Maaf Penulis kurang baik dalam menggunakan EYD!!!
"Bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang berharga bagimu, Yogo?" Arthur tersenyum, senyum yang penuh dengan sebuah ejekkan, lalu dia melempar tubuh tanpa kepala itu jauh hingga jatuh tepat di bawah kaki seorang pria.
Yogo tertegun, tubuhnya seolah dihantam begitu keras hingga membuatnya tak bisa bergerak. Dia seolah menangis tapi nyala api yang membesar dimatanya, membuat air mata pria itu menguap.
Perlahan tubuh Yogo, diselimuti oleh api yang membara, menyelubungi seluruh tubuhnya, kemudian semua api yang ada ditubuh Yogo, berkumpul pada katananya.
"Kau ingat dengan ras Kimon?" Arthur bergerak siap ketika melihat gerakkan cepat laksana kilat yang menyambar tubuhnya.
Beruntung gerakkan cepat tangan Arthur untuk melindungi dirinya dengan pedang besar miliknya, berhasil menyelamatkan nyawanya dari tebasan Yogo. Hantaman pedang dari dewa perang menciptakan pukulan keras tak berwujud yang langsung menghempas air di sekitaran Arthur, menyambar tubuhnya dengan kuat hingga membuatnya terundur jauh beberapa langkah.
Arthur mengerahkan semua kekuatan pada kakinya, memaksa tubuhnya agar tidak terlalu jauh terdorong dari lawannya. Saking kuatnya tenaga yang digunakan Arthur, membuatnya harus merasakan sakit akibat benturan kekuatan Yogo yang terlalu kuat, menyebabkan bunyi benturan keras seolah tubuhnya baru saja membentur dinding yang begitu kokoh. Padahal yang terlihat di sekeliling mereka hanyalah laut dengan langit berwarna merah akibat kekuatan Yogo.
Arthur dapat merasakan kesakitan diseluruh tubuhnya, dia bahkan tak dapat berdiri sempurna, terhuyung-huyung dan berpegangan pada senjata besarnya yang ia tancapkan di air laut yang dangkal untuk menopang dirinya, meskipun begitu senyuman jahat sedikit mengejek tetap tersungging di bibirnya.
"Kau ingat dengan seorang anak yang masih kau biarkan hidup setelah membasmi habis semua ras Kimon?" suara Arthur mungkin lemah tapi tetap terdengar begitu mengerikan, seakan suara itu memang sudah ditahan begitu lama hingga rasa dendamnya begitu terasa.
Wajah Arthur kian memucat dan darah mengalir di sudut bibirnya.
Sementara itu Yogo kembali melakukan serangan yang sama, gerakannya bagaikan angin, cepat dan tak terlihat. Dalam perhitungan yang tepat saat Yogo hampir menebaskan katananya ke leher, Arthur mengangkat pedangnya lalu menghempaskanya bagaikan membelah langit. Air di sekitaran mereka beriak, bergelombang tinggi lalu menyapu tubuh Yogo hingga terpental.
Dewa perang masih dalam keadaan terhuyung, sementara Arthur mencoba berusaha berdiri tegak, ketika itu juga terdengar suara seperti sebuah retakan yang menyilukan. Tubuhnya benar-benar terasa sakit tapi Arthur berusaha untuk menyusun retakan tengkoraknya dengan otot-otot tubuhnya.
"Terima kasih karena tetap membiarkan aku hidup hingga akhirnya aku bisa membalas dendam sekarang, Yogo." Arthur terkekeh, seolah rasa sakitnya hilang dan darah yang menetes dari bibirnya sama sekali bukan masalah.
Sang dewa perang sama sekali tidak mengucapkan apa-apa, lelaki itu hanya terdiam tenang bahkan nyala api yang menyelubungi katananya beranjak padam, menyisakan mata emas terang dan pupil merah membara laksana api.
