Chereads / Penguasa Kegelapan / Chapter 30 - Tidak Sendirian Lagi

Chapter 30 - Tidak Sendirian Lagi

Dari diam duduk yang meringkuk itu, Alviena melihatnya dari pandangan yang sedikit dia angkat, sepasang sayap warna-warni yang begitu indah, lalu sebuah sapaan yang tak kalah mengejukannya dari kehadiran sepasang sayap itu terdengar.

"Kamu tidak apa-apa?"

Alviena merasakan emosinya menggelegak menyakitkan. Perempuan yang berada di depannya mengingatkan dia pada seorang sahabat yang sudah berusaha ia lupakan selama 300 tahun. Melihat kehadiran perempuan itu dengan seutus senyum, dan sebuah kata yang mengingatkannya pada kehidupan dulu, pada orang-orang yang terus memperhatikannnya membuat Alviena, merasakan emosi yang bercampur-campur. Emosi itu adalah kebahagian juga kemarahan.

Walaupun begitu. Alviena jelas tidak sama sekali melihatkan ekspresi yang menyiratkan emosinya. Wajahnya nampak tenang dengan tatapan mata yang begitu tajam, tak ada ekspresi layaknya sebuah boneka.

Rika berjalan hendak mendekati gadis bernetra merah di hadapannya, tetapi langkahnya terhenti saat melihat ujung katana yang begitu tajam tepat di matanya. Namun Rika, sama sekali tidak gentir, dia paham maksud gadis di depannya itu mengacungkan senjatanya, itu seperti sebuah perkataan tidak langsung yang menyiratkan perkataan seperti, 'berhenti jangan dekati aku.' Memang hanya sebuah tebakkan, tetapi Rika berani mengambil resiko. Dia terus saja berjalan, mengaibaikan ujung katana di depannya juga tatapan menususk dari gadis bersurai hitam dan merah di hadapannya.

Benar saja tebakkan Rika, gadis bernetra merah itu sama sekali tidak menyerangnya. Hingga gadis yang memakai terusan selutut itu berada dekat dengan Alviena. Rika mengulurkan tangannya ke depan.

"Aku Rika. Kau tidak perlu takut, aku manusia sama sepertimu." Dia tersenyum, berusaha membuat gadis di depannya itu mengerti kalau dia bukanlah ancaman.

"Kenapa?" tanya Alviena. Suaranya terdengar tenang dan halus bagaikan semilar angin dingin yang mendera telinga.

Rika tersenyum, walau wajah gadis itu tak berekspresi layaknya boneka, setidaknya gadis itu masih bisa mengeluarkan suara. Hal itulah yang membuat Rika senang. Setidaknya dia tidak benar-benar bicara dengan boneka sungguhan. Pikir Rika

Haru yang sejak dari tadi memperhatikan di balik pohon, seakan melihat keindahan yang menggetarkan dada. Wajah cerah gadis itu yang penuh ketenangan, juga bibir kecilnya yang hanya terus tertutup rapat tanpa ada senyum, dan bola mata merah gelapnya yang selalu menatap tajam itu, seperti telah menghipnotis Haru.

"Gila." Haru menyematkan kata-kata itu untuk dirinya sendiri. "Bagaimana mungkin aku bisa jatuh cinta hanya dengan pandangan pertama. Bahkan aku sama sekali tidak mengenal gadis itu." gerutu Haru terus dalam Hati.

Semantara itu Rika masih terus mengulurkan tangannya, menanti sambutan tangan dari gadis di hadapannya. Tapi sepertinya gadis itu tidak akan mau menggerakkan tangannya, karena gadis itu dari tadi hanya diam dengan tampang bak boneka. Dengan terpaksa, Rika memengang tangan gadis itu lalu memaksanya untuk menjabat tangan Rika. Seulus senyum kembali terukir dibibir tipis Rika.

Alviena tentu terkejut, walaupun dia tak menampakan ekspresinya.

"Kenapa?" Lagi, pertanyaan yang sama lagi di lontarkan Alviena.

"Kau seorang gadis. Tidak baik seorang gadis berada di dalam hutan sendirian apalagi dengan tubuh dan pakaian terbuka seperti itu." terang Rika, mendeskripsikan tentang diri gadis di hadapannya itu.

"Rika, kenapa kamu menggangguku?" ucap Ankor. Dia baru saja datang tapi langsung menggebrak Rika, tetapi sayang niatnya yang ingin marah terhenti saat melihat nyalang mata Rika, hingga membuat Ankor bungkam berkeringat dingin.

Emmy turun dari terbangnya. "Jarang sekali aku melihat kamu mengeluarkan sayap itu, Rika."

Bagaimana pun saat ini sayap warna warni di punggung Rika, tak pernah lepas dari pandangan teman-temannya, terutama Alviena yang sepertinya sangat menyukai warna dari sayap itu tapi ekspresinya sama sekali tidak bisa di baca.

