Mirza akhirnya pulang ke rumah ibunya Anjeli. Sepertinya sudah tidak ada harapan lagi untuk dia mempertahankan rumah dan perusahaan. Karena memang jelas kepemilikannya sudah berpindah ke orang lain. Dan yang ia punya saat ini hanya mobil dan tabungan yang tidak seberapa.
Mirza tidak masalah kalau harus memulai semuanya dari nol, yang dia pikirkan adalah pengobatan ibunya Anjeli. Dari mana dia akan mendapatkan uang untuk membiayai pengobatan ibunya Anjeli yang setiap bulan harus kontrol. Dan setiap enam bulan harus kontrol ke Cina. Tapi mungkin dia akan bernegosiasi dengan dokter di sini agar ibunya Anjeli sementara kontrolnya di rumah sakit yang ada di Indonesia saja.
Mirza juga baru tahu kenyataan bahwa Beni menghilang sejak pulang setelah mengantarkan dia ke bandara waktu itu. Jika memang mobil yang dikendarai oleh Beni mengalami kecelakaan sampai terbakar, seharusnya Beni juga ada di dalam. Tetapi kata Tante Siska, jasad Beni tidak ditemukan di dalam mobil yang terbakar itu. Kebetulan memang lokasi terbakarnya mobil itu ada di tepi sungai. Tetapi kalau terjatuh di sungai, jasadnya juga tidak diketemukan. Mirza bertambah pusing memikirkan semuanya.
"Assalamualaikum." Ucap Mirza sambil mengetuk pintu rumah yang kelihatan sepi.
"Waalaikumsalam." Ucap seorang perempuan dari dalam rumah. Amelia Adik Anjeli.
"Eh kak Mirza sudah pulang. Tapi kak Anjeli belum pulang mas. Tadi baru berangkat kuliah jam satu siang. "
"Oh ya sudah tidak apa-apa Dek. Kakak boleh di sini dulu kan?"
"Tentu saja boleh kak. Sebentar saya panggilkan ibu ya."
"Ibu sedang apa Dek?"
"Sedang istirahat di kamar Kak."
"Ya sudah kalau Ibu sedang istirahat, jangan diganggu karena kasihan beliau."
"Istirahat di kamar kaka Anjeli saja kak. kamar kak Anjeli kosong kok."
"Iya dek nanti kakak akan ke sana. Kakak memang sedang capek."
"Bentar ya kak, Aku bikinin minum dulu ya. "
"Ya Dek Terima kasih ya."
Memang sejak tadi Mirza belum sempat minum dan makan. Fokusnya hanya untuk mencari kejelasan tentang perusahaan dan rumahnya. Yang sampai saat ini dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia seperti orang bodoh sekarang. Tidak tahu apa-apa dan sepertinya sedang dikendalikan oleh seseorang. Apa yang melatarbelakangi kedua kakaknya sampai tega melakukan semua ini padanya.
"Kak Mirza ini tehnya. Silakan diminum. Aku tinggal dulu ya Kak. Aku mau ngerjain PR di kamar."
"Iya dek. Nanti Kak Mirza langsung ke kamarnya kak Anjeli. Soalnya kepala Kak Mirza lagi pusing banget."
"Iya Kak silakan. Tidak usah sungkan." Amelia meninggalkan Mirza seorang diri di ruang tamu. Setelah menghabiskan minumannya, Mirza mencari kamar Anjeli. Dia ingin merebahkan tubuhnya yang begitu lelah. Capek hati dan capek pikiran.
Mirza memandangi langit-langit kamar Anjeli dengan perasaan yang tidak menentu. Tiba-tiba Mirza mengingat nasehat Ustadz waktu dia berada di Panti rehabilitasi. Ustadz itu mengatakan entah surat apa Mirza lupa. Tetapi dia selalu ingat ayat itu. Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.
Saat ini dia sudah kehilangan perusahaan dan juga rumah mewah nya. Dia berencana akan menjual semua perabotan yang ada di dalam rumahnya. Percuma kalau dia harus membawa semua perabotan itu ke tempat yang baru. Jadi lebih baik dijual dan uangnya bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Lelaki itu terpikir untuk mencari rumah yang lokasinya dekat dengan orang tuanya Anjeli. Dan itu bisa dilakukan setelah menjual mobilnya.
Mirza kemudian menghubungi salah satu temannya yang punya showroom mobil bekas.
"Halo Dicky, Gue mau jual mobil gue nih. "
"Emangnya kenapa Za? Mau ganti model baru ya? "
"Enggak kok. Cuma mau jual aja. Dan kalau lo ada mobil bekas yang murah boleh deh buat gue aja."
