradaban di dunia Synetsa."
Kemudian ratusan Elf bermunculan di sana, mereka membaur bersama lalu menjadi cahaya benerang yang melintasi alam semesta.
***
Elf merah terbang mengitari seorang gadis yang hanya diam terduduk. Dia bersandar pada batang pohon, sekujur tubuhnya begitu kotor dan lusuh.
300 tahun berlalu, benua Azella telah ditumbuhi dengan pohon-pohon besar dan tinggi, hingga menjadi sebuah hutan lebat yang membentang di seluas benua Azella.
Kegelapan yang menyebar di dunia Synetsa telah melahirkan berbagai monster, bahkan para Elf merah dapat ditemukan dengan mudah diberbagai tempat. Akan tetapi, kehadiran Elf merah sendiri dikegelapan sekarang bagaikan secercah cahaya, sebab nyala merah di sayap mereka dapat membuat penerangan untuk menerobos hutan yang gelap.
Dan di antara salah satu pohon, di mana ada seorang gadis remaja telah duduk bersandar terdapat ribuan Elf merah yang bertaburan, hingga membuat tempat itu disuguhi oleh cahaya merah benerang. Kemunculan ribuan Elf merah di sana bukan hanya karena kegelapan tapi karena juga sosok gadis itu. Dia mempunyai sisi kegelapan yang begitu kuat hingga membuat para Elf merah sangat tertarik padanya.
Gadis itu adalah Alviena. 300 tahun berlalu tapi dia masih nampak seperti seorang gadis remaja berusia 18 tahun. Hanya saja semua tentang dirinya telah berubah. Pandangan bola mata kosong yang seolah tak akan berkedip sedikitpun, hanya memandang lurus dengan sorot tatapan tajam, bahkan ekspresinya begitu kaku seperti boneka.
"Khusima Haru...."
"Jangan gegabah, kita tidak tahu dia manusia atau makhluk jadi-jadian."
"Maksudmu Seperti Emmy."
Tiba-tiba ada suara memecah keheningan di hutan itu. Suara itu saling bersahutan, bergema, dan terdengar begitu dekat. Perlahan leher jenjang Alviena berputar menoleh ke arah yang ia yakini disitu asal suara gaduh itu.
"Aku ragu jika dia memang manusia. Lihat para Elf merah itu berkumpul di dekatnya. Kau tahu para Elf merah hanya mendekati manusia yang mempunyai sisi kegelapan. Dan melihat banyaknya Elf merah di sekitarnya, apa kamu masih bisa bilang dia manusia?"
"Kalau begitu tembak saja."
Iris merah Alviena bernyala terang membaur bersama cahaya merah dari sayap Elf merah. Dari matanya, Alviena bisa melihat ada tiga orang di sana, salah satu dari mereka mengeluarkan senjata aneh yang baru pertama kali Alviena lihat, dan sepertinya senjata itu terarah padanya.
"Mari lihat apa Sniper ini bisa membunuhnya dengan satu tembakan."
Saat timah panas itu melesat cepat. Dari atas, ada seseorang yang terbang melesat begitu cepat dan menikuk kebawah dengan menciptakan perisai kecil yang menahan peluru itu.
Alviena dapat melihat sosok yang menolongnya itu. Di punggungnya ada sepasang sayap berwarna-warni dengan serpihan cahaya yang berguguran indah penuh warna. Mengembang perlahan begitu elok di sekelilingnya.
Keindahan yang sungguh menggetarkan dada. Entah karena selama ini hanya selalu melihat cahaya warna merah, atau kegelapan dalam dirinya yang telah melupakannya akan keindahan dunia. Tapi kini Alviena tahu, sosok di depannya itu adalah seorang perempuan.
Samar-samar ketakutan mulai meremangkan kulit. Menatap menyeluruh sosok yang begitu indah sebagai perwujudan makhluk yang tidak dia tahu. Ras apa yang memiliki sayap penuh warna warni itu. Ketidaktahuan itulah yang membuat Alviena bersikap waspada, tetapi aura yang terpancar di sekitaran gadis itu begitu terasa nyaman, perasaannya mampu menghangatkan. Rasa yang mampu membuat Alviena tenang dan merasa nyaman di dekatnya. Seakan perempuan itu adalah cahaya kehidupan dan harapan di era kegelapan sekarang ini.
Perempuan itu menoleh pada Alviena. Bola mata merah mudanya begitu cerah senada dengan warna rambutnya. Bibirnya pun mengunjing senyum bersahabat sampai bibir kecil berwarna pink cerah itu terbuka dan mengucapkan sebuah kata, kata yang mengingatkan Alviena ketika dia mempunyai seorang sahabat.
"Kamu baik-baik saja?"