"kenapa hanya diam?" Arthur mengeratkan rahangnya, menatap tajam pada sosok lelaki di depannya itu yang sama sekali tidak melihatnya. "Apa kau sekarang menjadi pengecut? atau menyesal karena membiarkan aku tetap hidup waktu itu!" Dia tersenyum lebar yang sarat dengan ejekkan kepada, Yogo. "Ya, akan aku buat kau menyesalinya karena membiarkan aku hidup waktu itu."
Yogo terdiri diam sambil memandang langit malam yang merah. "Jadi kau anak itu ya." gumamnya yang kemudian disertai senyuman kecil penuh ironi.
***
"Apa aku akan mati?"
Arus air menarik Alviena semakin dalam, membuat paru-parunya terasa seakan terbakar. Detik demi detik pun berlalu yang terasa begitu panjang.
"Aneh!" Pikir gadis itu, anehnya tadi dia masih dapat berdiri di tengah laut itu setengah badannya.
"Badan!" Alviena mengingatnya, berapa detik sebelum dia terseret arus, kepalanya telah terputus tapi entah mengapa ia seakan masih dapat bernafas walaupun nafasnya mulai berkurang karena dirinya yang semakin dalam terbawa arus.
Alviena mencoba membuka kelopak matanya, dia benar-benar tenggelam tapi ia sama sekali tidak merasa takut, bahkan gadis itu tersenyum ketika melihat tubuhnya masih tersambung dengan kepalanya. Tak luput pula perhatiannya dipermukaan laut, Alviena dapat melihat cahaya yang diyakini sebagai kobaran api, bahkan terlinga runcingnya dapat sedikit mendengar suara dentingan senjata.
Arthur dan Yogo pasti sedang bertempur habisan-habisan di atas sana.
Secara berangsur cahaya berwarna keemasan di permukaan mulai mengecil sebelum pada akhirnya menghilang. Alviena kini telah terseret jauh ke dasar laut hingga hanya kegelapan yang terlihat di sekelilingnya. Dia panik, berusaha menggapai-gapai agar naik ke permukaan tapi seberapa besar pun usahanya, arus yang berputar-putar di sekelilingnya makin menyeret jauh, dan lebih dalam lagi hingga hampir membuat kesadaran Alviena menghilang.
"Alviena"
Gadis itu mengerjap-ngerjap kan kelopak matanya, merespon panggilan suara nan lembut. Walau belum terbuka secara sempurna kelopak matanya, Alviena merasa ada cahaya yang mengelilingi dirinya, cahaya yang begitu hangat dan menenangkan. Setuhan jemari dan tangan lembut yang menangkup wajahnya terasa begitu nyaman hingga perlahan membuat Alviena kembali membuka kelopak matanya.
***
"Hi, bangunlah"
Alveina merasa tidak asing dengan suara ini. Karena sang pemilik adalah seorang yang telah menghantuinya dan membawanya kepada sebuah mimpi yang menyeramkan. Alviena, masih berusaha membuka matanya dan menetral dirinya yang masih agak pusing.
"Apa kau lupa cara membuka matamu?"
Penglihatan Alviena masih buram tapi ia yakin baru saja melihat sosok kecil berbentuk bulat yang terbang di sekitarnya. Secara perlahan ia mulai dapat melihat jelas dan terkejut mendapati dirinya berada kembali di dalam istana, di tengah taman yang ditumbuhi pohon-pohon Agola.
"Akhirnya kau sadar juga!"
Begitu terkejutnya Alviena ketika melihat jelas makhluk bulat yang seluruh tubuhnya terbuat dari kegelapan dengan mata merah terang dan deretan gigi putih. Makhluk itu terbang dan tepat berada di depan wajah Alviena yang sudah membuka mata, hampir membuat gadis itu melompat mundur.
"Tenanglah, apa kau tidak ingat denganku?" suara makhluk bola itu mirip dengan anak cowok yang masih berumur delapan tahunan.
"Apa kau arwah hitam yang membawa aku pada mimpi buruk barusan." tuding Alviena, memaku pelotot tajam pada si bola hitam itu.
