Chereads / Penguasa Kegelapan / Chapter 22 - Perang

Chapter 22 - Perang

Maaf Penulis kurang baik dalam menggunakan EYD!!!

Ketakutan yang begitu mengerikan dapat dirasakan penduduk Irin, ketika melihat sosok berjubah merah berdiri di hadapan mereka. Sosok yang begitu agung dengan serpihan-serpihan api yang mengitari tubuhnya memberikan hawa panas.

Hawa panas yang seakan mengoyak kulit dan membakar habis daging. Bahkan hawa panas dari serpihan api tersebut telah membakar rerumputan di sekitar tempat sosok berjubah merah itu berdiri.

"Siapa kau?" ucap tetua para ras Elf.

Perlahan sosok berjubah itu membuka kelopak matanya yang memperlihat mata emas yang bernyala begitu terang dalam naungan bayangan tudung kepalanya. Serentak semua penduduk irin ketakutan, mereka menyadari siapa sosok tersebut. Sosok itu adalah seorang dewa perang bernama Yogo.

Tetua elf begitu kuat memegang tongkatnya, matanya menajam dan kedua kakinya begitu kuat bertumpuan pada tanah.

"Apa yang diinginkan seorang dewa perang datang ke Negara kecil kami?" ucap tetua elf, suaranya begitu serak namun terdengar sangat tegas.

Yogo tersenyum kecil pada sudut bibir kanannya. Api yang membakar rerumputan di sekitar tempat dia berdiri dengan cepat merambat dan membakar semua rumah penduduk irin.

Kemurkaan tetua Elf memuncak memaksa dia mengeluarkan sihir namun, saat dalam pengucapan rapalan sihir itu, Yogo, dengan cepat memasukkan serpihan apinya ke dalam mulut tetua Elf.

Kedua tangan tetua Elf dengan cepat mencengkram kuat lehernya. Rasa yang ia rasakan panas yang begitu perih menyiksa lehernya. Darah mengalir keluar dari matanya. Dua elf yang bahwasanya selalu bersama tetua Elf untuk melindunginya namun, mereka berdua begitu ketakutan bahkan saling berpelukkan ketika tubuh tetua mereka terbakar oleh api yang menjadikan dia hanya tersisa tengkorak.

Kegelapan mulai melingkupi seluruh desa. Keadaan desa Elf sungguh kacau, seluruh rumah Elf sudah habis terbakar. Ketakutan dan suara tangisan yang membising dikegelapan bagaikan musik yang terdengar indah ditelinga Yogo, hingga membuat dia tersenyum.

"Alasan..." Yogo bergumam dengan suara yang begitu halus, bagaikan bisikkan yang dialirkan oleh semilar angin hingga membuat suara itu begitu tergiang di telinga.

Penduduk irin terdiam begitu takut, tubuh mereka bergetar, bahkan mereka yang sudah memegang senjata tak satupun yang berani mengacungkan senjata kehadapan Yogo.

"Kenapa kalian tidak pernah mengagungkan namaku?" Serpihan api yang mengitari tubuh Yogo berubah menjadi katana.

Tak ada satupun jawaban dari penduduk Elf. Mereka semua terlelap dalam rasa takut hingga membuat mereka begitu lemah. Lemah untuk bertarung, bahkan lemah untuk bergerak dan bersuara. Hanya kematian yang menunggu mereka, pasrah akan semuanya.

"Karena kau memang tidak pantas untuk dipuja." Satu anak panah melesat namun, tepat sebelum mengenai Yogo, anak panah itu melebur karena panas matanya.

Yogo melirik ke arah datangnya anak panah tersebut. Seorang pria tua berperawakkan tinggi berdiri begitu tegabnya, rambut putih panjangnya berkibar disapu angin, dan matanya memicing begitu tajam. Tatapan penuh amarah dan kebencian.

Mata keemasan Yogo bersinar begitu terang. Dia begitu murka, sudah banyak ras yang dia lawan tapi baru pertama kali ini ada seseorang yang berani berdiri begitu sombong di hadapannya.

Mata emas Yogo, merupakan sihir kutukan yang langsung terkena jika berani menatapnya. Aden dapat merasakan rasa sakit yang menggerogoti seluruh organ tubuhnya. Darah mulai mengalir dari lubang hidung, mata, telinga, dan mulut. Bahkan kulitnya mulai terkoyak namun, berkat sihir penyembuhan yang dia miliki semua lukanya dapat sembuh dengan cepat. Akan tetapi selama dia terus menatap mata Yogo, maka ia akan terus menerima luka yang sama.

