Hello semuanya.
Happy reading!
__________
7 tahun yang lalu.
"Apa ayahku ada di dalam ruang kerjanya sekarang?" Tanya seorang pria muda yang berparas tampan.
"Beliau sedang berada di kamar tidurnya. Mungkin lima menit lagi beliau akan kembali ke ruang kerjanya." Jawab seorang pria tua dengan kacamata usangnya.
"Baiklah, terima kasih." Ucap pria muda itu sambil menepuk bahu pria tua yang berbicara dengannya.
"Kalau begitu saya undur diri dulu, tuan muda." Ucap pria itu dengan sopan.
"Silahkan." Jawab pria muda itu dengan senyuman tipisnya.
Pria tua yang telah bekerja sebagai sekretaris ayahnya dalam waktu yang lama itu meninggalkan kakak pertama Axton sendirian di depan ruang kerja ayahnya. Dia baru kembali dari Seattle tadi malam dan hari ini pria itu berniat untuk membicarakan seputar pertemuan beberapa hari lalu yang tidak sempat dihadirinya. Menurut laporan dari beberapa direksi yang berada dipihaknya, hasil dari rapat kemarin belum bisa diputuskan karena adiknya Axton masih belum memiliki pengalaman yang cukup untuk memimpin sebuah perusahaan besar.
Oleh karena itu rapat kembali ditunda dan akan diadakan satu bulan lagi sebagai evaluasi untuk mempertimbangkan keputusan penerus perusahaan. Sebenarnya ayahnya itu masih sangat mampu untuk memimpin perusahaan bahkan pria tua itu masih sangat kuat sekali dan dia pikir ayahnya itu masih mampu untuk melawan lima pria muda sekaligus jika sedang bertarung. Dari penampilan saja kita bisa melihat betapa sehat dan bugar ayahnya itu dan ditambah dengan wajah tampan yang tidak banyak berubah meski telah terkikis usia.
Semua orang yang pernah bertemu dengannya selalu merasa penasaran pada ayahnya karena mampu melawan penuaan yang sebenarnya tidak pernah bisa ditolak. Mungkin menurut orang-orang itu ayahnya terlihat jauh lebih muda dari usianya yang sebenarnya dan bahkan empat Mckenzie bersaudara saja masih merasa takjub dengan orang tua mereka. Ibu mereka juga terlihat awet muda dan tidak banyak berubah. Mungkin itu ada pengaruhnya dari kebiasaan ibu mereka yang suka berolahraga dan makan makanan sehat dan bergizi.
Kalau dipikir-pikir ibunya itu tidak pernah melakukan diet karena ayahnya sangat benci jika ibu mereka tidak ikut makan juga saat ayahnya makan. Entahlah, pria tua itu bilang kalau dia benci jika harus makan sendirian tanpa istrinya. Bagi orang lain mungkin memang terdengar romantis tapi dimata empat Mckenzie bersaudara, ayahnya itu adalah sosok yang terlalu pemaksa dan posesif. Mereka bahkan tidak mengerti kenapa ibunya bisa bertahan dengan sifat ayah mereka yang bisa dibilang buruk.
Padahal ibu mereka sangat cantik dan pintar. Pasti banyak sekali pria yang mengantri hanya untuk mendapatkan hati ibu mereka tapi sayangnya ibunya malah jatuh cinta pada pria seperti ayahnya. Bukannya mereka tidak bersyukur, bahkan mereka sangat bersyukur karena tanpa ayah mereka maka empat Mckenzie bersaudara tidak akan pernah ada di dunia ini. Namun terkadang mereka berempat merasa kasihan pada ibu mereka yang harus dikurung selamanya di dalam sangkar emas ini. Ironis sekali bukan.
Hidup di dalam sebuah istana mewah dan menjalani kehidupan yang sempurna tidak bercelah tapi apa ibu mereka benar-benar merasa bahagia selama ini? Mereka bahkan jarang melihat senyuman ibu mereka lagi dalam beberapa tahun belakangan. Apalagi setelah pertengkaran hebat yang terjadi diantara mereka berdua beberapa tahun yang lalu membuat ibunya tampak seperti seseorang yang cuek dan banyak berdiam diri. Mungkin keputusan ayahnya untuk pensiun lebih awal ada kaitannya dengan ibunya.
