Hello semuanya.
Happy reading!.
_______________
Delapan tahun yang lalu.
"Hey kamu sudah dengar belum?" Tanya seorang siswi berambut ikal.
"Dengar apa?" Tanya para siswi lain yang berada disekitarnya.
"Ada dua murid baru seperti kita yang memiliki wajah yang sangat tampan!" Jawab anak perempuan itu dengan penuh semangat.
"Kya~. Apa benar mereka memiliki wajah yang sangat tampan?" Tanya siswi lain dengan bersemangat.
"Iya!" Jawab anak perempuan berambut ikal itu dengan penuh semangat.
Cih! Dasar para perempuan lebay! Sarah mendengus kesal sambil memperhatikan arahan dari bapak kepala sekolah yang sedang menyampaikan pidato penerimaan murid baru tahun ajaran baru. Benar, seperti yang kalian pikirkan. Dia baru saja masuk sekolah menengah atas yang baru alias SMA. Dia baru pindah sekolah sebagai murid pindahan dan ya benar dia adalah murid tahun terakhir yang pindah karena sebuah masalah di sekolah lama.
Sarah mengusap keringatnya yang membasahi dahinya dengan gerakan kasar sambil mengerutkan dahinya dengan kesal. Para perempuan yang bergosip di sebelahnya ini tidak bisa berhenti berbicara sampai sekarang dan rasanya dia ingin sekali melayangkan sepatu yang tengah dipakainya ke wajah full make up perempuan itu.
Memangnya setampan apa sih laki-laki itu sampai mereka heboh seperti itu? Lagian juga yang mana sih orangnya? Sejauh matanya memandang tidak ada yang setampan yang mereka bicarakan itu. Dasar terlalu berlebihan!
"Cih!"
Sarah menahan amarah nya sambil menarik napas nya dalam-dalam lalu mengeluarkannya lagi dengan cepat. Dia harus memulai hari-hari baru disekolah sebagai anak yang baik dan anggun karena kisahnya saat SMP dulu cukup hancur dan err berantakan.
Kalian pasti sangat penasaran dengan apa yang terjadi dulu tapi dia tidak mau terburu-buru dalam menceritakannya karena kita masih punya banyak waktu untuk membahas banyak hal yang selama ini ingin kalian ketahui.
"Thank you."
Akhirnya pidato itu selesai juga dan para siswa dan siswi bisa masuk ke dalam kelas masing-masing setelah mendapatkan peta letak ruangan belajar di sekolah elit dan luas ini. Bayangkan saja sekolahnya seberapa luas jika semua murid nya diberi peta seperti ini. Oh god.. Lebih baik tidak usah dibayangkan daripada ujung-ujungnya kalian pusing sendiri.
"Kelas pertama adalah Biologi." Ucap Sarah sambil memperhatikan peta yang tengah dia pegang dengan seksama.
Sarah menghembuskan napasnya dengan kasar lalu mengacak-acak rambutnya dengan sangat frustasi. Dia paling tidak suka kalau harus baca peta seperti ini. Apalagi kalau gambarnya kecil seperti ini. Hah!. Bagaimana dia bisa melihat dengan jelas kelasnya dimana?!.
"Habis lah aku!" Ucap Sarah lagi dengan nada frustasi.
Sarah menghentak-hentakkan kedua kakinya ke tanah dengan keras. Sumpah demi apapun dia belum pernah merasa frustasi seperti ini sebelumnya. Ya, maksudnya sih tidak apa-apa kesusahan sedikit tapi kenapa harus disaat yang penting seperti ini sih?!.
"Ya Tuhan! Yang mana lagi kelasnya?!" Tanya Sarah pada dirinya sendiri dengan panik.
Sarah menolehkan wajahnya ke kanan dan ke kiri untuk mencari bantuan pada seseorang namun nampaknya orang lain tengah sibuk pada kegiatan dan urusan mereka masing-masing. Sarah menghembuskan nafasnya dengan kasar.
Sepertinya keputusannya untuk sekolah disini sudah salah besar. Benar kata orang tuanya lebih baik dia tetap berada di California dan sekolah disana atau pindah ke London bersama keluarga besarnya dan sekolah disana.
"Tidak Sarah. Kau pasti bisa hidup mandiri. Ayo kita pasti bisa!" Ucap Sarah dengan penuh semangat.
Keputusannya sudah benar. Dia harus mulai hidup mandiri dengan jauh dari kedua orang tuanya dan New York adalah pilihan pertama dalam hidupnya karena selama ini orang tuanya lah yang selalu menentukan jalan hidupnya. Sampai baju yang dipakainya sehari-hari saja masih dipilihkan oleh ibunya. Bukan berarti Sarah adalah anak manja atau apa tapi dia memang tidak punya pilihan untuk memilih. Orang tuanya sudah mengatur kehidupannya sedemikian rupa agar selalu terlihat sempurna.
"Akhirnya aku menemukannya!" Teriak Sarah dengan sangat gembira.
Sarah melangkahkan kakinya dengan penuh semangat dan percaya diri. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya dia merasa sangat bahagia berada di sekolah. Mungkin karena dia jauh dari orang tuanya jadi guru maupun kepala sekolah tidak memperlakukan dia dengan berbeda dan spesial.