Aden tau itu. Namun, tak sedikitpun ada niatan untuk memalingkan pandangan pada sosok berjubah merah di hadapannya. Tatapan penuh amarah dan kebencian telah melupakannya akan rasa sakit, takut, bahkan kematian.

Ratusan pasang mata berwarna merah bernyala dalam kegelapan di belakang Yogo. "Pantaskah kalian menentang kehendakku?!"

Mata Aden membulat sempurna ketika melihat jelas makhluk apa yang memiliki mata merah tersebut. Ratusan pasukan mayat hidup yang menguarkan hawa kegelapan, semakin membuat daratan Irin tenggelam dalam gelap. Hampir kegelapan sempurna jika tidak ada kobaran api sisa-sisa kebakaran rumah.

Aden mengeraskan rahangnya lalu berteriak begitu keras. "Kalian selamatkan perempuan dan anak-anak. Sisanya yang masih sanggup berdiri, ikut aku. Kita berperang."

Teriakkan yang begitu keras membuat kaum Elf yang hanya bisa diam ketakutan terkejut karenanya.

"Hahahaha." Derap langkah kaki yang pelan. Semua Elf melihat ke arah orang yang tertawa tersebut. Seorang pria tua berambut panjang putih bergelombang, mengenakan jubah kumal berwarna coklat, dan memegang tongkat sihir yang terbuat dari kayu.

"Lihatlah betap beraninya kakek tua itu. Tak sedikitpun ada keraguan bahkan takut menghadapi seorang yang sangat ditakuti oleh seluruh penduduk dunia Synetsa."

Penyihir Elf tua tersebut memandang seluruh Elf yang melihatnya. "Kalian Elf muda apa tidak merasa malu?"

Pernyataan tersebut bagaikan sebuah hinaan. Penduduk Elf mengalihkan pandangan ke seorang pria tua yang saat itu bertarung sendirian melawan ratusan pasukan mayat hidup dengan gagahnya. Melihat hal tersebut, para Elf lelaki mengencangkan leher dan rahang mereka, begitu pula Elf perempuan yang menatap tajam.

Tak ada lagi keraguan, takut, bahkan gemetar. Keberanian datang kepada mereka semua dengan cara seorang kekek tua menunjukkan siapa sebenarnya bangsa Elf. Senjata yang hanya mereka simpan di belakang punggung, sekarang mereka busungkan bahkan mereka acungkan kehadapan musuhnya.

Penyihir Elf tua itu tersenyum. "Kita akan berperang."

Mereka semua telah kembali kejati diri. Sosok Elf yang sebenarnya adalah kepribadian mereka yang sombong. Sombong karena mereka lahir dengan anugerah cahaya. Sama seperti mereka memadang ras lainya, sekarang dewa Yogo tak lebih dari bangsa, RENDAH!

Menciptakan sihir berbentuk anak panah. Tangan kiri yang memegang busur dan tangan kanan dengan kuatnya menarik tali busurnya. Anak panah sihir melesat cepat tapi tidak mengarah ke musuh, melainkan ke udara.

Sedetik kemudian ribuan anak panah berjatuhan menghujani ratusan mayat hidup tersebut. Tidak ada darah yang keluar dari ratusan tubuh mayat hidup yang terkena serangan barusan. Hanya kegelapan yang semakin menguar dari dalam tubuh mayat hidup itu yang perlahan mulai menghidupkan mereka kembali.

Tidak sedikitpun terlintas dipikiran Aden, jika ini akan jadi pertempuran yang mudah. Dia juga sudah tau kalau sihirnya tidak akan mungkin bisa membunuh pasukan mayat hidup itu.

Lantas apa gunanya dia bertarung?

Kali ini Aden menggunakan busurnya layaknya sebuah pedang. Dia terus menghujani tebasan-tebasan ke tubuh mayat hidup itu, dan jika dia merasa tersudut maka, dia akan mundur dan menggunakan serangan jarak jauhnya.

Tapi seberapa banyak pun ia terus membunuh pasukan mayat hidup Yogo, mereka akan hidup lagi.

Hanya kelelahan yang didapat Aden namun, tidak sedikitpun dia menunjukkan kelelahannya. Matanya begitu tajam untuk selalu fokus menembak anak panahnya tepat mengenai musuh, hingga membuat dia lupa dengan pertahanan diri.

Tepat di belakangnya satu musuh siap menancapkan pedangnya dari punggung.