Entahlah, mereka berempat tidak pernah mengetahui apa yang terjadi pada orang tuanya. Mereka memang satu keluarga namun tidak selalu berada di rumah dan bahkan hanya kembali pada akhir pekan saja. Apalagi adik perempuannya yang berprofesi sebagai artis. Kalian bisa membayangkan sendiri betapa sibuknya aktivitas seorang artis papan atas. Sebenarnya semua adiknya jarang berada di rumah semua kecuali Axton yang masih sekolah.
Berbicara tentang Axton, kakaknya itu sebenarnya selalu merasa khawatir pada hubungan mereka yang semakin memburuk setiap harinya. Apalagi sekarang mereka tinggal di tempat yang terpisah karena sekarang kakaknya memutuskan untuk menetap di Seattle. Andai saja ayahnya tidak berambisi untuk menjadikan Axton sebagai penerus perusahaan maka hubungan mereka tidak akan pernah rusak sampai seperti ini. Mereka pasti akan menjadi kakak beradik yang akur dan saling menyayangi selama ini. Sangat sayang sekali jika impian itu harus dibuangnya jauh-jauh mulai saat ini karena mereka adalah rival sekarang.
Orang lain sering kali menganggapnya sebagai kakak yang egois dan ambisius. Itu memang benar. Dia tidak akan pernah menyangkalnya karena hal itu memang benar adanya. Dia tidak bisa mengalah begitu saja pada adiknya karena harga dirinya sebagai seorang kakak sedang dipertaruhkan sekarang. Dia tidak bisa membayangkan jika dia yang harus bergantung pada adiknya. Padahal seharusnya dia yang memimpin semua adiknya sebagai seorang kakak bukan Axton adik terkecilnya.
Kalau dipikirkan kembali awal mula dari semua masalah ini berasal dari ayahnya. Kalau saja ayahnya tidak egois dengan keinginannya maka semua yang telah terjadi sekarang tidak akan pernah terjadi. Dia sangat yakin sekali kalau mereka akan hidup layaknya sebuah keluarga normal lainnya yang menikmati hidup bersama dengan penuh suka cita. Tanpa ada perkelahian ataupun persaingan di dalamnya. Benar-benar murni dan penuh kasih sayang layaknya hubungan persaudaraan normal lainnya.
Coba bayangkan saja harus hidup di dalam sebuah neraka yang diciptakan oleh ayahnya sendiri untuk selamanya. Tidak ada cahaya ataupun kehangatan disini. Yang ada hanyalah rasa perselisihan dan kebencian yang tumbuh semakin besar setiap harinya. Sejujurnya, perasaan ini sangat menyiksa dirinya hingga ada saat dimana dia ingin berhenti dan menyudahi hidupnya sampai di titik ini namun dia selalu mengurungkan niatnya.
"Kau telah kembali ke rumah, kak." Ucap Axton sambil bersandar ke dinding.
"Oh.. Hai, Ax. Kau belum berangkat ke kampus?" Ucap kakak pertamanya dengan sedikit canggung.
"Sebentar lagi." Jawab Axton sambil menatap kakaknya dengan tatapan dingin.
Kakak pertamanya itu hanya mengangkat kedua alisnya ke atas sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Sudah lama sekali rasanya dia tidak melihat adik terkecilnya lagi. Pertemuan terakhir mereka terjadi di dalam kamarnya karena setelah itu dia pindah ke Seattle secara permanen. Tidak ada alasan khusus kenapa dia tiba-tiba pindah kota dan memutuskan untuk tinggal terpisah dari orang tuanya. Alasannya karena dia merasa kalau sudah seharusnya dia menjalani hidup secara mandiri tanpa bantuan siapapun.
Alasan lainnya mungkin agar Axton bisa tinggal dengan nyaman di dalam rumah ini tanpa harus merasa tertekan karena kehadirannya. Axton membenarkan tas ranselnya lalu berjalan menuju kakak pertamanya. Axton memeluk kakaknya itu sambil menepuk pelan punggung kakak laki-lakinya itu beberapa kali. Walaupun hubungan mereka tidak terlalu baik namun bagi Axton kakaknya itu tetaplah kakak yang dia cintai dan sayangi.
"Long time no see, kak." Ucap Axton setelah pelukan mereka terlepas.
"Bagaimana kabarmu, Ax?" Tanya kakaknya dengan senyuman tulusnya.
"Seperti biasanya." Jawab Axton sambil menarik kedua alisnya ke atas.