Ah, kalau dipikir-pikir lagi mungkin karena itu juga sih dia akhirnya memutuskan untuk pindah dan tinggal sendirian di New York. Tapi dia juga harus berterima kasih pada bibi Mona yang mau bersedia pindah juga bersama dengan dirinya hingga kedua orang tuanya mengizinkan hal paling nekad dalam hidupnya ini.
Sarah duduk di kursi kosong yang terletak paling belakang karena kursi lainnya sudah penuh. Pelajaran akan dimulai tiga puluh menit lagi tapi murid lainnya sudah sibuk membuka buku mereka dan diskusi bersama orang yang ada di sebelahnya.
"Sekolah elit dan mewah memang beda." Ucap Sarah sambil tersenyum tipis.
Sarah menatap ke arah jendela yang berada tepat di sampingnya. Walaupun tidak begitu jelas namun Sarah masih dapat melihat pohon besar yang tumbuh dengan subur diluar sana. Dia jadi berpikir kalau pohon saja bisa tumbuh dengan baik sendirian, kenapa dia tidak bisa?
Brak!.
Sarah langsung tersentak kaget lalu menatap orang yang tiba-tiba duduk di sebelahnya tanpa basa basi ataupun mengatakan permisi lagi dengan tatapan kesal sedangkan pria yang ditatapnya tetap bersikap cuek dan acuh seperti tidak melihat Sarah disampingnya.
"HEY!" Teriak Sarah dengan marah sambil mendorong lengan pria itu dengan kuat.
pria itu menoleh lalu menatap Sarah dengan tatapan datarnya tanpa berniat ingin membalas perkataan Sarah sedangkan orang lain sudah memusatkan perhatian mereka pada dua orang yang tengah memanas itu.
Sarah langsung membulatkan kedua matanya dengan terkejut saat dia bisa melihat dengan jelas wajah pria itu. Sepasang mata yang tajam dan teduh, hidung yang mancung dan ramping, sepasang alis yang tebal, bulu mata yang lentik, rambut tebal yang tertata rapi, dan bibir yang ketebalannya sangat pas sekali di wajahnya.
Tunggu. Dia sedang tidak bermimpi kan? Apa ada seorang pangeran di sekolah mereka? Apa malaikat bentuknya seperti ini?. Kalau ada malaikat berarti dia sudah mati dong?! Tidak. Ini pasti hanya halusinasimu saja!. Sarah tanpa sadar membuka mulutnya sambil menatap pria itu dengan tatapan kagum sedangkan pria itu hanya mengedipkan kedua matanya dengan gerakan yang sangat berkelas dan angkuh lalu menolehkan lagi wajahnya ke arah depan tanpa mengatakan sepatah kata apapun lagi. Nampaknya dia tidak tertarik dengan apa yang akan Sarah katakan.
Semua orang juga sudah kembali mengerjakan urusan dan aktivitas mereka masing-masing karena Sarah malah termenung dan diam di tempatnya. Apa ini? Kenapa rasa amarahnya langsung hilang seketika? Kemana api yang berkobar-kobar tadi?!
"Kau!" Ucap Sarah lagi dengan ragu.
Pria itu hanya menghela nafasnya lalu kembali fokus pada buku yang dibacanya tanpa berniat ingin menanggapi perkataan Sarah. Nampaknya pria itu sedikit menyesal karena memilih bangku kosong disebelah Sarah padahal di depan masih ada bangku yang kosong. Sial.
"Kenapa kau tidak minta maaf padaku?!" Tanya Sarah sambil mengerutkan dahinya dengan kesal.
"Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku?!" Tanya Sarah lagi dengan kesal.
"Apa kau tidak bisa bicara?!" Tanya Sarah lagi dengan kecepatan yang sangat luar biasa.
"Apa kau lagi sariawan?! Atau lagi sakit gigi?! Apa mulutmu bau?! Kau tidak sikat gigi ya pagi tadi?!" Tanya Sarah pada pria itu tanpa jeda.
Pria itu mengeluarkan earphone miliknya dari dalam saku jaketnya lalu memasang benda itu di kedua telinganya dengan santai dan cuek sedangkan Sarah langsung melebarkan kedua matanya karena tidak percaya pada apa yang baru saja dia lihat.
"Hah! Aku tidak percaya ini!" Ucap Sarah sambil membuka mulutnya dengan kesal.
"Lihat saja apa yang bisa aku lakukan padamu!" Ucap Sarah dengan sangat kesal.
Sarah menarik kabel earphone yang tengah pria itu pakai dengan gerakan yang sangat cepat sehingga pria itu langsung meringis lalu menatap Sarah dengan tatapan tajam. Sarah langsung tertawa dengan keras sambil menunjuk wajah pria itu yang kini terlihat sangat kesal.
"Ini akibatnya jika kau mengabaikan orang lain." Ucap Sarah dengan penuh kemenangan.
Pria itu menghembuskan napasnya dengan kasar lalu berdiri. Dia sempat melirik Sarah sekilas lalu pergi meninggalkan kelas tanpa mengatakan apa-apa lagi. Sarah yang melihat itu langsung terkejut dan merasa bersalah dengan apa yang telah dia lakukan.
"Tunggu!" Teriak Sarah sambil melambaikan tangannya.
Namun pria itu tetap berjalan sambil membawa bukunya tanpa berniat mau menoleh lagi atau berbalik. Sarah menghembuskan napasnya sambil menatap earphone yang tengah dia pegang sekarang dengan tatapan bersalah.
"Aku harus bagaimana.." Tanya Sarah pada dirinya sendiri.
________________
To be continuous.