Chereads / Penguasa Kegelapan / Chapter 12 - Menjadi Kuat

Chapter 12 - Menjadi Kuat

"Apa kau ingin meninggalkan Ibu, Alviena?"

Alviena tergeming, alam bawah sadarnya membawa dia pada serangkaian kenangan masa kecil.

Dalam lingkaran kegelapan, Alviena duduk meringkuk, lututnya ditekuk ke dada, sementara lengan kecilnya melingkari lutut dan memeluknya kuat. Seluruh tubuh Alviena gemetaran dan kepalanya menunduk dalam, seolah bersembunyi dari teror yang sangat mengerikan. Ada isak kecil yang tertahan dari tenggorokan Alviena, membuat tubuhnya berguncang, gadis itu sedang berusaha menyembunyikan isak tangisnya.

Dan dalam kegelapan itu waktu seakan berjalan mundur. Ada secercah cahaya, cahaya kecil yang menjadi penerang di sana, juga cahaya kecil yang berangsur menjadi sosok dua gadis kecil.

Gadis-gadis kecil itu berlari pelan mengelilingi Alviena yang masih diam meringkuk. Dia masih menundukan kepalanya dan sama sekali tidak tertarik untuk melihat atau sekedar melirik ke dua gadis kecil yang bermain di sekitarannya. Walau begitu Alviena dapat mengenal kedua gadis kecil itu dari suara tawa mereka. Itu dirinya dan Sonya, sewaktu kecil mereka suka sekali bermain kejar-kejaran di perbukitan yang banyak ditumbuhi bunga-bunga.

Dan suara tawa penuh kegembiraan itu membuat Alviena semakin larut dalam kesedihannya.

"Ena," suara itu lembut begitu pula dengan sentuhannya.

Alviena sedikit mengangkat kepalanya hanya untuk melihat sosok cahaya yang menyerupai dirinya dan Sonya. Ada sedikit senyum ketika ia melihat kedua gadis kecil itu bermain petak umpet.

"Aku ingat, kau selalu tidak bisa menemukan aku saat itu."

Mendadak Alviena berhenti tersenyum, ia memalingkan pandangannya ke arah asal suaru itu. Di sana Alviena melihat seorang gadis remaja yang terlihat nyata, ia sedang berdiri dengan senyumannya, mengamati dengan jeli kedua gadis kecil itu yang sedang bermain.

"Sonya." suara Alviena rendah karena ada keraguan.

"Aku ingat, kamu menangis saat tidak menemukanku saat itu." Gadis remaja itu terkekeh pelan, lalu kini pandanganya menatap sayu pada gadis yang masih meringkuk itu. "Jadi kenapa sekarang kamu menangis, Ena?"

Alviena terkesiap, ketika Sonya berjongkok, mensajajarkan tingginya hingga mempertemukan mata mereka, begitu dekat.

Seorang gadis remaja bersurai putih tapi tertutupi oleh darah, netra hijau redup, serta tubuh telanjangnya muncul dalam lembah yang tercipta dari pikiran Alviena. Jangat kemerahan akibat luka sayatan, serta kedua kaki yang patah, dan aura mencengkam terpancar dari mimik wajah seorang sabahatnya, Sonya.

"E...Na," suaranya pelan, sebab lidahnya terpotong dan gigi-giginya terlepas dari rahangnya.

Alviena merinding ketika mengingat wajah terakhir Sonya, sebelum dimakan oleh makhluk hitam berwujud iblis.

Sonya melihat semuanya, melihat apa yang baru saja ada di dalam bayangan Alviena. Menipiskan bibirnya dan menahan emosinya untuk berteriak frustasi ketika melihat betapa takutnya Sahabatnya itu.

"Apa wajahku menakutkan saat itu?" Sonya menyeka air mata yang hendak mengalir di mata sahabatnya itu.

Suara itu, menyeret Alviena kembali dari angan mengerikan tentang sahabatnya. Hal pertama yang dia lihat adalah sebuah senyuman, senyuman yang begitu hangat menyapanya. Wajah Sonya yang begitu dekat denganya, terlihat sangat cantik dengan pakaian putihnya juga cahaya yang mengelilingi dirinya terasa menenangkan. Tapi benarkan itu Sonya?

"Sonya maaf... maaf!" Alviena tersedu seda, berusaha menguatkan hatinya dan berharap sosok di hadapannya itu menghilang. Karena setiap kali dia mengingat sahabatnya, ingatan tentang kematian Sonya terus tergambar dibenaknya.

Sonya, gadis bersurai putih itu bisa melihat wajah yang basah dialiri air mata yang mengucur dari mata indah sahabatnya yang sembab.

"Tidak, kau tidak salah Ena." Sonya semakin mendekat hingga membuat lutut keduanya saling berbenturan, lalu dengan lembut tangannya menyentuh pucuk kepala Alviena. "Maaf membuat wajah menakutkan saat kematianku itu."

Alviena menatap intens sosok sahabatnya itu, kini Alviena melihat sosok Sonya yang ia kenal, seorang sahabat yang selalu menemaninya dalam keadaan apapun, tak ada lagi pandangan atau gambaran mengerikan, di hadapannya benar-benar Sonya yang selalu ceria dan tersenyum.

"Andaikan waktu itu aku tidak melepas genggaman tanganmu, kita pasti sudah mati bersama." Alviena memalingkan wajah seketika bayangan menakutkan itu sedikit kembali muncul.

