Chereads / Penguasa Kegelapan / Chapter 8 - Sang Dewa Perang

Chapter 8 - Sang Dewa Perang

Seperti berada di dalam dunia lain.

Alviena memandangi sekitarnya, tempat yang begitu asing, terlihat seperti sebuah ruang makan, namun dengan banyaknya meja juga orang di sana yang sedang menikmati hidangannya. Sajian makanan disiapkan oleh para pelayan berpakaian hitam dengan corak garis putih di bagian depan pakaiannya. Melihat dari semua pakaian yang dikenakan oleh orang-orang di sana, Alviena yakin kalau itu buatan bangsa manusia tapi apa benar dia ada di Agalta?

Alviena dapat melihat jelas terik matahari yang menyilaukan matanya dari jendela, berikut suara bising menjerit di antara keramaian, walau hanya sedikit bisa melihat jelas karena terhalang silau sinar matahari, Alviena dapat melihat banyaknya orang yang berlalu-lalang di luar sana. Suara keramaiannya bergema membaur bersama mesin-mesin. Kemudian ketika mata Alviena sudah bisa beradaptasi dengan cahaya matahari, ia bisa melihat jelas dari balik kaca jendela itu berdiri bangunan-bangunan megah yang menjulang tinggi ke langit.

"Aku dimana?"

Dengan pelan dan hati-hati, Alviena melangkahkan kaki, sambil sesekali melihat ke arah orang-orang yang duduk menikmati makanannya. Alviena mengernyitkan keningnya, merasa aneh karena seperti tidak ada yang memperdulikannya berlalu-lalang begitu saja di depan mereka, bahkan untuk menoleh saja tidak.

Dalam keadaan kebingungan, tiba-tiba ada seorang pelayan yang berjalan seperti mau menabraknya, sontak saja Alviena terkesiap, namun anehnya ia tak merasakan apa-apa malahan pelayan itu baru saja menembus dirinya. Seolah tidak percaya dengan hal yang barusan terjadi, Alviena mencoba untuk menyentuh punggung pelayan itu. Kali ini dia percaya, sekuat apapun dan seberusaha apapun, Alviena terus mencoba menyentuh setiap orang di sana, dia sama sekali tidak bisa menyentuh mereka, seakan dia yang sekarang ini berdiri hanyalah raga tanpa tubuh.

Apa yang terjadi?

Alviena gemetar ketakutan. Dia berdiri di tempat yang tidak diketahuinya, di tengah hiruk-piuk keramaian, dan dalam kondisi keadaan tubuh yang tidak dimengertinya.

"Permisi."

Suara tersebut membuat Alviena menoleh ke salah satu sudut di tempat itu, dua orang pria duduk begitu jauh dari pelanggan lain, seolah mereka berdua membuat semuanya terlihat buram dan hanya mereka berdualah yang terlihat jelas.

Kini Alviena tidak bisa memalingkan pandangannya, terutama pada sosok pria berwajah tegas yang mengenakan celana panjang berpakaian kaos hitam lengan pendek yang memperlihat tangan kekarnya. Bukan pada fisiknya yang membuat Alviena tidak bisa memalingkan pandangannya, melainkan pada sebuah pedang besar yang berteger di punggung pria tersebut. Pedang besar yang bahkan tingginya melebihi tinggi Alviena, namun sepertinya tidak ada yang memperdulikan pedang besar itu bahkan sang pelayan yang barusan dipanggil pria berbaju hitam itu sama sekali tidak peduli.

"Untuk apa kau membawaku ke sini?" suara yang terdengar pelan, lembut dan tanpa emosi, tetapi hal itulah yang membuat Alviena terpaku ke arah pria satunya.

Sosok pria yang satunya ini, membaluti seluruh tubuhnya dengan jubah berwarna merah hingga kakinya, bahkan ujung jubahnya terlihat berkilauan keemasan merah berapi. Wajah pria tersebut juga tertutupi oleh tudung jubahnya. Karena penasaran, Alviena mencoba berjalan lebih dekat ke tempat mereka duduk tapi saat Alviena, ingin membungkuk agar bisa melihat wajah pria berjubah merah itu, ada seorang pelayan yang menerobos tubuhnya untuk mengantarkan makanan yang dipesan, hingga membuat Alviena mengurungkan niatnya karena terhalang punggung sang pelayan itu.

"Apa seorang dewa tidak butuh makan?"

Ketika pelayan itu selesai menata makanan di meja dan pergi, pria berbaju hitam langsung menyeruput minumannya, dan mata biru terangnya menatap lekat pada pria berjubah merah yang duduk di hadapannya.

