Hello semuanya.
Happy reading!
_____________
New York City.
"Apa kau pikir aku ini bodoh?!" Tanya Aaron dengan penuh emosi.
"Iya." Jawab Ansel sambil tertawa.
Aaron memukul kepala bagian belakang Ansel dengan kesal. Semua kesabaran yang dia miliki sudah habis hanya untuk menghadapi Ansel seorang. Dia tidak mengerti harus berapa kali lagi dia memukul dan memarahi Ansel hanya untuk membuat dia mengatakan hal-hal yang sopan kepada para kakaknya yang lebih tua. Anak nakal ini benar-benar tidak pernah merasa kapok ataupun merasa bersalah atas kemarahan para kakaknya dan malah melakukan hal yang sama berulang kali.
Semakin kami merasa marah dan kesal, Ansel akan semakin semangat dan merasa senang. Bahkan sekarang Axton, Dean, Aiden dan Danu sudah benar-benar menyerah pada sikap Ansel dan membiarkan anak itu untuk melakukan apapun yang dia suka dan inginkan selagi hal itu tidak merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. Namun menurut Aaron, semua yang Ansel lakukan adalah hal-hal yang sangat merugikan.
Contohnya saja sekarang, perkataan anak nakal ini benar-benar sangat merugikan kesehatan Aaron karena dia terus menerus marah dan mengeluarkan tenaganya untuk hal yang sia-sia. Axton dan Aiden hanya tersenyum miring sambil menggelengkan kepala mereka dengan lelah. Entah sampai kapan mereka harus menyaksikan pertengkaran yang selalu terjadi di antara Aaron dan Ansel.
Dari dulu sampai sekarang, hanya mereka berdua lah yang terus bertengkar dan membenci satu sama lain. Namun anehnya mereka selalu berbaikan dan bersikap seolah-olah mereka tidak pernah bertengkar sebelumnya. Ini benar-benar lucu sekali karena mereka semua bisa berteman dengan baik meskipun mereka semua memiliki sifat yang sangat berbeda dan bahkan cenderung bertolak belakang.
"AW!!" Teriak Ansel sambil menatap Aaron dengan tatapan marah.
"Kenapa kau selalu memukulku, sih?!" Tanya Ansel dengan penuh emosi
"Harus berapa kali aku bilang untuk bersikap sopan pada kami yang lebih tua darimu!" Ucap Aaron sambil menatap Ansel dengan tatapan tajam.
"Aku tidak pernah melakukan hal yang tidak sopan pada kalian!" Ucap Ansel dengan penuh pembelaan.
"Tapi ucapanmu itu benar-benar tidak sopan!" Ucap Aaron dengan kesal.
"Aku mengatakan hal yang sebenarnya." Ucap Ansel dengan jujur.
"Yang kau katakan itu omong kosong. Atas dasar apa yang memperbolehkan mu mengatakan omong kosong seperti itu?" Ucap Aaron dengan kesal.
"Hey ayolah, bro. Kita ini kan tumbuh besar dan hidup di Amerika jadi kita memiliki banyak kebebasan untuk berpendapat dan bersikap selagi tidak merugikan pihak manapun." Ucap Ansel dengan santai.
Aaron memegang kepalanya yang mulai berdenyut dengan kuat. Dia sudah tidak tahu lagi harus bagaimana dan melakukan apa pada Ansel. Sepertinya dia juga akan menyerah dan membiarkan Ansel melakukan apapun yang dia mau lakukan. Dia sudah sangat lelah dan kini dia semakin lelah karena tingkah laku dan perkataan Ansel yang semakin hari semakin gila.
"Baiklah, terserah kau mau mengatakan dan melakukan apa. Aku tidak peduli." Ucap Aaron dengan lelah.
"Sudah selesai?" Tanya Aiden dengan senyuman gelinya.
"Aku rasa sudah." Jawab Axton dengan yakin.
"Nah, sekarang ayo saling minta maaf." Ucap Aiden sambil menatap Aaron dan Ansel secara bergantian.
