Di dunia Synetsa, terdapat empat benua, Azella, Athea, Pearlice, dan Bumi.
Di benua Azella, dihuni oleh ras-ras yang memiliki kemampuan bertahan hidup kuat, seperti Copelion, Kurcaci, Kuma, dan bangsa manusia. Di benua Pearlice, di mana iklimnya selalu berhawa dingin dan bersalju, Ras yang hanya dapat bertahan hidup di benua Pearlice, hanyalah berjumlah dua, yaitu Edavender dan Phonex.
Bangsa Edavender memiliki kemampuan yang melebihi para dewa, hingga mereka sering dikenal sebagai Penakluk Dewa. Sedangkan bangsa Phonex adalah bangsa yang diyakini yang telah menciptakan matahari, sekaligus orang tua dari dewa perang, Yogo. Keberadaan bangsa Phonex masih sangat diragukan, tetapi beberapa orang yang pernah ke Pearlice, pernah melihat sebuah jejak yang diyakini milik dari ras Phonex. Memang masih banyak yang meragukan tapi tak sedikit juga yang mempercayai, kalau ras Phonex hidup disalah satu tempat dibenua Pearlice.
Ada pula Benua yang hanya di isi oleh makhluk immortal, Benua Athea.
Dan benua Bumi adalah satu-satunya benua yang tidak bisa di datangi oleh ras lain kecuali manusia. Sebab satu-satunya cara untuk ke benua Bumi adalah dengan jalur laut. Dan diluasnya samudera itu, tidak akan mudah menemukan benua Bumi. Karena sihir tidak akan berguna. Sebab benua bumi di batasi oleh Red Line. Saat memasuki garis itu semua sihir tidak akan berfungsi lagi. Satu-satunya cara untuk dapat menemukan benua Bumi, di luas samudera dengan menggunakan alat yang di sembut kompas dan alat lainnya hanya bisa di buat oleh manusia, karena itu lah tidak ada ras lain yang bisa ke benua Bumi, bahkan ras dewa sekalipun.
Namun diera kegelapan sekarang, semua benua telah berkerja sama. Anak-anak muda dari semua ras mewakili berkumpul di benua Bumi, untuk melakukan pelatihan disekolah bernama Klira Akademi.Benua bumi dipilih sebagai tempat pelatihan anak muda juga menjadi tempat perkumpulan bagi semua ras di empat benua, karena di benua Bumi masih aman dari monster juga matahari masih bersinar terik walaupun malam tak pernah lagi terlihat di benua itu.
***
Kilatan cahaya yang berulang kali tergores di langit gelap. Suara gemuruh guntur dan ombak, menjadi saksi bisu perjuangan kapal yang melaju ditengah laut.
Kapal yang melaju dengan tenaga dua mesin bolak-balik berukuran besar, di dorong tenaga uap yang dihasilkan dari 24 ketel, 19 di antaranya berujung ganda dan 5 berujung tunggal, yang terdiri dari 146 tungku secara keseluruhan mampu menampung 45 ton air.
Ketel itu dipanaskan oleh pembakaran batu bara. Namun, juru api yang harusnya bertugas melakukan pembakaran sedang tidak ada ditempat. Badai yang besar dan ombat yang tak kalah besarnya, ditambah curah hujan yang sangat lebat membuat perjalanan kapal menggunakan mesin sangat berbahaya. Jadi seluruh awak kapal dan para murid bertugas untuk membentangkan layar.
Kapal itu juga memiliki sistem layar pinisi yang memiliki layar tujuh hingga delapan pada dua tiang, di atur dengan yang cara mirip dengan sekunar, berbaris di sepanjang garis tengah dari lambung pada dua tiang, dan tiang yang ada di buritan kapal agak lebih pendek dari tiang yang ada di haluan.
Di atas dek kapal, sekarang seluruh murid laki-laki sedang berusaha menarik tali untuk membentangkan layar. Sementara di Haluan kapal, Laxus berdiri di sana, matanya begitu tajam menusuk terarah pada luasnya samudera. Kilatan cahaya yang terus tergores di langit gelap memperlihatkan bagaimana lelaki itu berdiri dengan wajah yang begitu keras dan dagu mengongak.
"Laxus, bisakan kau berhenti berdiri di sana? Cepat bantu kami." ujar seorang pria gemuk.
Badannya memang gemuk tapi lengan-lengannya penuh otot dan bukannya lemak. Dia juga sedang berusaha mempertahan tali yang membentangkan layar agar tidak putus.
Laxus hanya diam, ia masih begitu fokus menatap di depannya. Ombak besar kandang menghantam tubuhnya yang berada di haluan itu, tetapi biar seberapa besar dan kuat pun ombak yang menghantammya, sama sekali tidak membuat pria berkepala plontos itu tergeming dari posisnya berdirinya. Dia sudah seperti patung yang berdiri begitu kokoh.
"Nah pak tua, apa kau tau tentang seekor naga yang hidup di laut?" ucap Laxus.
