Chapter 17 - ANCAMAN

Anjeli menatap layar ponsel yang diperlihatkan padanya. Anjeli syok melihat foto siapa yang terpampang di sana. Anjeli ketakutan. Bahkan sejak kejadian itu, dia trauma untuk pergi ke kampus apalagi ke kamar mandi kampus.

"Ingat ya An. Foto ini akan aku kirimkan pada Mirza jika kamu berani melaporkan kejadian waktu itu pada polisi."

"Kamu benar-benar biadab Rom." Anjeli menangis melihat tangan Romi yang masih memegang ponselnya itu.

"Kamu yang membuat aku seperti sekarang. Kenapa kamu menikah dengan Mirza ha? hanya karena harta kan? Kamu tahu Mirza itu lebih buruk dari yang kamu fikirkan."

"Cukup Rom. Jangan jelek-jelekkan Mas Mirza. "

"Hahaha.. Kamu sudah dibutakan oleh harta An. Hingga kamu tidak tahu seburuk apa suamimu. Kamu tidak tahu kemana suamimu pergi saat ini, kan?"

Anjeli ingin pergi tapi lengannya di cengkram oleh Romi.

"Aww.." Anjeli merasakan perih di pergelangan tangannya. Dia berharap ada orang yang datang membantunya.  Ya Anjeli sekarang berada di kelas yang entah kenapa jadi sepi mahasiswa.

"Kenapa kamu menerima Mirza An? Padahal aku sangat mencintaimu." Tiba-tiba cengkraman Romi mengendur. Romi tertunduk berjongkok di hadapan Anjeli. Kedua tangannya meremas rambutnya sendiri.

"Aku tidak perlu mengungkapkan alasan apapun padamu."

"Tapi aku butuh alasannya.. Aku mencintaimu sudah sejak lama. Aku tak berani mendekatimu karena aku merasa tak pantas. Ketika aku tahu kamu menikah dengan Mirza, hatiku sakit." Melihat Romi seperti itu, membuat Anjeli pelan-pelan menggeser langkahnya ke dekat pintu.  Anjeli menarik handel pintu dengan posisi tubuhnya membelakangi pintu. Anjeli melihat Romi yang masih tertunduk pun akhirnya bisa keluar dari ruangan itu. Anjeli berlari sambil menahan airmatanya agar tidak keluar.

Romi membiarkan Anjeli pergi. Padahal ia bisa saja mengurung Anjeli di dalam kelas. Tapi tidak akan dia lakukan.

"Jeli....!!!!" Teriak Riana pada Anjeli yang terlihat berlari-lari.

"Ri....Aku takut." Ucap Anjeli sambil memeluk sahabatnya itu.

"Tenang Jel. Ada apa?"

"Kenapa kamu ninggalin aku sendiri di kelas tadi?"

"Kata Fahmi Kelasnya pindah. Pak Heri yang meminta. Aku kira kamu ada di belakangku tadi. Maafkan aku Ya."

"Romi Ri..Dia menyekapku lagi."

"Apa? Jel.. Kita harus lapor polisi. Kamu akan merasa ketakutan terus seperti ini. Jika kamu tidak melapor."

"Jangan Ri. Dia mengancamku dengan foto. Kalau aku melapor pada polisi, dia akan mengirimkan foto itu pada Mas Mirza. Karena dia kenal Mas Mirza." Anjeli terisak.

"Brengsek itu Romi!!! Sudah-sudah ayo kita pulang saja. Kamu tidak akan bisa kuliah jika seperti ini." Riana merangkul sahabatnya ini dan memberikan ketenangan.

Saat berada di kamar kos Riana, ponsel Anjeli berbunyi.

"Mas Mirza??" ucap Anjeli saat melihat nama yang tertera di panggilan teleponnya.

"Assalamualaikum, Mas."

"Waalaikusalam. An, kamu dimana? Kenapa rumah sepi sekali?"

"Mas kemana saja? Kenapa tidak pernah memberi kabar? ponselnya juga tidak aktif."

"Aku sudah menyuruh Beni pemberitahuan. Apa dia tidak menemuimu?"

"Tidak Mas."

"Kamu kenapa An? kamu menangis? Kamu dimana sekarang? Aku akan menjemputmu."

"Aku di tempat kos sahabatku Mas. Aku tidak berani di rumah sendirian." Mendengar hal itu, Mirza heran kenapa semua yang diperintahkan pada Beni tidak satupun yang dikerjakan. Bahkan Mirza sudah menyuruh mengirim penjaga di rumahnya. Dan Beni juga tidak tampak batang hidungnya sejak dia masuk panti rehabilitasi.