"Aku menolak karena aku tidak bersalah." Ucap Ansel dengan tegas.
"Aku juga menolak karena hanya dia yang bersalah." Ucap Aaron dengan tak kalah tegas.
"Kalian berdua sama-sama bersalah dan harus saling meminta maaf satu sama lain." Ucap Aiden dengan tegas.
Aaron dan Ansel saling menatap satu sama lain tanpa mengucapkan apapun. Ego mereka terlalu tinggi hanya untuk sekedar mengatakan kata maaf untuk satu sama lain. Jangankan melakukan hal yang luar biasa seperti itu, untuk mengakui kesalahan mereka masing-masing saja sangat susah untuk mereka lakukan.
"Ansel, kau telah mengatakan hal yang buruk pada Aaron dengan mengatakan dia bodoh." Ucap Aiden sambil menatap Ansel.
Ansel memutar kedua bola matanya lalu menatap Aaron dengan tatapan jengah.
"Aaron, kau telah melakukan hal yang buruk pada Ansel dengan memukulnya." Ucap Aiden lagi sambil menatap Aaron.
Aaron menghembuskan napasnya dengan kasar lalu membuang mukanya ke arah lain.
"Apa kalian berdua masih tidak ingin mengakui kesalahan kalian masing-masing?" Tanya Aiden sambil mengangkat kedua alisnya ke atas.
Ansel menatap Aaron sedangkan Aaron menatap kearah lain sambil menghembuskan napasnya dengan kasar lagi dan lagi. Axton menyilangkan kedua tangannya didepan dada sambil menatap Aaron dan Ansel yang dari tadi hanya berdiam diri. Pertengkaran konyol diantara mereka berdua selalu berhasil membuat Axton tertarik untuk ikut campur.
Bagi Axton yang jarang sekali tertarik ataupun memberikan sebuah reaksi terhadap sesuatu, pertengkaran yang terjadi di antara Aaron dan Ansel adalah salah satu hal yang bisa membuatnya berhenti sejenak dari pikirannya yang rumit dan bercabang. Ada semacam hiburan tersendiri untuk dirinya yang memiliki rasa humor yang sangat rendah atau tinggi? Entahlah dia tidak pernah tertarik pada hal-hal semacam itu.
"Kalian hanya menghabiskan waktu saja kalau terus bersikap seperti ini." Ucap Aiden dengan dingin.
"Maafkan aku, bro." Ucap Ansel dengan setengah hati.
"Aku juga minta maaf." Ucap Aaron dengan tidak tulus.
"Well, setidaknya kalian telah saling meminta maaf dan mengakui kesalahan kalian walaupun terdengar sangat tidak tulus." Ucap Aiden dengan jujur dan tajam.
Aaron dan Ansel terkejut lalu bergerak dengan canggung karena mereka sama-sama takut jika Aiden akan marah dan memukul mereka berdua. Di masa lalu Aiden sangat pemarah dan kasar hingga mereka selalu merasa takut jika Aiden kembali tak terkendali seperti dulu. Pokoknya sangat mengerikan untuk dibayangkan.
"Maafkan aku, bro. Aku menyesal telah mengatakan kau bodoh meski aku tidak bisa menjamin kalau aku tidak akan mengejekmu lagi di masa depan." Ucap Ansel sambil memeluk Aaron.
"Aku juga minta maaf karena terus memukulmu dan terkadang menendangmu. Aku juga tidak bisa menjamin kalau aku tidak akan melakukannya lagi di masa depan tapi setidaknya maafkan aku." Ucap Aaron sambil membalas pelukan Ansel.
"I love you, bro." Ucap Ansel dengan tulus.
"I love you too my little brother." Balas Aaron dengan tulus.
"Baiklah, dengan ini aku menyatakan kalau masalah ini telah selesai." Ucap Aiden sambil menepuk tangannya satu kali.