"Aku memang pernah dengar ada Naga air yang hidup di luatan tapi aku tak mengharapkan bertemu dengannya sekarang." Tampak ekspresi kesal dari wajah pria gendut berotot itu, dengan satu tarikkan kuat, layar langsung membentang bersamaan ombat besar menghantam kapal. Membuat kapal itu terangkat dari atas laut kemudian jatuh keras yang membuat guncangan kuat.
Menakjubkannya, Laxus masih dapat beridri kokoh di haluan kapal namun, ekspresinya sama sekali tak mengenakkan untuk di lihat. Dengan tatapan tajam yang seakan mengintimidasi orang-orang yang menatapnya, Laxus berjalan ke anjungan kapal dan berdiri di samping nakhoda
"Putar ke kiri." suara berat, benar-benar mengintimidasi hingga membuat pengemudi itu langsung melakukan perintahnya.
"Apa yang kau lakukan? Arah berlawanan, ini hanya akan memperlambat perjalanan." Teriak kakek gendut berotot itu.
"Apa matamu juga sudah terlalu tua untuk tidak dapat melihat di depanmu itu."
Kakek itu langsung memperhatikan di depanya, seketika matanya melebar sempurna saat melihat apa yang ada di depannya, tubuhnya bergetar lalu tanpa sadar mulutnya berucap.
"Leviathan."
"Leviathan, bukankah Naga itu hanya ada di laut merah." Ankor Helger, dia sejak tadi berada di atas tiang layar. Dia terjun.
Leviathan naga laut yang memiliki fisik seperti ular. Begitu panjang dan besar dengan sisik tajam melingkupi seluruh tubuhnya.
"Aku tak pernah dengan naga menyerang manusia. Aku harap itu benar." ucap pengemudi.
Laxus yang mendengar itu menyahuti, "Sayang sekali dunia ini sudah berubah. Lagi pula aku tak pernah mempercayai iblis."
Ekor leviathan menghantam badan kapal, membuat kapal itu kembali terombang-ambing.
Kakek berotot itu dengan beberapa kru kapalnya mengeluarkan meriam juga senapan lainya.
"Apa yang kau lakukan orang tua?" geram Laxus, melihat kakek itu yang hendak menyerang leviathan.
"Sebagai seorang pelaut, membunuh iblis laut adalah sebuah kehormatan tinggi."
"Anak-anak, siapkan amunisi." tanpa memperdulikan Laxus, kakek tua itu langsung melakukan rencananya. "Tembak."
Tembakan itu memng berhasil mengenai Leviathan, tetapi hasilnya sama sekali tidak melukainya, bahkan tergores saja tidak.
"Inilah kenapa aku membenci orang tua itu." Laxus langsung kembali berjalan ke deck. "Jalan terus sampai Kabut Merah."
Karena saking takutnya, nakhoda itu langsung cepat mengiyakannya, walaupun dia tidak tahu di mana Kabut Merah itu.
"Ciih" desih kakek berotot.
"Bagaimana apa kau sudah sadar pak tua." Langsung menghampiri kakek itu. "Yang kau lawan sekarang bukan monster biasa, melainkan iblis terkuat diempat benua dunia ini."
"Apa kamu punya rencana?"
"Ya, berharaplah angin terus seperti ini. Jika kita bisa mencapai Kabut Merah, kita akan selamat. Leviathan tidak akan berani memasuki kabut merah."
"Kau memperpanjang perjalanan Laxus." pasrah kakek itu, dia sudah bingung untuk melakukan apa dan terpaksa mengikuti rencana Laxus.
"Laxus, bukankah kau bisa mengalah iblis itu." Ankor langsung bicara ketika dia tiba di depan Laxus.
"Iya, jika kita bisa mendekatinya aku akan dapat mengalahkannya.
"Kalau gitu tunggu apa lagi, ayo pak tua kita mendekat..."
Sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, Laxus kembali bicara.
"Tapi kemungkinan kapal ini juga akan ikut hancur." tutur Laxus, yang langsung mendapatkan ekspresi super kaget dari Ankor.
"Sama saja mati itu." Teriak kesal Ankor, "Pak tua bukankah akan lebih cepat kalau sekarang kita menggunakan mesin."
"Maaf, aku baru saja dapat kabar dari anak buahku. Ada beberapa bagian mesin yang rusak. Untuk sekarang kita hanyar perlu berharap pada angin."
perkataan itu sukses membuat Ankor menjadi pucat basi
"Apa selanjutnya ada yang lebih parah dari ini."
"Sebaiknya kau suruh cepat anak buahmu memperbaiki mesin itu pak tua. Setelah kita sampai di Kabut Merah, angin tidak akan ada lagi di sana." Laxus sangat serius sekali saat mengatakan hal itu, hingga membuat kakek berotot itu dan Ankor menjadi ikut tegang.
"Aku tidak ingin bertemu dua iblis dalam satu hari..."
".... Kabut Merah itu tempat sang monster legendaris, Kraken hidup."