Mirza kembali ke rumah saat waktu hampir tengah malam. Dia memarkirkan mobilnya dan membuka pintu rumahnya dengan kunci cadangan yang dia pegang. Rumahnya terlihat sangat sepi dan kotor. Karena sudah satu bulan ditinggalkan pemiliknya.
Mirza berjalan menuju kamarnya yang lampunya masih menyala. Mirza berfikir mungkin Anjeli masih terjaga.
ceklek..
Anjeli duduk dengan ketakutan, dan kemudian menghela nafas lega setelah ternyata yang masuk adalah suaminya. Ada perasaan lega ketika suaminya sudah pulang.
"Mas... " Anjeli beranjak lalu memeluk suaminya dengan erat.
"Tenang Anjeli.. Aku sudah pulang. Maaf aku sudah meninggalkanmu sendiri. Kenapa kamu ketakutan?"
"Dari tadi ada yang mengetuk-ngetuk pintu rumah Mas. Kadang juga beralih ke jendela kamar. Aku takut mas." Anjeli tidak sedikitpun melepaskan pelukannya dari Mirza.
"Sebentar mas periksa dulu ya." Mirza melepas pelukan Anjeli, lalu berjalan untuk membuka jendela kamarnya. Mirza memeriksa balkon dan ketika pandangannya tertuju pada pot bunga dibagian sudut balkon yang ambruk seperti ada yang menyenggolnya. Mirza menjadi curiga kalau mungkin benar ada orang yang berusaha menteror dia dan istrinya.
"Tidak ada apa-apa koq." Ucap Mirza berbohong, agar Anjeli tidak ketakutan lagi. Saat dia menutup pintu jendela.
"Tapi tadi aku dengar dengan jelas mas. Ada yang mengetuk jendela kamar beberapa kali."
"Mungkin kamu salah dengar. Sudah sekarang tidur ya. Mas akan menemani kamu. Tidak usah takut."
"Bagaimana dengan Romi, mas?" Mirza terdiam saat Anjeli menanyakan perihal Romi. Sebenarnya tadi dia ingin langsung ke kantor polisi tapi karena Anjeli selaku korban tidak ikut bersamanya, jadi dia urungkan.
"Dia menghilang. Mas akan mencarinya lagi besok. Besok kita lapor polisi ya."
"Jangan mas.. Jangan lapor polisi. Aku takut Romi dendam sama aku. Aku takut Mas." Anjeli tak bisa lagi menguasai rasa takutnya sendiri. Bayangan Romi yang menindihnya selalu saja menghantui pikirannya.
"Tapi nanti kalau dia nekat lagi bagaimana?"
"Pokoknya janji mas jangan lapor polisi. Aku takut."
"Iya-iya." Mirza mengiyakan ucapan istrinya. Dia akan membuat laporan ke polisi saat Anjeli sudah tenang dan sudah tidak trauma lagi. Mirza menggandeng Anjeli untuk tidur dan merebahkan tubuhnya di dekat Anjeli.
"Mas... aku takut."
"Sini aku peluk." Ucap Mirza sambil menarik tubuh Anjeli mendekat ke tubuhnya.
Mirza tak dapat memejamkan matanya sepanjang malam. Dia terjaga untuk melindungi Anjeli. Wanitanya ini tampak gelisah di dalam tidur. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi hingga Romi dan Beni tiba-tiba saja menghilang. Apakah Mirza akan melaporkan Romi ke kantor polisi? tidak mungkin jika Anjeli sendiri tidak siap untuk memberi kesaksian akibat rasa traumanya yang belum hilang. Lagipula dia tidak tahu dimana Romi saat ini.
"Ash-Shalatu khairum minan naum"
Sayup-sayup terdengar suara adzan subuh berkumandang. Anjeli mengerjapkan matanya. Dilihatnya sang suami yang duduk sambil tertidur. Sepertinya Mirza sangat kelelahan. Tapi dia akan mencoba membangunkan sang suami.
"Mas, Bangun mas.. Sudah subuh." Anjeli menggoyangkan tubuh Mirza pelan.
"Ah iya An. Sudah subuh ya?"
"Iya mas. Yuk sholat dulu."
Mirza dan Anjeli mengambil air wudhu, lalu sholat berjamaah di kamar mereka.
"Bagaimana perasaanmu, An? Apa sudah lebih baik?" Tanya Mirza saat mereka telah selesai menjalankan sholat subuh.
"Alhamdulillah sudah mas."
"Berarti kamu siap memberi kesaksian pada polisi?" Anjeli menggeleng. Aku belum siap bertemu Romi Mas. Selama sebulan ini dia tidak berangkat ke kampus. Tapi kemarin sebelum mas menjemput, dia tiba-tiba muncul lagi di kampus. Dia mengancamku. Aku takut kalau tadi malam yang mengetuk ketuk jendela itu Romi, Mas."
"Tidak An. Tidak mungkin sembarang orang bisa masuk rumah kita ini." Mirza tiba-tiba terpikir untuk mengecek cctv rumahnya. Barangkali yang dibicarakan Anjeli memang benar.
"Tapi aku benar mendengarnya Mas."
