Chereads / Penguasa Kegelapan / Chapter 20 - Elf

Chapter 20 - Elf

Siang itu matahari begitu terik tetapi, angin bertiup kencang sehingga memberikan suasana yang sejuk.

Satu demi satu daun berjatuhan disungai jernih yang airnya mengalir dengan tenang. Sesekali terdengar suara riak air yang diakibatkan oleh anak-anak yang melempar batu krikil ke sungai.

Tempat berpijak anak-anak itu adalah hamparan rerumputan hijau. Seluas negara Irin terhampar rerumputan dengan setapak jalan yang ditaburi batu-batu krikil nan indah berbagai warna menjadi pijakkan bagi para Elf untuk melewati rerumputan yang tumbuh tinggi.

"Kalian mau ikut kakek berburu?" sapa Aden, pria yang sudah cukup berumur itu tersenyum hangat pada anak-anak yang bermain di pinggiran sungai itu.

Bagi seorang Elf memiliki umur tua bukanlah hal yang ditakutkan, tidak takut kepada kematian tapi takut akan menjadi beban kelak bagi bangsa Elf lainnya. Para Elf adalah makhluk abadi, sekalipun abadi, umur yang terus bertambah juga akan menghambat aktivitasnya bahkan sihirnya juga akan sangat melemah.

Dan sebelum itu terjadi, Aden ingin menuntaskan kewajiban untuk membimbing Elf muda agar kelak dapat menjadi Elf yang hebat hingga dia bersantai untuk diumur tuanya yang abadi.

Ada tiga anak di sana yang sedang bermain bersama. Salah satunya ada seorang gadis kecil terkesan masih seperti belita yang langsung berlari dan menubruk tubuh Aden dengan pelukan manja.

"Sira, ikut kek." Kelutnya manja dengan senyuman lebar.

"Sira curang, kami juga mau ikut kakek." Dua bocah Elf lainnya tampak antusias, mereka berlari kecil mengampiri Aden dan Sira.

"Baik." Aden menggendong Sira lalu mengulurkannya pada seorang anak lelaki.

Dia adalah kakak Sira, lelaki itu paham kalau Aden memintanya untuk menggendong adiknya. Sang kakak mengulurkan tangannya untuk menggangkat Sira dari gendongan kakek Aden.

"Pulang dulu, makan dan beri tahu orang tua kalian." Setelah mengatakan itu, Aden langsung menggerakkan kakinya seraya berucap. "Kakek akan menunggu kalian di rumah Tetua."

"Baik kakek." ucap serentak ke tiga bocah itu.

***

Siang itu memang cerah tapi tidaklah panas. Deraian angin membuat rerumputan bergoyang dengan lembutnya, membuat suasana damai yang menyejukkan.

Mengikuti jalan setapak. Aden, seorang pria yang sudah terlihat tua, namun tidak ada sama sekali raut wajah kelelahan. Dia nampak begitu semangat dalam perjalanannya, dia pun selalu tersenyum seakan tidak ada beban pada tubuh tuanya yang ringkih. Pakaian yang dikenakan pria tua itu seluruhnya berbalut hitam dengan sulaman keputihan. Rambut putih panjangnya terkadang berkilauan ketika terkena cahaya sinar matahari, itu membuatnya terlihat begitu berwibawa.

Hamparan luas rerumputan hijau yang diperindah dengan perbukitan dan gunung, serta berbagai bunga cantik yang tumbuh menemani rerumputan hijau itu menjadi pemandangan yang dilalui Aden, dan langkah kaki tanpa alas membuatnya dapat merasakan kelembutan rerumputan itu, selembut kain sutra. Jalur pengaliran air ada di mana-mana, seluas reremputan tersebut. Airnya begitu jernih hingga dapat memperlihatkan ikan-ikan yang berenang. Titik jalur pengaliran air itu terhenti disebuah sungai yang lebih terlihat seperti telaga karena ukurannya yang kecil. Walaupun ukuran sungai itu sangatlah kecil tapi tidak ada yang pernah tau kedalaman sungai tersebut. Seberapa banyak pun air yang terus ditumpahkan atau diambil dari sungai tersebut, airnya tidak pernah bertambah atau pun berkurang. Bagi beberapa penduduk Synetsa yang selama ini yang sudah mengenal negara Irin, lebih sering menyebut negara kecil itu sebagai kota Anugrah Air.

Ada sebuah rumah berdiri di atas perbukitan. Rumah para kaum Elf langsung dibangun di atas rumput. Rumah ras Elf memiliki ukuran yang berbeda tetapi, tinggi rumah mereka semua sama dan dengan khas setiap dari bangunan rumah Elf adalah kayunya yang selalu mengeluarkan aroma manis buah apel.

Dan di rumah itu ada seseorang pria tua yang sedang duduk di luar teras rumahnya, memadang langit dengan senyuman yang bersahaja.

"Memikirkan mereka lagi?" suara itu cukup mengagetkan, membuat pria tua yang duduk itu langsung melirik ke depannya.

"Apa kau ingin membuat jantungku copot, Aden?"

"Haha...haha, Ayolah aku sering melakukannya, apa kau masih belum terbiasa kakek."

"Siapa yang kau panggil kakek?"

Lantas perkataan tersebut membuat gelak tawa pada mereka berdua. Setelahnya Tetua Elf memandang lekat pada Aden yang menggunakan pakaian berburunya, lengkap dengan busur di punggung dan anak panahnya di kantong tas pinggangnya.