"Aku tidak setuju kau menyebut itu mimpi." Makhluk bulat itu terbang mengitari Alviena sebelum berteger di bahu kanannya. "Itu hanya apa yang akan terjadi selanjutnya!"
"Selanjutnya?"
"Entahlah aku juga tidak terlalu mengetahuinya, aku hanya ingin berbagi pengetahuan itu saja."
Makhluk bulat itu mengeram kecil, ah lucu sekali. Jika saja warna makhluk itu bukan hitam dan tubuhnya bukanlah kegelapan, Alviena pasti sudah memeluknya dengan erat.
"Kenapa tubuhmu bulat seperti itu, bukannya sebelumnya sosokmu seperti manusia mengerikan yang seluruh tubuhmu terbuat dari kegelapan?"
"Ini hanya wujud kecil dari setengah kekuatanku yang masih tersegel." Makhluk bulat itu kembali terbang dan berhenti tepat di depan Alviena. "Apa kau baru saja menganggap ku lucu?"
Alviena mungkin harus berpikir lebih untuk membayangkan mahluk itu dalam bentuk atau warna berbeda, karena apapun perubahannya, deretan gigi-gigi besar nan putih dengan mata merah bernyala itu sama sekali tidak menyenangkan untuk dilihat.
"Kenapa kau masih di sini?"
Alviena dengan cepat menoleh ke belakang. Di sana berdiri dua orang dayang pekerja kerajaan berjalan mendekatinya.
Alviena baru ingat sekarang kalau dia telah terpisah dengan sahabatnya, Sonya. Pikirannya pun mulai cemas karena merasa sunyi dengan keadaan di istana. Padahal sebelumnya suara pesta diluar begitu meriah hingga masih dapat terdengar di dalam istana bahkan prajurit kerajaan juga nampak banyak ketika itu berlalu lalang di sekitaran istana. Tapi sekarang semuanya nampak berbeda, tak ada suara, istana nampak kosong, Alviena hanya merasakan kesunyian, bahkan suara derap langkah kaki bersama deruan nafas dua dayang yang mendekatinya begitu jelas terdengar, karena begitu sunyinya.
"Kau pasti gadis yang hilang itu?"
"Hilang?" Alviena bingung, mengerutkan keningnya dan menatap kedua dayang itu meminta penjelasan. "Sudah berapa lama?" tanyanya gugup.
Sekarang kedua dayang itu yang nampak kebingungan, mereka saling menatap satu sama lain, lalu salah satunya menoleh ke arah Alviena. Dayang itu mengangkat alisnya, mengamati gadis di hadapannya itu dari ujung kepala sampai ujung kaki, ekspresinya nampak ragu.
"Kau tidak menyadarinya? Kami sudah mencarimu hampir dua jam!"
Alviena semakin cemas, dua jam? Kalau begitu di mana sekarang Sonya?
"Lalu bagaimana dengan gadis-gadis yang masuk ke istana?" tanya Alviena tak dapat menyembunyikan kegelisahannya
"Mereka semua masih di istana ini."
Alviena sedikit lega mendengar jawaban itu, sudut bibirnya sedikit terangkat, dan ia menjadi ceria. "Apa gadis Elf berambut putih juga ada?"
Kedua dayang itu tersenyum. "Iya, mari kami antar ke tempat mereka."
Ketika kedua dayang itu membalikkan badan, Alviena sekilas melihat senyuman mereka berubah menjadi mengerikan. Tapi penglihatan sekilas itu, tidak dapat dipercaya sepenuhnya olehnya. Mungkin saja itu hanya efek dari hal-hal mengerikan yang baru saja ia lewati. Dengan perasaan yang masih sedikit ragu dan sebelum mengambil langkah, Alviena menoleh ke belakang untuk melihat makhluk bulat hitam yang terbang di dekatnya tadi, tetapi makhluk yang dicarinya itu tidak ada di sana.
"Ada apa?"
Suara dayang itu dengan segera membuat Alviena menggerakkan kakinya, mengekori kedua dayang itu berjalan menuju ke bagian utama istana.