"Ankor, jangan diam saja cepat lakukan sesuatu."
Haru berteriak, ketika dia melihat sosok pria berpakaian hitam dengan obi putih dibalut mantel coklat gelap sepanjang setengah paha. Lelaki itu terdiam, berdiri dengan wajah masam yang tak mengenakan untuk dilihat.
Tetapi Haru tidak peduli, dia kembali berteriak. "Cepatlah, apa kau tidak lihat kekasihmu ini mau memperkosaku."
"Kenapa tidak ladeni saja, bukankah itu bagus untuk diusia remajamu sekarang merasakan tubuh wanita."
Perkataannya sukses membuat Haru tercengang. Semua kalimat yang sudah disusunnya dengan susah payah tertelan kembali bersama ludah. Wajah masam Ankor jadi tampak mengerikan, dengan tatapan mengancam dan nada suara datar mengintimidasi. Tapi Haru sepertinya bukan pria yang penakut, dia sama sekali tidak gentir dengan aura intimidasi dari lelaki yang berwajah masam itu.
"Kau gila. Cepat bantu aku biar setelah ini, aku dapat memukulmu."
"Begitu ya." Kata Ankor. Sebuah pistol terarah pada Haru, dan tanpa perhitungan pria itu dengan mudahnya menekan pelatuknya hingga membuat pelurunya menembus kepala Haru.
Seketika lelaki dipelukkan Emmy meregang nyawa dengan darah yang merebes deras dan terciprat di wajah manis seorang gadis.
"Ah, kau membunuhnya Ankor." Diucapkan dengan nada tenang bahkan ekspresinya sama sekali tidak terkejut, seakan apa yang dilihatnya dan dilakukan oleh Ankor adalah hal lumrah.
Emmy melepaskan pelukannya, membuat tubuh tak bernyawa itu jatuh dengan cukup keras ke tanah.
"Aku hanya menolongnya, seperti yang dia mau. Kau tidak akan mau lagi kan melakukannya dengan orang yang sudah mati." kaul Ankor, seraya menyimpan pistolnya di balik obinya.
"Kau kira aku tidak tahu siapa Haru? Tapi kau benar aku sudah kehilangan mood." Emmy berjalan mendekati gadis yang dari tadi masih asyik memandangi layar hologram.
"Jadi apa kau melihat yang mengasikkan, Rika?" ucap Ankor, dia memang sudah berada di dekat gadis berambut merah muda sepanjang pinggang itu, dan sudah cukup memperhatikan apa yang dilakukan Rika.
Rika hanya mengangguk satu kali, tanpa menoleh ke arah orang yang bicara padanya. Pandangannya hanya fokus pada layar di depannya, kemudian jari telunjuknya kanan menunjuk ke titik merah yang ada di layar peta hologram itu.
"Ada seseorang di dekat sini."
"Jadi hanya titik merah ini yang dari tadi kamu lihat? Kau benar-benar kurang kerjaan Rika." tukas Emmy bernada tenang. Dia datang dengan langsung memeluk Rika dari belakang, kedua lengannya melingkari leher dengan dagunya menopang di bahu gadis berambut pink itu.
"Emmy, pakai pakaianmu."
"Eh, aku kira kau tidak peduli."
"Kalau kau ingin berada di dekatku, kau harus pakai pakaianmu." kaul Rika bersuara begitu ramah
Emmy terkekeh kecil, ia melepaskan pelukkannya lalu memungut pakaiannya yang berserakan di tanah.
"Jadi apa yang menarik dari titik merah itu?" Ankor kembali bersuara, dia sekarang berada di samping Rika, membungkukkan badan dengan mata memicing tajam hanya untuk menatap titik merah di peta hologram itu.
"Aku hanya penasaran. Radar di hologram ini juga bisa mendeteksi kehidupan di sekitar, entah itu monster atau manusia. Dan sejak kita datang ke benua ini banyak yang telah dideteksi oleh alat ini, tetapi hanya titik merah ini." Rika kembali meletakkan ujung jarinya dititik merah di peta hologram itu. "Yang sama sekali tidak bergerak. Dan anehnya setiap titik merah yang lain mendekat ke titik merah ini, titik merah yang lain itu lenyap begitu saja dari radar."
"...?....." Ankor manatap Rika penuh tanda tanya dengan kening yang mengerut.
"Hanya ada satu penjelasan kenapa titik merah yang lain bisa menghilang= dibunuh. Kemungkinan di dearah sekitaran titik merah ini sedang ada perebutan wilayah." Rika selesai bicara, dia sekarang terfokus pada seorang gadis bertubuh mungil yang berjalan begitu anggunnya dalam balutan dress lolita berwarna merah gelap.
Emmy tersenyum begitu mempesona, kulitnya telah bersih dari bercak darah, rambut yang sebelumnya tergerai bebas di sapu angin kini rambut panjangnya telah di kuncir dua, dan warna bola mata yang berbeda itu menambah daya tarik yang dimilikinya. Kulit putih kemerahannya yang tersorot cahaya dari layar hologram itu seakan danau susu yang terasa kenyal
"Kenapa kita tidak langsung ke sana saja." ucap Emmy.