"Ya sudah sekarang kita cek cctvnya ya."
"Iya Mas." Mereka masuk ke dalam ruang kerja Mirza. Untung saja sebelum dia rehab, ruang kerjanya ini telah bersih dari barang haram.
Mirza menyalakan monitor yang terhubung dengan kamera cctv yang ada di setiap sudut rumah besarnya itu. Dia dan Anjeli mengamati semua rekaman dan tidak ada satupun jejak yang menunjukkan ada orang masuk.
"Mas, lihat itu." Tunjuk Anjeli pada salah satu rekaman tetapi hanya terlihat bayangan hitam saja yang tertangkap kamera.
"Hanya bayangan hitam An. Bagaimana bisa kita menyelidikinya."
"Mas harus meminta bantuan security perumahan untuk menjaga rumah kita, Mas. Sepertinya ada yang ingin masuk ke rumah kita. Dan aku takut itu Romi, Mas."
"Satu-satunya orang yang kita curigai memang hanya dia."
"Huk..." Anjeli tiba-tiba merasakan mual, dia berlari menuju toilet yang ada di samping ruang kerja Mirza. Mirza yang menyadari istrinya tiba-tiba membekap mulutnya sendiri sambil berlari membuat dia panik dan mengejarnya.
"Hoek hoek hoek.." Anjeli menumpahkan isi perutnya di dalam toilet. Dia merasa lemas karena rasa mual yang tidak juga hilang. Mirza segera mencari minyak kayu putih di kotak obat dan dioleskan di leher dan tengkuk Anjeli.
"Masih mual An?" Tanya Mirza yang diikuti gelengan kepala Anjeli.
"Aku ke kamar dulu ya mas."
"Mas antar ya." Mirza menggandeng Anjeli masuk ke dalam kamar pribadi mereka. Anjeli merebahkan tubuhnya dengan nafas terengah engah.
"Aku bikinin teh hangat dulu ya." Anjeli mengangguk. Mirza segera pergi ke dapur untuk membuatkan teh hangat untuk Anjeli.
Tak butuh waktu lama bagi Mirza untuk membuatkan teh hangat untuk istrinya. Mirza khawatir saat Anjeli sakit seperti ini.
"Ayo di minum dulu tehnya."
"Iya, Mas. Makasih."
"Nanti Aku panggilkan dokter pribadiku ke sini ya. Biar kamu bisa dicek segera."
"Iya Mas." Mirza segera menelpon dokter pribadinya untuk datang memeriksa kondisi sang istri.
Kira-kira satu jam kemudian, Dokter Sony datang ke rumah Mirza. Sebenarnya Anjeli sungkan jika ternyata dokter pribadi Mirza adalah laki-laki. Tapi dokter itu sepertinya paham untuk tidak menyentuh Anjeli secara langsung.
"Kapan Bu Anjeli terakhir mendapatkan tamu bulanan?"
"Tanggal 20 Desember Dok."
"Ini sudah tanggal 5 Februari Bu Anjeli. Berarti anda sudah terlambat datang bulan.
"Jadi saya hamil dok?"
"Coba bu Anjeli tes dulu dengan test pack ya. Barangkali Bu Anjeli hamil."
"Iya Dok." Anjeli segera ke kamar mandi untuk mengecek apakah dia hamil atau tidak. Mirza juga harap-harap cemas apakah Anjeli hamil atau tidak.
"Tenang saja Mirza, kamu tidak usah tegang begitu." Ucap Sony menggoda Mirza yang nampak tegang sedari tadi.
"Iya, Dok." Setelah itu, Anjeli keluar dari kamar mandi sambil membawa benda pipih panjang ditangannya.
"Positif Mas."
"Alhamdulillah." Mirza nampak bahagia mendengar kehamilan istrinya. Tapi tidak dengan Anjeli. Dia takut dengan sesuatu dengan ketidaktahuannya. Sesuatu yang luput dari kesadarannya.
"Selamat ya. Perkiraan usia kehamilannya enam mingguan. Tapi sebaiknya kamu cek ke dokter kandungan, Za.
"Iya Dok, Terimakasih."
**
"Kenapa kamu malah sedih, An?" Tanya Mirza setelah Dokter Sony meninggalkan rumahnya.
"Tidak apa-apa, Mas." Mirza menangkap kecemasan di mata Anjeli. Entah apa yang membuat Anjeli seperti itu.
"Ting Tong Ting Tong". Tiba-tiba ada suara bel tanda ada tamu yang berkunjung.
"Sebentar aku tinggal dulu ya." Anjeli mengangguk.
Ceklek..
Betapa terkejutnya Mirza mendapati dua orang polisi dan beberapa orang berkemeja seperti pegawai bank datang ke rumahnya.
"Maaf Apa kami bisa bertemu dengan Saudara Mirza?"
"Ya saya sendiri, Pak."
"Kami membawa surat penyitaan atas rumah anda. Mohon untuk mengosongkan rumah Anda segera."
"Lho ada apa ini Pak?" Mirza membaca surat penyitaan atas rumahnya. Surat itu tertulis dengan jelas.
'Ya Allah ujian apa lagi ini? Haruskah aku putus asa dengan semua ini?'