"Ankor terlalu keras kepala. Sebab itu aku menggunakan sayap ini untuk menyelamatkan gadis ini." terang Rika.

"Setidaknya kau bisa jelaskan kenapa menyelamatkan dia?" kata Haru, dia keluar dari balik pohon dan berdiri di samping Ankor.

"Bukankah sudah aku katakan, seorang gadis tidak boleh berada di hutan sendiri."

"Apa makudmu?" kali ini Ankor yang mewakili.

Saat Rika ingin bersuara. Ada suara yang menggema nyaring.

"Seluruh murid yang mengikuti Ekspedisi, harap segera keluar dari hutan. Kita akan segera pulang."

Suara itu membuat Alviena, langsung membusungkan katananya lagi yang ada di genggaman tangan kirinya.

"Kau ingin bertarung." ucap Ankor, pistolnya sudah terarah di kepala Alviena.

"Ankor hentikan." Pekik Rika nyaring.

"Ada apa? Kau tidak lihat ia ingin menyerangmu."

"Dia pasti hanya terkejut mendengar suara gema tadi." Rika kali ini kembali fokus pada gadis di depannya. Tangan mereka masih bersalaman dan Rika terlihat seperti tidak mau melepaskan ganggaman tangannya.

"Kamu tidak perlu khawatir. Suara barusan, suara teman kami. Kamu sendirian kan, di sini? Bagaimana kalau kamu ikut kami, ke Bumi."

"Tunggu Rika, apa maksudmu?" ucap Haru.

"Sudah tiga hari dan kita belum mendapatkan hasil ekspedisi."

"Jadi maksudmu, gadis itu bisa kita jadikan sebahai hasil ekspedisi kita?" ucap Ankor.

"Tentu saja tidak bodoh. Dia manusia bukan barang ataupun hewan langka. Kita hanya menjadikannya sebagai alasan. Seperti kita tidak bisa menyelesaikan ekspedisi, karena menyelamatkan gadis ini, dan tentu alasan lainnya aku ingin membawa gadis ini ke Bumi."

"Ha??".serentak teman-temannya terkejut.

Alviena masih diam, membiarkan tangan gadis bersurai pink itu terus menggenggam tangannya. Alviena diam bukan karena dirinya yang seperti boneka, tetapi karena dia sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakan orang-orang itu.

"Rika, kenapa kau ingin membawanya? Kau bahkan tidak mengenalnya, terlebih dia membawa senjata. Bahkan Elf merah sepertinya tertarik dengannya. Apa kau tidak takut?" Ungkap Emmy.

"Takut? Bagiku dia terlihat seperti gadis biasa yang sangat polos." Sekarang Rika tidak lagi memperhatikan ketiga temannya. Kini dia kembali fokus pada gadis yang tangannya masih dia genggam. Rika dapat melihat sekilas, saat angin menghela rambut panjang gadis bernetra merah itu, Rika melihat telinga runcing khas milik bangsa Elf.

"Apa selama 300 tahun kamu sendirian di sini?"

Alviena tercengang, ada sedikit ekspresi seperti manusia yang akhirnya ditunjukkan. Air mata menggenang di sudut matanya dan bola mata yang terlihat berkaca-kaca. Rika tentu sudah menduga, kalau gadis di hadapannya itu hanyalah seorang gadis yang kesepian dan memiliki masal lalu yang buruk, hingga membuatnya memiliki kepribadian dingin dan tak berekspresi layaknya sebuah boneka.

"Ikutlah denganku ke Bumi. Aku berjanji kamu akan aman di sana. Dan mungkin kamu dapat menemukan bangsa Elf di sana."

Alviena seperti tak dapat berkata apa-apa lagi. Dia hanya mengangguk pelan dan berusaha menyembunyikan air mata yang mulai mengalir.

Ankor, Emmy, dan Haru, mereka terdiam melihat bagaimana emosi gadis berambut campuran merah dan hitam itu menggelagak keluar.

"Sudah ditentukan, dia akan ikut dengan kita." ucap Rika, dan tanpa menunggu yang lain, Rika lebih dahulu berjalan sambil menuntun gadis bernetra merah itu mengikutinya.

"Rika, tunggu." Emmy dengan bergegas mengejar Rika.

"Terserah." Kemudian di susul Ankor.

Tinggal Haru sendirian, dia masih diam sambil memegangi kepalanya yang sebenarnya tidak pusing.

"Sial, aku benar-benar jatuh cinta dengannya." Akhirnya dia mengakui perasaannya setelah melihat ekspresi gadis tadi. "Setidaknya untuk sekarang aku harus tahu dulu namanya."