"Serius lo?"
"Iya serius gue. Nanti sore gue ke showroom lo ya. Nanti gue bawa mobilnya."
"Oke Za. Gue tunggu ya." Jika mobil itu dijual, Mirza masih bisa membeli rumah dan juga mobil yang lebih murah. Dan juga untuk modal usaha. Karena saat ini dia membutuhkan uang untuk kebutuhan sehari-harinya. Kepala Mirza rasanya mau pecah. Memikirkan semuanya seorang diri. Entah apa yang dipikirkan kedua Kakaknya saat ini. Apakah mereka masih bisa tidur nyenyak setiap malam sedangkan adiknya dalam kesusahan seperti ini? Ingin sekali Mirza berkata seperti itu di hadapan kedua Kakaknya. Tetapi sampai saat ini dia masih belum tahu keberadaan kedua kakaknya.
Mirza berusaha untuk memejamkan matanya. Dia akan istirahat untuk melepaskan semua kepenatan. Sambil menunggu waktu sore untuk bertemu dengan Dicky.
Pukul tiga sore, Anjeli sudah sampai di rumah, Betapa terkejutnya dia ketika membuka pintu kamar dan mendapati suaminya sedang tertidur pulas. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Tumben jam segini Mirza sudah pulang. Pikir Anjeli. Perempuan itu berharap nanti Mirza akan mau terbuka dengannya.
"Mas Mirza, bangun mas. Shalat Ashar dulu." Anjeli menggoyangkan tubuh Mirza pelan. Berharap suaminya itu akan bangun. Setelah berhasil membangunkan, Mirza kemudian mengusap matanya pelan. Dilihatnya sosok Anjeli berada di depannya saat ini.
"Kamu sudah pulang An?"
"Iya Mas sudah baru saja sampai. Mas Capek ya? Sampai tidurnya pulas seperti itu."
"Iya An. Mas bener-bener capek sekali. Ternyata tidak hanya rumah yang disita, perusahaan juga dijual." Ucap Mirza tertunduk lesu.
"Apa Mas? " mendadak kepala Anjeli terasa pusing. Hampir saja dia terjatuh kalau bukan Mirza yang menopang tubuhnya.
"Maafkan mas ya karena seharusnya mas tidak menceritakan semua ini sama kamu."
Tidak apa-apa Mas. Setidaknya aku jadi tahu apa yang menyebabkan Mas Mirza sedih sekali. Memangnya siapa yang melakukan semua ini? "
"Kemungkinan kedua kakakku An. Mereka menjual semuanya tanpa sepengetahuanku. Entah untuk tujuan apa. Tapi mereka tiba-tiba saja menghilang. Dan Beni orang kepercayaanku juga hilang. Satu yang aku tahu perusahaanku sekarang dibeli oleh Romi."
"Romi? laki-laki jahat itu? Apa jangan-jangan ini semua rencana dia Mas? "
"Entahlah, yang jelas dia mempunyai bukti pembelian perusahaan. Dan ternyata dia adalah anak seorang pengusaha kaya raya. Katanya kakak ku yang menawarkan perusahaan itu kepada mereka. Jadilah sekarang perusahaan kami dibeli oleh Romi. Entahlah aku sama sekali tidak bisa berpikir jernih. Tetapi kalau waktuku hanya habis untuk mengurusi semua itu, bagaimana aku bisa melanjutkan hidupku? Aku bisa saja membayar pengacara untuk mengurus semuanya. Tapi pasti akan membutuhkan banyak uang. Daripada untuk membayar pengacara, Lebih baik aku gunakan untuk menata hidupku kedepannya. Benar tidak An? Aku memilih ikhlas."
"Iya iya betul Mas. Tapi Mas juga harus mencari keadilan. Aku hanya khawatir Romi yang merebut perusahaanmu dengan cara yang curang."
"Aku sudah tidak peduli lagi An. Sekarang yang paling penting adalah aku bisa tetap menafkahimu dan juga membiayai pengobatan ibumu. InsyaAllah nanti sore mobilku akan aku jual. Hasil penjualan mobil nanti kita berikan rumah dan juga mobil yang murah untuk keseharian kita. Kamu tidak keberatan kan?"
"Tentu saja tidak keberatan mas. Tidak perlu khawatir. Aku akan selalu mendampingi Mas. Percayalah Mas tidak sendiri kok."
"Terima kasih Anjeli." Mirza memeluk istrinya dengan erat. Di satu sisi dia merasa gagal menjadi seorang kepala keluarga, tapi di sisi lain dia mempunyai istri yang begitu baik hatinya. Yang setia mendampinginya meski dalam keadaan terpuruk sekalipun.