Ada senyum kecil yang terpaut di bibir pria berbaju hitam itu, lalu dengan sangat cepat tangannya bergerak.

Alviena hanya dapat melihat sekilas saja tangan dari pria berbaju hitam itu, dia dengan cepatnya menyingkap tudung jubah si pria berjubah merah. Ada raut wajah kaget dari si pria itu tapi tetap tidak menghilangkan wibawanya yang begitu agung.

"Kau tidak akan bisa makan jika terus menggunakan tudung itu." Ada senyum kecil di sudut bibir pria berbaju hitam. "Wajahmu yang tampan itu sayang sekali jika harus ditutupi"

Tampak rambut berwarna putih berkilau yang dibiarkan memanjang sampai mengenai lehernya, dan menaungi wajah yang sangat sempurna dengan struktur wajah aristrokat yang mempesona, berikut alis mata tebal nan indah, ujung tulang hidung yang mancung dan kulit keemasan pucat, mengeluarkan pesona yang menguar sampai ke Alviena yang terdiri diam memandingi.

Namun ada perasaan takut, ketika Alviena melihat mata emas seperti harimau dengan pupil bernyala merah api yang memiliki tatapan tajam bak burung elang yang hendak memangsa buruannya.

"Aku menyukai tatapanmu itu." kaul pria berbaju hitam itu dibarengi dengan siulan kecil seakan mengejek. "Yogo, kau seorang dewa perangkan?" Dia melanjutkannya sambil menyesap minumannya, namun dengan sorot matanya yang buas dan menakutkan. "Aku dengar kau dapat menghancurkan satu negara hanya seorang diri! Tapi kenapa kau tidak pernah menghancurkan Bumi?"

Sosok berjubah merah itu hanya diam, tetapi seorang gadis yang menonton mereka terperangah.

"Dewa perang! Yogo!" Alviena tergeming, sinar matanya menunjukkan seakan tidak percaya jika laki-laki berjubah itu adalah Yogo, sang dewa perang.

Kemudian kenangan dulu mengingatkan Alviena dengan sebuah cerita...

***

Dulu waktu Alviena masih berumur 4 tahun, ayahnya sering sekali menceritakan sebuah legenda. Diantara banyak legenda, ada satu cerita legenda yang begitu terkenal dan amat dipercayai oleh penduduk dunia Synetsa.

Cerita itu menceritakan tentang para dewa, namun dari banyak dewa hanya ada satu dewa yang begitu dipuja bahkan ditakuti oleh penduduk Synetsa bahkan juga ditakuti oleh kalangan dewa lain. Dia adalah Yogo, sang dewa perang.

Dari cerita yang terus berkembang Yogo, digambarkan sebagai sesosok pria tinggi yang selalu menggunakan jubah, menutupi seluruh badan serta kepalanya, dan kepala yang selalu dibuat menunduk hingga tak ada satu orang pun yang bisa melihat wajah dari seorang dewa perang.

Dalam legenda tersebut, diceritakan kalau dewa perang adalah dewa terkuat dari dewa manapun. Kepribadiannya yang begitu tenang dan sorot tatapan tajam nan agung adalah yang sangat dipuja, dan kebengisan serta kekejamannya adalah yang paling ditakuti.

Kisah tentang betapa dashyatnya kekuatan Yogo masih terngiang di telinga seluruh penduduk Synetsa, kisah yang sudah ada sejak dulu, dan sebuah kisah yang masih terus diceritakan, lalu dari semua kisah yang diceritakan ada satu kata yang melekat di hati seluruh penduduk Synetsa :

'Yogo akan menghancurkan negara manapun yang tidak memujanya.'

Kata itu bagaikan sebuah ancaman sekaligus kutukkan, maka dibuatlah sebuah patung untuk menghormati sekaligus memuja dewa perang. Patung yang dibuat dari batu Palama, batu yang berasal dari gunung kawah berapi. Batu yang begitu kokoh, bahkan lahar api sekalipun tak akan sanggup meluluhkan batu itu.

Penduduk Synetsa mengambil batu itu dari ke dalaman kawah gunung dengan menggunakan semua kekuatan yang mereka punya, bahkan tak sedikit dari mereka harus merenggang nyawa karena terbakar asap panas dari gunung.