***

Tembakan suar di langit menjadi penanda tempat mereka berkumpul sekaligus menjadi penerang jalan bagi sekelompok orang-orang yang berada di hutan benua Azella. Mereka semua adalah murid-murid Akademi Klira yang berasal dari benua Bumi. Mereka datang ke benua Azella untuk melakukan ekspedisi. Mengamati dan menemukan kehidupan baru di benua itu, benua yang 300 tahun lalu adalah padang pasir tapi sekarang telah ditumbuhi pohon-pohon hingga membuat terlihat seperti sebuah hutan.

Kelompok Rika telah tiba ke tempat perkumpulan. Di sebuah pantai dengan pasirnya yang sama sekali tak mengenakan untuk diinjak, bahkan aroma dari air laut berbau busuk.

Di depan mereka terlihat seorang pria berkepala plontos. Dia mengenakan scraft merah, menggunakan pakaian hitam seperti seragam lengan panjang yang dibalut rompi dan mantel merah gelap tanpa lengan sepanjang di bawah lutut. Mengenakan obi- ikat pinggang berwarna hitam dan memakai sepatu berleher tinggi juga menggunakan sarung tangan hanya untuk tangan kanannya saja.

Pria yang begitu tegas, berwibawa, dan mata tajam seakan mengintimidasi. Bukan tanpa alasan mengapa dia melakukan intimidasi, sebab pria botak itu melihat seseorang yang tidak terdaftar di Klira Akademi.

"Aku tidak ikut campur dalam hal ini, Laxus. Kau bisa memarahi Rika." ucap Ankor, lalu berjalan meninggalkan teman-temannya dan menaiki kapal yang terparkir di pinggir pantai itu.

Laxus, menatap begitu tajam pada Rika, dan yang ditatap tampak tenang, berbeda dengan Emmy dan Haru yang merasakan intimidasi dari Laxus, membuat mereka berdua berusaha melawan tubuh yang bergetar.

"Kau dapat menjelaskannya Rika?" aksen yang begitu berat dan mencengkam.

"itu...." Dia mungkin terlihat tenang tapi gadis bersurai pink itu jelas tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya juga.

"Oh ya, aku belum tahu namamu." Di sela-sela itu, Rika malah bicara pada gadis yang masih saja dia gandeng. "Tlong kasih tahu," nadanya terdengar seperti memohon.

Alviena tentu tidak paham, tetapi dia sedikit mengerti dengan situasi gadis itu, dia juga sudah menyukai gadis bernetra merah muda itu, jadi dia bisa mengatakannya.

"Alviena." suaranya pelan tapi Rika dapat mendengarnya.

"Oh ya, dia Alviena. Dia kerabatku, tidak sengaja tadi ketemu pas melakukan ekspedisi, karena dia tersesat jadinya aku bawa ke sini."

"Ha!!" Haru dan Emmy benar-benar tak percaya. Itu sangat jauh sekali dari rencananya yang menjadikan gadis itu sebagai alasan kegagalan ekspedisi mereka. Dan alasan macam apa barusan. Sama sekali tidak masuk akal, dan tidak mungkin Laxus akan percaya.

Pria berkepala plontos itu mengusap wajah kasar. "Kau bahkan tidak membawa hasil Ekspedisi?"

"Itu..." Rika sekarang gelagaban. Dia benar-benar lupa dengan rencananya. Sekarang tidak mungkin untuk memutar balikkan fakta kalau gadis bersamanya itu adalah temuan. Dia sudah terlanjur mengatakan kalau Alviena adalah kerabatnya, karena saking gugupnya itulah, dia sampai kelupaan.

"Setelah sampai nanti, kau harus menjelaskan semuanya padaku." ucap Laxus, pandangannya kali ini mengubar ke semua murid yang berkumpul di sana. "Semuanya segera masuk ke kapal."

Perintahnya yang langsung dituruti oleh semua orang di sana.

Dalam perjalanan menaiki kapal, Haru mendekati Rika, dan berbisik. "Namanya Alviena, kan?"

Rika berhenti, memperhatikan Haru segitu detailnya, lalu berucap. "Kenapa tidak kau tanyakan saja langsung. Dia ada di sampingku." tutur Rika, yang membuat Haru salah tingkah.

"Tumben kau menanyakan nama perempuan." Emmy ikut nimbrung, dengan tatapan yang menggoda, membuat Haru sampai harus menahan panas di wajahnya.

Tidak ingin sampai dipermalukan, Haru dengan cepat berjalan lebih dulu meninggal tiga gadis di sana.

Emmy tertawa terbahak-bahak.

"Akhirnya, cowok itu tertarik juga dengan perempuan."

***

Alviena, sama sekali tidak mengerti akan di bawa ke mana. Dia ingin melawan, tetapi entah mengapa dia merasa aman berada bersama mereka. Terlebih gadis bersurai pink yang masih saja terus menggenggam tangannya, bersama dengan dia membuat Alviena merasa nyaman. Dia seperti sosok sahabatnya, Sonya.

Tanpa diketahui oleh Rika dan Emmy, Alviena tersenyum.

"Aku tidak sendirian lagi sekarang."