"Kau terlihat sangat lelah sekali." Ucap kakaknya sambil memperhatikan wajah pucat Axton.
"Iya, aku belum tidur selama dua hari." Jawab Axton dengan wajah datarnya.
"Masa perkuliahan pasti terasa sangat berat untukmu. Dulu aku juga merasakan hal yang sama denganmu jadi jangan khawatir. Nikmati saja masa mudamu. Jangan disia-siakan karena masa muda hanya terjadi satu kali seumur hidup." Ucap kakaknya sambil menepuk bahu Axton.
Axton hanya menganggukkan kepalanya sambil menatap pria itu dengan tatapan terharu karena untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun kakaknya kembali menaruh perhatian padanya. Biasanya kakaknya hanya akan mengatakan hal-hal yang umum seperti menanyakan kabar, mengatakan kata-kata yang dingin, memerintahkan dirinya untuk menjaga jarak dam kata-kata kejam lainnya. Seperti itulah kakaknya selama ini.
"Bagaimana kehidupanmu di Seattle?" Tanya Axton dengan wajah datarnya.
"Kehidupanku di Seattle sama seperti kehidupanku disini. Aku masih melakukan aktivitas membosankan yang sama dan banyak menghabiskan waktu di kantor." Jawab kakaknya sambil berpikir.
"Kau sudah tinggal sendiri sekarang. Seharusnya kau lebih bisa menikmati hidupmu saat ini." Ucap Axton.
"Ya, seharusnya seperti itu." Ucap kakaknya dengan nada sedih.
Axton hanya diam dan tidak membalas perkataan kakaknya lagi. Dia menatap jam tangan mahal yang melingkar di tangan kanannya. Sekitar tiga puluh menit lagi kelas pertamanya sebagai mahasiswa akan dimulai. Sudah dua hari ini status pelajarnya berubah menjadi mahasiswa dan sudah dua hari juga dia mencoba untuk berbicara dengan ayahnya namun sayangnya sudah dua hari juga dia tidak melihat ayahnya.
Padahal mereka tinggal di rumah yang sama namun anehnya mereka tidak pernah bertemu di rumah. Ayahnya selalu sibuk bekerja dan dia sedang sibuk dengan kegiatannya sebagai mahasiswa baru di kampus. Mereka berdua sama-sama sibuk dengan kegiatan masing-masing hingga sulit sekali rasanya untuk duduk berdua dan membicarakan tentang pertemuan yang terjadi beberapa hari yang lalu.
"Aku harus pergi ke kampus sekarang." Ucap Axton
"Oh iya, Kau harus pergi ke kampus. Aku menahanmu terlalu lama disini ya? Maafkan aku." Ucap kakaknya sambil tertawa.
Axton menatap kakaknya dengan tatapan terkejut. Entah sudah berapa lama dia tidak melihat kakaknya tertawa seperti sekarang. Mungkin dua tahun? Atau lebih? Rasanya seperti sudah lama sekali hingga dia lupa jika kakaknya juga bisa tersenyum dan tertawa dengan tulus layaknya orang normal lainnya. Tanpa sadar Axton menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Perasaan yang telah lama hilang di dalam dirinya muncul kembali secara perlahan. Perasaan itu terasa seperti sesuatu yang telah lama dia rindukan namun dia tidak tahu perasaan itu berasal darimana.
Tapi setelah melihat kakaknya, Axton menjadi sadar kalau perasaan yang hilang itu berasal dari kakaknya. Semua kenangan indah yang mereka lakukan di masa lalu kembali melintas di dalam pikirannya bagai air terjun yang mengalir deras di ujung sungai. Perasaan ini kembali dia rasakan sekarang meskipun dia masih merasa asing dengan perasaan aneh ini. Tapi anehnya dia malah menikmati semua perasaan asing ini. Mungkin ini ada pengaruhnya dari rasa kesepian yang selama ini menjeratnya.
"Makanlah yang banyak dan nikmati masa-masa di kampus. Jangan terlalu memikirkan nilai dan stress dengan kegiatan kampus. Pokoknya nikmati saja ok."
"Baiklah."
"Ya sudah kalau begitu cepat pergi sebelum terlambat." Ucap kakaknya.
"Sampai jumpa, kak." Ucap Axton sambil menatap kakaknya.
"Sampai jumpa."
__________
To be continuous.