Ankor merasa senang dengan usul Emmy, itu terlihat dari caranya tersenyum.
"Emmy, benar." Lelaki itu menegakkan badan dari rukuknya, mata berwarna hijau serupa giok itu berkilat, seakan memancarkan energi semangat. "Ada kemungkinan titik merah itu, adalah Bos di tempat ini. Itu bagus untuk mengganti buruanku yang tadi." Senyum mengembang lembar, yang melihatnya seperti senyuman iblis.
Tapi kedua gadis remaja itu sama sekali tidak ambil pusing. Mereka sudah tahu betul tabiat yang dimiliki oleh pria berambut kelabu itu.
"Aku ingin mengajak kalian dari tadi. Tapi kalian malah terlalu asik dengan kegiatan masing-masing." ujar Rika, wajahnya terlihat cemberut tapi terkesan imut. Dia menggerakan kedua kakinya menuju mayat Haru, berjongkok di depan mayat itu dengan kedua tangan terulur menyentuh tubuh Haru dan mengguncangnya pelan, berikut suara lembutnya.
"Haru, sampai kapan kau terus berbaring, cepat bangun kita akan melanjutkan ekpedesi kita."
Mayat Haru, tiba-tiba saja mengalami pergerakan. Terlihat seperti kejang-kejang, lalu kemudian meregenerasi setiap sel yang rusak hingga tak ada sedikit pun bekas tembakkan di kepalanya. Setiap sel darah merahnya membelah diri, mengalir ke sela-sela otot yang mulai membiru karena kehabisan darah. Jantungnya kembali berdenyut dan memompa sel-sel darah yang telah pulih dan mengembalikan warna kulitnya menjadi putih kemerahan.
Khusima Haru, langsung terbangun. "Itu menyakitkan." ujarnya, matanya menatap nyalang kepada Ankor. "Hanya karena aku abadi, kau tidak bisa seenaknya menembak aku begitu saja."
"Harusnya kau berterimakasih, aku sudah menolongmu." Tukas Ankor, wajah santai dengan senyum yang terukir di bibirnya, sama sekali tidak ada rasa bersalah.
"Apa kau tidak pernah menggunakan isi kepalamu itu dengan benar." Haru berdiri, dia berjalan dengan wajah yang garang mendekati Ankor.
Dengusan nafas dapat dirasakan Ankor, sebab sekarang Haru begitu dekat dengannya. Kening mereka saling bersentuhan begitu pula hidung mereka, dan hanya tinggal bibir mereka yang berapa inci lagi akan saling bertemu. Tapi tentu itu tidak akan terjadi, Haru dan Ankor adalah cowok dan mereka masih waras. Kening mereka yang saling bertabrakan itu saling mengadu kekuatan dorong satu sama lain, hingga urat-urat di wajah mereka nampak terlihat jelas.
"Ngajak berantem." kaul Ankor.
"Kalian berhenti! Kita harus segera bergegas, kita sudah membuang waktu banyak disini." Rika berucap dengan nada tenang tapi terdengar tegas.
khusima Haru dan Ankor Helger, kini menatap kaget pada perempuan yang berkacak pinggang dengan tatapan sedingin es dan setajam jarum. Kedua pria itu cepat-cepat menjauh sedikit, satu sama lain saling memusut kepala, kemudian berjabat tangan dan memanggul bahu satu sama lain, dan tentu tersenyum yang menunjukan seolah tidak terjadi apa-apa dan melupakan permasalahan mereka barusan.
"Tenang Rika, kami hanya becanda kok. Ya kan, Haru?" ucap Ankor, seraya menapaki bahu Haru yang terlihat bersahabat tapi jelas dirasakan sakit oleh Haru.
"Tentu saja, kami hanya becanda kok." sahut Haru. Sama halnya yang dilakukan Ankor, Haru pun membalas.
Harumi Rika, jelas melihat kebohongan kedua teman laki-lakinya itu tapi sepertinya Rika, tidak ingin ambil pusing. "Terserah kalian. Pokoknya jangan sampai kalian menghambat perjalanan." Rika segera menjauh dari dua pria itu.
"Emmy, kita jalan duluan." Ajak Rika, gadis bermata heterochromia itu dengan semangatnya langsung berlari menyusul Rika, dan meninggalkan dua teman cowok mereka yang masih diam.
"Ke mana?" tanya Haru. Dia jelas belum mengetahui apapun, mengingat dia baru saja bangkit dari kematiannya.
"Kau beruntung. Aku maafkan kali ini." Ankor menjauhkan tangannya dari bahu Haru. "Tapi jika monster ini tidak sesuai dengan silver wolf yang aku temukan, maka organ tubuhmu sebagai gantinya yang akan aku jual." Ancamnya, kemudian Ankor berjalan lebih dahulu mengikuti dua gadis yang sudah cukup jauh berjalan.
Mendengar ancaman seperti itu tentu tidak membuat Haru gentir, malahan Haru menantang Ankor.
"Akan aku tebas duluan lehermu sebelum sempat melakukan itu." Kemudian Haru juga berjalan mengekori Ankor.