Chereads / Penguasa Kegelapan / Chapter 9 - Sang Penakluk Dewa

Chapter 9 - Sang Penakluk Dewa

Alviena terkesiap, ketika melihat sosok arwah hitam muncul di sampingnya, mata merahnya menatap lekat, sementara yang ditatap hanya bisa terdiri diam tanpa sedikit pun berani untuk melihat makhluk di sampingnya. Dari ekor matanya, Alviena dapat melihat senyum dari makhluk hitam itu yang menunjukkan deretan gigi putihnya.

"Mau melihat yang lebih menyenangkan?!" suara arwah hitam itu lembut, seperti angin dingin yang berdesir pelan meniup telinga.

Alviena seperti merasakan jantungnya berhenti sesaat, sebelumnya pada akhirnya ia terkejut mendapati dirinya berada di tempat yang begitu terbuka. Terik cerah sinar matahari begitu terasa menyengat di kulit, hamparan pasir keemasan berkilau menangkup kakinya dengan lembut, dan deru ombak dibarengi suara kicauan burung membuat Alviena terpesona. Mata birunya seakan bercahaya ketika terkena cahaya kilauan matahari yang terpantul dari air biru di sana.

"Dimana aku?"

"Pantai! Laut!" Ada beberapa anak-anak terlihat berlari, mereka berteriak sebelum pada akhirnya menyeburkan diri di air.

"Laut?" Alviena mengamati sekitar, ada banyak orang di sana dengan keramaiannya. Sama seperti waktu di tempat sebelumnya, hanya saja orang-orang disini menggunakan pakaian setengah telanjang, bahkan gadis bermata biru itu begitu terkejut ketika melihat perempuan di sana menggunakan pakaian yang sangat terbuka yang hanya menutupi sedikit bagian tubuh dan memperlihatkan kulit mereka.

Pantai! Alviena sangat sering mendengar tempat itu dari bangsa Manusia. Dikatakan, pantai adalah tempat menyenangkan dengan hamparan pasir halus dan air biru yang begitu jernih terbentang luas.

"Jadi ini pantai?" batinya

Suara deru ombak lama-lama menarik perhatian Alviena, ini baru pertama kali dia melihat laut, dan rasa ingin ketahuan menariknya untuk berjalan ke tepi laut itu. Langkahnya sempat memelan dan ragu, tetapi kemudian ia memberanikan diri hingga sampai di tepi pantai. Disentuhkannya kakinya sedikit di air yang berombak pelan di tepi pantai, airnya sedikit dingin tapi terasa menyegarkan, dan airnya begitu biru jernih hingga membuat Alviena dapat melihat hewan kecil di dalamnya.

Kejernihan dan kesegaran air itu tanpa sadar membuat Alviena, melangkah pelan sedikit lebih jauh hingga sampai air laut itu sepinggangnya.

Alviena terkekeh, merasa senang sambil memainkan air laut di jemarinya, dan kemudian berlutut hingga tubuhnya tenggelam sampai ke pundak.  Gadis itu memejamkan matanya dalam damai, merasakan ketenangan dan kesejukkan yang membungkus tubuhnya.

"Arthur"

Suara itu membuat Alviena terperanjat hingga berdiri dari tempatnya berlutut. Pandangannya berubah menjadi kekhawatiran ketika menyadari hari sudah gelap, dan orang-orang di sana juga sudah tidak ada, membuat tempat itu begitu sunyi bahkan daratannya yang penuh dengan pasir itu, sudah tidak ada lagi.

Sejauh mata memandang hanya air laut yang dapat dilihat. Alviena seperti berada di tengah laut, hanya saja tempat berpijaknya masih dangkal, dengan air sebatas pinggangnya. Gadis berambut hitam bermata biru itu gemetar ketakutan. Dia berdiri di tempat yang seakan di tengah laut, sendirian, dan tidak tau di mana. Saat Alviena melihat banyaknya mayat manusia mengapung di sekitarnya dengan darah mereka yang hampir mengubah seluruh warna air menjadi merah, membuat gadis remaja itu tak dapat menyembunyikan rasa takutnya.

Perlahan ia menggerakan kakinya ke belakang, tetapi dia membentur tubuh yang kokoh, begitu kokoh dan keras dengan lengan-lengan yang kuat memeluk tubuhnya dari belakang. Alviena menyadari lelaki itu sangat tinggi, karena sekarang pucuk kepalanya ada di dagu laki-laki itu.

"Siapa?" Alviena mencoba sekuat mungkin meronta berusaha melepaskan diri, namun ketika melihat sebuah pedang besar di depan matanya membuat dia berhenti seketika.

Alviena dapat mengingat jelas pedang tersebut, dengan keberanian ia mencoba menoleh kebelakang, walau hanya sedikit bisa melihat wajah lelaki yang memeluknya, Alviena ingat jelas siapa lelaki yang mengacungkan pedang besar di hadapannya.

Itu Pria berbaju hitam.

"Bagaimana Yogo, kau menyukainya?"

Yogo!

Alviena mengubarkan pandangan kesekeliling, di antara tumpukkan mayat, berdiri sosok pria dengan matanya yang bernyala api terang, pakaiannya sobek hampir telanjang tapi tertutupi darah, namun Alviena dapat mengenali jelas sosok pria berambut putih bermatakan api tersebut adalah dewa perang, Yogo.

"Jangan menyentuh istriku! Arthur." suara Yogo terdengar pelan namun, terdengar seperti sebuah seretan ancaman yang mengerikan.

"Istri?" Alviena kini memperhatikan dirinya, betapa terkejutnya dia ketika melihat perutnya begitu besar. Dia merasa seperti ada kehidupan di sana. Istri Yogo hamil.

Pandangan Alviena melirik ke arah air yang memantul bayangan dirinya. Gadis itu menyadari jika bayangan itu bukannya dirinya. Yang dilihat Alviena di bayangannya adalah sosok wanita yang sangat cantik, berambut hitam lurus panjang sepinggang dan memiliki bola mata jernih berwarna merah muda cerah.

"Bukahkah aku pernah bilang." Arthur menundukkan kepalanya hingga napasnya terasa dekat di telinga Alviena. "Aku jatuh cinta dengan dewi Agita!"

"Agita, istri Yogo adalah dewi Agita"  Alviena bersuara begitu keras karena begitu terkejutnya, tetapi walau suara keras seperti itu tetap tidak ada yang mendengarnya.

"Agita. Bagaimana kalau kau menikah denganku?"

Alviena begitu terkejut ketika dengan beraninya pria berbaju hitam itu menjilat lehernya bahkan diakhiri dengan kecupan panas di pundaknya yang halus.

Alviena merasakan air matanya mau mengalir, bukan karena perlakuan pria berbaju hitam itu tapi karena Yogo sekarang sangat marah. Mata emasnya bernyala terang hingga membuat kegelapan di sana sirna, bahkan pupil merahnya bernyala terang yang menguarkan hawa panas hingga membuat seluruh mayat di sana terbakar.

Arthur tertawa keras melihat kemarahan Yogo, lalu tanpa perhitungan dan belas kasih, pria berbaju hitam itu memenggal kepala Agita.