"Kirim alamatnya sekarang ya An. Aku akan menjemputmu. Mas akan menjelaskan nanti."

"Iya mas." Anjeli mengirimkan lokasi saat ini ia berada.

"Suamimu akan menjemput?"

"Iya Ri."

"Kamu harus ceritakan semuanya pada suamimu sebelum Romi yang menceritakan lebih dulu."

"Iya Ri. Tapi kalau Romi nekat mengatakan pada Mas Mirza bagaimana?"

"Kamu tidak perlu takut. Dia hanya menggertakmu saja. Suamimu pasti akan lebih percaya sama kamu. Jika dia tulus mencintaimu."

"Iya Ri. Aku akan menceritakan pada Mas Mirza. Makasih ya Ri. Kamu sudah menampungku selama Mas Mirza tidak ada."

Anjeli mengemasi barang-barangnya. Sejak kejadian itu, Anjeli tinggal di kos Riana. Apakah dia bisa berterus terang pada suaminya?

Tak lama ada suara ibu kos yang memanggil Riana. Anjeli dan Riana keluar untuk menemui Mirza. Anjeli tampak terpesona dengan penampilan baru suaminya. Mirza memakai baju koko. Dan Rambutnya terpotong dengan rapi.

"Assalamualaikum,Mas." Ucap Anjeli sambil mencium punggung tangan suaminya.

"Waalaikumsalam An."

Riana sampai melongo melihat suami Anjeli. Tidak hanya tampan, tapi juga kaya. Mobil Toyuta Alpahard warna putih yang bertengger di depan kosnya itu membuat para mahasiswi yang berlalu lalang tak bisa tidak menoleh ke arah suami Anjeli.

"Ri, Aku pulang dulu ya."

"Iya, An. Hati-hati."

"Terimakasih ya Mbak. Sudah menjaga istri saya."Ucap Mirza sopan.

"Sama-sama Mas."

Mirza menggandeng tangan Anjeli mesra. Membuat orang-orang yang lewat menatap iri pada Anjeli. Laki-laki yang menggandeng Anjeli begitu mempesona mereka. Apalagi dengan baju koko warna putih membuat Aura positif Mirza keluar.

"Kamu kenapa An? dari tadi murung terus?maafin aku ya. Karena meninggalkanmu."

"Tidak apa-apa."Anjeli menatap lurus ke arah ke depan. Mirza sesekali melirik wajah Anjeli yang begitu pucat.

"Kamu sudah makan?" Anjeli menggeleng.

"Kita mampir restoran dulu ya. Kamu harus makan yang banyak biar tidak pucat seperti ini. Apa uang bulananmu kurang An? Sampai kamu seperti kurang makan saat mas tinggal?" Goda Mirza sambil berusaha mencairkan suasana. Dia memang merasa ada sesuatu yang terjadi pada Anjeli. Tapi dia akan menunggu Anjeli bicara.

"Cukup koq Mas. Lebih malah. Aku hanya tidak nafsu makan saja."

"Maafkan aku ya An. Aku pergi karena ingin memperbaiki diri. Aku kadang minder sama kamu. Karena belum bisa jadi imam yang baik buat kamu."

"Tidak apa-apa mas." Anjeli masih takut dengan kejadian waktu itu. Dia menatap suaminya sekilas. Apakah dia akan mencetitakan semuanya pada Mirza? Ataukah dia akan menyimpannya sendiri?

"An, sebenarnya ada apa denganmu?kamu tidak seperti biasanya."

"Maaf mas."

"Ya sudah kita makan dulu ya. Setelah itu kamu bisa bicara sama aku." Anjeli hanya mengangguk. Dia sangat tertekan dan takut.

'Berserah dirilah pada Allah Anjeli. Hanya dia yang maha menolong. Hatus kuat. Katakan semuanya pada Mirza. Jujurlah.' Kata hati Anjeli berkata demikian.

"Mas."

"Iya An. Ada apa? Kamu sudah selesai makannya?" Tanya Mirza saat mereka sedang menikmati ayam bakar di sebuah restoran.

"Sudah Mas. Ada yang perlu aku bicarakan sama mas."

"Bicaralah An."

"Aku... emm.. " Anjeli merasa enggan untuk berbicara.

"Kita ngobrol di rumah saja ya." Mirza menangkap sesuatu yang lain dari Anjeli. Anjeli yang biasanya tersenyum hangat kepadanya, hari ini senyum itu tidak dia temukan. Entah apa yang terjadi pada Anjeli. Banyak pertanyaan di kepala Mirza.