Sonya mengulurkan jemarinya untuk menangkup bagian belakang kepala Alviena, menghelanya lembut agar maju ke depan hingga membuat kedua dahi mereka bersentuhan.

"Apa kau tidak takut mati Ena?" tanyanya lembut.

Alviena masih diam, tetapi nafasnya mulai normal meski masih menyisakan isak tangis yang menggumpal di dada. Dia masih ketakutan, tentu saja, karena wajah Alviena begitu dekat dengan Sonya, membayangkan kekhawatiran sedikit saja kalau gambaran buruk itu kembali. Tapi pertanyaan Sonya rupanya sedikit mengena di hatinya. Dia menginginkan kematian tapi apa dia tidak takut dengan kematian?!

"Lalu apa yang harus aku lakukan?" tukasnya tenang namun penuh emosi, jika saja Alviena bisa meremas hatinya, dia sudah melakukannya sendiri bahkan memakannya agar dia tidak perlu lagi merasakan sakit. Sakit yang diakibatkan oleh ketidak berdayaannya sendiri.

"Saat mengetahui kau masih hidup, aku sungguh bersyukur. Tapi maaf aku tidak dapat menunjukkan wajah bahagiaku saat pertemuan kita itu, padahal aku begitu bahagianya." Sonya sedikit menjauh sambil mencengkram kedua pergelangan tangan Alviena, ditahannya agar tidak bergerak.

Gadis bernetra biru kini memandang lekat Sonya, mata yang mulai berkaca namun penuh dengan cahaya kebencian itu sedikit membuat Alviena gemetar.

"Aku tidak pernah menyalahkanmu. Takut karena kematian itulah yang membuatku menunjukkan wajah mengerikan yang penuh dendam. Bukan karena dendam kepada iblis yang memakan aku itu, melainkan pada orang-orang biadab di kerajaan itulah yang membuatku begitu benci pada kematian."

Alviena tercenung, lalu suasana hatinya sedikit tenang, ketika melihat mata Sonya yang terpancar cahaya lembut, meski ada sarat kebencian di sana, Alviena sama sekali tidak terganggu, karena saat cengkraman Sonya, di kedua pergelangan Alviena mengendor dan menangkup jemari kecil itu dengan lembut. Sonya tersenyum, ia masih dapat meraskan kelembutan kulit sahabatnya, dan tak lama setelah itu, Sonya sedikit menundukkan kepala yang entah bagaimana membuat Alviena dapat merasakan perasaan sahabatnya itu. Sangat sakit dan sangat banyak kegelapan yang bersemayam di hati kecilnya.

"Ena, bisa kau balaskan dendamku pada mereka?" suaranya bagaikan sebuah bisikkan dingin yang menusuk telinga hingga membekukan hati.

Alviena terdiam diri, seakan seluruh tubuhnya benar-benar telah membeku oleh sebuah kata yang seperti, kutukkan yang emang diperuntukan untuk dirinya. Tapi dengan sedikit mengambil keberanian, meneguhkan hatinya, menghela nafas pendek, Alviena bicara.

"Tidak!!" Ada ketakutakan yang terselip di suaranya. "Tidak mungkin aku bisa melawan mereka. Lebih baik aku mati, dengan begitu kita bisa bersa...."

Suara Alviena tercekak, ketika melihat Sonya telah menghilang dan hanya menyisakan kegelapan di seluruh penglihatannya.

"Jangan tinggalkan ibu, Alviena!"

Suara yang sama lagi, kembali bergema di telinga Alviena. Matanya memindai di dalam kegelapan itu secepat kilat dan menemukan secercah cahaya yang berubah menyerupai sesosok wanita tua yang langsung memeluk dirinya.

"Ibu." ucap Alviena dengan keterkejutannya.

"Kau tidak akan meninggalkan ibu, kan?"

Itu mengingatkan Alviena dengan sebuah janji yang pernah dibuat dengan ibunya.

"Maafkan Alviena, ibu!" suara Alveina tercekak oleh isak tangis yang kembali terdengar. "A...aku tidak bisa pulang malam ini! Aku tidak punya kekuatan untuk keluar dari kondisiku sekarang." Air matanya semakin mengucur deras. "Aku akan mati dan segera menyusul Sonya."

"Kau tidak akan mati, Ena." Sonya kembali muncul. Dia berjongkok di samping dan telapak tangan Sonya menyentuh lembut punggung Alviena.

Alviena terkesima, sentuhan tangan Sonya seakan memberinya kekuatan, dan pelukan ibunya menenangkan hati Alviena. Sekarang gadis beriris biru itu telah berhenti dari tangisannya, jantungnya mulai berdebar karena sisa isak tangis. Dia kemudian memaksa telapak tangannya menangkup di dada, berusaha tenang, berusaha menegarkan hatinya.

Kini semua penglihatan kembali terarah pada kegelapan, Sonya dan Ibunya sudah tidak ada lagi, karena semua yang barusan dia lihat hanyalah sebuah gambaran yang dibuat oleh makhluk hitam berbentuk bola.

Tapi saat di dalam kegelapan ini, makhluk hitam berbentuk bola itu seperti mempunyai tubuh, tubuh yang begitu besar, karena Alviena yakin kalau kegelapan di sekelilingnya itu mencangkup seluruh tubuh kegelapan makhluk itu.

Alviena masih diam terdiri, memperhatikan dua pasang mata merah bernyala berikut deretan gigi-gigi putihnya, dia sedang tersenyum.

"Jadi kamu sudah memilihnya?"