Gunung Kilara adalah namanya, merupakan gunung terbesar sekaligus gunung tertinggi di dunia Synetsa. Gunung yang tidak pernah menunjukkan kegiatan erupsi magmatik, tetapi masih memperlihatkan gejala kegiatan vulkanik, seperti kegiatan yang selalu mengeluarkan asap yang begitu panas hingga menyebabkan kehidupan yang berada dalam jangkauan seratus meter dari gunung itu dapat terbakar seketika. Hanya pepohonan kering kehitaman tanpa daun yang masih dapat ditemukan di sekitar gunung Kilara.

Penduduk Synetsa sebelum memasuki wilayah gunung Kilara, mereka membuat sihir pelindung. Namun, pelindung itu tidaklah bertahan lama. Ketika pelindung hancur maka mereka akan mati, lalu kelompok lain akan datang lagi dan meneruskan perjuangan untuk mengambil batu Palama. Dengan sihir pelindung yang sangat lemah itu, mereka terus berjuang dan mempertaruhkan nyawa untuk membuat patung yang mereka hormati dari bahan terbaik.

Mengukir batu Palama sendiri membutuhkan waktu sepuluh tahun lamanya. Patung seorang Dewa Yogo diukir dengan tubuh manusia sempurna, menggunakan jubah yang membalut seluruh tubuhnya, selalu membawa katana yang terselip di pinggang kanannya, kepala yang tertutupi tudung jubah dibuat menunduk, dan tatapan mata diukir begitu tajam membuat patung tersebut begitu agung dan menakutkan.

Sosok asli dewa perang tidak pernah diketahui, bahkan warna jubah yang dikenakannya pun sama sekali tidak diketahui penduduk Synetsa. Hanya lewat sebuah cerita, lukisan, dan ukiran patung yang selalu terdapat disetiap benua juga kotanya lah mereka dapat membayangkan sosok dewa perang secara absurd.

Dan kali ini, tanpa diduga Alviena dapat melihat langsung sosok seorang dewa perang. Seorang pria yang membaluti dirinya dengan jubah berwarna merah, bahkan wajahnya begitu tampan dengan rambut putih lurus mengkilap begitu kontras dengan iris emas dan pupil merahnya.

***

"Yogo,"

Alviena tersadar, kini mengalihkan perhatiannya kepada pria berbaju hitam yang menatap tajam ke arah Yogo.

"Menurutmu apa manusia bisa menikah dengan seorang Dewi?"

Yogo sedikit tergeming, pupil matanya bernyala terang, walaunpun dia terlihat begitu tenang tapi tetap emosinya terlihat jelas dari matanya yang berapi, tetapi ia tetap bisa menjaga sikap tenangnya dan tetap diam.

Merasa diabaikan pria berbaju hitam itu melanjutkan. "Kau tahu Dewi cahaya, kan?" Menatap Yogo dengan santai tanpa terganggu dengan tatapan tajam sang dewa perang, bahkan sudut bibirnya terangkat ke atas. "Dewi Agita. Aku rasa, aku telah jatuh cinta dengannya."

"Jika pedang pembunuh dewa itu tidak ada di tanganmu, aku sudah lama membunuhmu dan menghancurkan Bumi."

Senyum pria berbaju hitam itu berubah menjadi gelak tawa saat mendengar jawaban Yogo yang penuh emosi itu.

Alviena sendiri malah ketakutan, walau yang dia lihat Yogo masih duduk dengan tenang, tetapi sorot mata penuh akan kemurkaan bahkan suara halus bernada dingin yang ia ucapkan barusan seakan mengguncang dunia.

"Apa Agita begitu berharga bagimu Yogo?" suara pria berbaju hitam itu lembut dan tenang, tetapi entah kenapa itu membuat Yogo begitu marah yang terlihat jelas dari nyala api matanya yang kian terang bahkan Alviena dapat merasakan hawa panasnya.

Tetapi pembicaraan mereka juga mengingatkan Alviena tentang dewi cahaya, Agita.

Ibunya sering sekali menceritakan tentang bangsa Elf yang terlahir dari cahaya. Dewi Agita, sang dewi cahaya dengan sisa hidup terakhirnya menciptakan Elf. Ketampanan, kecantikan, dan telinga yang sedikit runcing adalah ciri khas kaum Elf. Dan dari semua itu, Elf dianugerahkan cahaya dari sisa kekuatan Agita sebelum meninggal, hingga membuat Elf menjadi ras yang abadi dan dapat menggunakan sihir.

Tapi dirangkum dari pembicaraan mereka berdua, seolah dewi Agita masih hidup. Bukankah dewi Agita telah meninggal ketika menciptakan Elf? Apa ini di masa lalu?

"Ini bukan masu lalu!"