"Kau mengajak anak-anak itu lagi berburu?" Tanya Tetua.

"Ya. Itu lebih baik dari pada membiarkan mereka hanya bermain dengan batu." Aden duduk di samping Tetua. "Aku harap, aku bisa terus melatih mereka, sampai mereka menjadi remaja nanti."

Tetua Elf tersenyum, ia kembali melihat langit ada kesenduan di sana. Aden mengerti apa yang sedang dipikirakan Tetuanya itu.

"Aku harap, aku bisa bertemu mereka lagi..." gumam Tetua.

"15 tahun sudah ya? Apa mereka baik-baik saja di sana." Sama halnya dengan Tetua, Aden pun merasa kesenduan ketika melihat tetuanya itu.

"Aku hanya khawatir dengan Ricardo. Dia sudah memberikan anugerahnya, apa menurutmu dia masih hidup setelah 15 tahun?"

"Pertanyaan macam apa itu kakek tua. Sudah jelas Ricardo pasti baik-baik saja. Dia adalah orang pertama yang berani menentangmu dan juga orang yang berani memberikan anugerah untuk seorang bayi yang tidak tahu asal usulnya. Dia benar-benar orang bodoh! Begitu pula aku yang bisa menggangap orang bodoh itu sebagai Rival dan sahabatnya. Aku tidak akan memaafkannya kalau dia meninggal hanya karena 15 tahun berlalu." Ada kesedihan dan keraguan, tetapi Aden terus percaya jika sosok sahabatnya, Ricardo masih hidup.

"Mungkin kau benar, dia tidak akan meninggal secepat itu hanya karena kehilangan keabadiannya." Tetua menutup pembicaraan mereka.

Kini kedua kakek itu diam menikmati alam dan segarnya angin yang membelai lembut wajah mereka, mengibarkan rambut, dan seolah hanyut dalam ketenangan. Tanpa mereka ketahui Ricardo sudah meninggal 10 tahun lalu, tepatnya 5 tahun setelah memberikan anugerahnya.

Dan dalam diam itu, tiba-tiba ada seorang gadis kecil yang menyergap Aden dari belakang dengan pelukan.

"Kakek Aden ketemu." Sapa gadis kecil itu yang tersenyum lebar dengan lengan mungilnya yang dilingkarkan dileher Aden.

"Kakek Tetua, kenapa tidak tinggal di bawah saja? Tidak kah kau sadar dan merasa kasian sama orang yang setiap harinya naik ke atas, ini memerlukan energi yang berlebihan." Dua anak cowok, mereka sedang bertekuk lutut dengan nafas ngos-ngosan.

"Tempat ini memang bukan untuk anak kecil." Tetua Elf berdiri dan berjalan hendak memasuki rumahnya. "Kau lihat itu adikmu, dia sama sekali tidak mengeluh."

"Kakak lemah." ucap Sira dengan tawa kecilnya.

"Oh ya, aku juga heran kenapa adikmu tidak pernah kelelahan. Kau ingat waktu kita bermain kejar-kejaran, adikmu sama sekali tidak kelelahan saat itu." Ungkap teman mereka.

"Aku juga tidak tahu. Tapi orang tuaku bilang kalau Sira sedikit terlahir beda dari kita."

"Beda, apa maksudnya?"

"Entahlah. Orang tuaku tidak mengatakan apapun lagi setelah itu. Dan lagian akulah yang menggendong dia sampai naik ke atas sini." Sang kakak berteriak sambil menunjuk-nunjuk adiknya seperti menghakimi.

Aden berjalan mendekati si kakak lalu mengelus lembut kepala anak itu. "Kau memang kakak yang baik."

Pujian dan sentuhan itu membuat kakak Sira terunduk malu dengan rona memerah.

"Makasih kakak." ucap Sira yang sukses membuat kakaknya malah salah tingkah.

"Haha, ini tidak seberapa, aku bahkan sanggup menggedong Sira sampai ke puncak gunung Kilara."

"Kau serius?..." timpal temannya yang memandang tak percaya. "Ini saja kita sudah ngos-ngosan lo."

Mendengar itu, kakak Sira memicing mata pada temannya itu, kemudian dia mencoba menegakkan badannya dan berusaha menahan laju nafas serta menyilangkan tangan di depan dada.

"Kau lihat aku baik-baik saja "

Temannya itu pun hanya melongo. Apapun yang dilakukan kakak Sira, jelas dia hanya berusaha terlihat kuat. Jelas sekali kalau dia berbohong, dilihat saja dari kaki yang masih gemetaran juga hidungnya yang kembang kempis karena menahan nafas yang belum stabil itu.

Aden tersenyum melihat kelakuan kedua anak itu, lalu dia melirik kearah Tetua yang masih diam di ambang pintu.

"Kami pergi dulu." Aden melambaikan tangannya begitu pula Sira yang di gendongan Aden juga melambaikan tangan sebelum mereka menuruni bukit.

Tetua membalas lambaian itu dan segera menutup pintu seraya mengucapkan kalimat terakhir.

"Hati-hati."

Aden dan Sira sudah jauh menuruni bukit, sementara kakak Sira dan temannya masih asik ngoceh.

"Yang benar saja. Kami baru sampai ke atas, sekarang turun lagi."

Tanpa memperdulikan ocehan kakak Sira, temannya itu langsung menggamit dan menarik paksa kakak Sira kembali menuruni bukit.