Axton hanya tersenyum miring sambil menatap Aaron dan Ansel yang kini kembali ceria dan hangat kepada satu sama lain. Kira-kira seperti inilah akhir dari pertengkaran mereka. Aaron dan Ansel akan selalu bertengkar di setiap kesempatan lalu Aiden dan Dean akan selalu menjadi penengah dan membereskan semua masalah yang terjadi di antara Aaron dan Ansel. Kemudian dirinya dan Danu akan selalu menjadi penonton yang bahkan tidak tertarik untuk ikut campur.
Anehnya hal ini akan selalu terjadi berulang kali. Axton juga tidak mengerti kenapa pola seperti ini tercipta di dalam pertemanan mereka. Dia juga tidak mengetahui kapan tepatnya hal-hal konyol ini terjadi karena seiring dengan berjalannya waktu, pola ini tiba-tiba tercipta dan bertahan sampai kini. Ini benar-benar aneh tapi nyata.
"Kalian tidak ingin mendengar kelanjutan dari cerita Axton?" Tanya Aiden sambil menatap Aaron dan Ansel secara bergantian.
"Ah iya! Aku hampir lupa!" Ucap Ansel sambil menepuk dahinya.
"Ini karena kita bertengkar tadi." Ucap Aaron yang ternyata juga melupakan hal itu.
"Kalau begitu ayo kita lanjutkan." Ucap Ansel sambil kembali duduk di atas sofa dengan manis.
"Ayo, bro. Tunggu apa lagi?" Tanya Aaron yang sudah duduk di atas sofa juga.
Aiden hanya terkekeh sambil menatap Axton yang menatapnya dengan tatapan yang menjelaskan kalau Axton merasa kesal karena Aiden mengingatkan mereka tentang kelanjutan cerita masa lalunya. Damn you, Aiden. I'm gonna kill you. Just wait and see. Axton menghembuskan napasnya dengan kasar sambil mencoba menyusun kata-kata yang tepat untuk menceritakan kembali masa lalunya.
"Setelah aku meninggalkannya aku pergi ke rooftop untuk mendengarkan musik dan membaca buku." Ucap Axton dengan tenang.
Aaron dan Ansel menatap Axton dengan tatapan yang serius dan mendengarkan kata demi kata yang keluar dari dalam mulut Axton sedangkan Aiden yang mengetahui cerita itu tengah sibuk menghisap cerutu yang baru saja dinyalakan. Mereka bukan termasuk perokok berat namun kalau sudah stress dan merasa frustasi, mereka sanggup menghabiskan dua bungkus lebih dalam sehari.
Sama halnya dengan minuman alkohol. Mereka tidak terlalu sering meminum minuman beralkohol karena mereka tidak mau pekerjaan mereka menjadi kacau dan hancur tapi jika mereka merasa stress dan kehilangan arah maka minuman beralkohol menjadi salah satu pelarian mereka. Itu memang tidak bagus untuk ditiru tapi mereka tidak punya pilihan selain melakukan kedua hal tersebut.
"Aku mulai merasa tidak nyaman karena dia terus mengganggu pikiranku oleh karena itu aku selalu berusaha untuk menjauhinya." Ucap Axton lagi sambil mengingat kembali perasaannya saat itu.
"Lalu apa kau benar-benar menjauhinya?" Tanya Ansel dengan penasaran.
Axton menjilat bibirnya yang kering sambil meletakkan kedua jarinya di dagu. Satu per satu ingatan yang ingin dia kubur dalam-dalam kembali muncul dan berputar layaknya sebuah komedi putar yang terus berputar tanpa henti. Ingatan acak itu membuatnya kembali merasakan rasa yang sempat hilang dari hatinya. Dia merasa hampa dan kosong.
Seperti ada yang hilang dari bagian tubuhnya. Dia berongga dan tidak utuh. Rasa ini terasa sangat menyiksa. Sesak. Hilang. Dimana dia sekarang? Apa dia juga merasakan hal yang sama seperti yang dia rasakan sekarang? Apa dia juga merasakan rindu yang menyiksa seperti yang dia rasakan sekarang? Atau tidak sama sekali? Tolong jawab aku dari suatu tempat, Sarah.
"Aku.."
______________
To be continuous.