"Non Anjeli, Mas Romi sudah menunggu di ruang makan. Non disuruh untuk makan bersama dengannya."
"Saya tidak mau Bik. Saya ingin di kamar saja. Saya tidak mau makan bersamaannya."
"Baiklah kalau begitu. Nanti akan bibi sampaikan ke Mas Romi."
"Terima kasih. Maaf kalau saya merepotkan."
"Tidak apa-apa non. Nanti Bibi bawakan makan ke sini." Anjeli hanya diam, sejak dia hamil memang dia sering lapar. Walaupun rasanya tidak nafsu makan, namun dia tidak bisa mengingkari kalau perutnya lapar. Anjeli hanya tidak mau makan bersama satu meja dengan Romi. Tiba-tiba saja pikirannya Ingat kepada Mirza. Sedang apakah suaminya di luar sana. Sudah sarapan atau belum dirinya.
"Kenapa kamu tidak mau makan bersamaku di ruang makan?" Anjeli memalingkan wajahnya. Dia tak mau melihat Romi sedikitpun. "Aku bawakan makanan buat kamu. Ayo dimakan dulu."
"Aku tidak mau."
"Ayolah Anjeli, kamu harus makan. Demi anak kita."
"Cukup Rom. Ini bukan anak kamu. Aku muak mendengar kata-katamu itu."
"Baiklah terserah kamu. Ayo makanlah. Aku suapin ya."
"Tidak perlu.. aku bisa makan sendiri." Romi tersenyum, rupanya taktik yang dia jalankan berhasil memaksa Anjeli untuk makan.
"Ya sudah kamu makan. Nanti aku ajak ke dokter ya. Kamu harus periksakan kandunganmu."
"Hemm." Anjeli tak ingin berbicara panjang lebar dengan Romi. Rasa bencinya pada Romi melebihi apapun. Kalau saja dia tidak dalam kondisi hamil, mungkin dia akan loncat dari balkon, melarikan diri dari rumah ini.
Romi meninggalkan Anjeli. Tidak apa-apa jika sekarang Anjeli tak mau menatapnya atau berlaku baik padanya, Ia yakin suatu saat Anjeli pasti mau menerimanya dan berterimakasih padanya.
"Hallo, kamu sudah urus semuanya?"
"....."
"Bagus.. tolong bantu dia."
"....."
"Tolong bawa dia keluar Jakarta dulu. Biar Anjeli di sini dulu bersamaku.
Romi menghela nafas lega. Dia ingin memastikan bahwa semuanya berjalan sesuai dengan rencananya. Setelah menyelesaikan sarapannya, Romi masuk ke dalam kamar Anjeli. Semua yang dia lakukan ini semata-mata hanya untuk Anjeli. Kalau dibilang memanfaatkan situasi memang benar. Tapi toh pada akhirnya dia tahu kemana cinta sejati akan berlabuh kembali. Dia hanya ingin memanfaatkan waktu tiga tahunnya ini bersama Anjeli.
Ceklek..
Anjeli kaget, saat Romi masuk. Buru-buru dia mengambil jilbabnya. Meski sekilas Romi telah melihatnya.
"Bisa ga sih sebelum masuk, kamu ketuk pintu dulu?" Anjeli merasa kesal karena Romi seenaknya saja masuk ke dalam kamarnya.
"Ini rumahku, tak ada aturan tuan rumah harus mengetuk pintu dulu. Aku bebas melakukan apapun di dalam rumahku, An."
"Tapi aku tidak suka jika ada orang asal nyelonong masuk ke dalam kamar yang aku tempati."
"Kenapa? kamu malu, aku melihatmu tanpa hijab?"
"Kamu bukan mahromku, jadi tak boleh aku menunjukkan rambutku di depanku."
"Ya sudah kalau begitu, kamu jadi istriku saja. Biar aku bebas melihatmu auratmu."
"Yang sopan sedikit kalau bicara Rom. Jangan asal kalau ngomong."
"Aku serius An.. Aku bisa membuatmu berpisah dengan Mirza saat ini juga kalau aku mau. Dan aku akan memaksamu menikah denganku."
"Kamu pikir semudah itu memisahkan aku dengan mas Mirza? Tidak semudah itu, Rom."
"Mudah saja bagiku, Tak ada yang sulit menurutku." Romi tersenyum menggoda membuat Anjeli bertambah muak.
"Gila kamu!"
"Sudah ayo berangkat. Kita harus periksa kandunganmu. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengan bayimu."
Kali ini Anjeli menurut karena dia ingin melihat perkembanagan janinnya. Dia sudah tak peduli lagi dengan Romi.
Romi mendahului Anjeli. Karena pasti Anjeli tak mau beriringan dengannya. Apapun akan ia lakukan demi Anjeli.
Di rumah sakit
Dokter mengoleskan gel diperut Anjeli lalu mulai terlihat kondisi janin dalam perut Anjeli. Walau masih sangat kecil, tapi Anjeli bahagia bisa melihat calon anaknya yang sedang berkembang di dalam rahimnya.
Romi ikut melihat di layar televisi yang terhubung dengan USG.Dia pun ikut senang melihatnya. Dia tak dapat melihat Anjeli karena tertutup tirai. Hanya bisa melihat hasil USG di layar televisi.
"Bagaimana kandungan istri saya Dok?" Ucap Romi saat Dokter selesai melakukan pemeriksaan pada Anjeli. Sedangkan Anjeli yang sedang merapikan gamisnya di dalam, nampak risih ketika mendengar Romi menyebut dirinya istri.
'Dasar orang gila. Mau sampai kapan dia ngehalu.'
"Alhamdulillah baik. Berkembang sesuai usianya. Tolong dijaga istrinya ya Pak. Jangan sampai stres. Nanti saya kasih vitamin untuk istri bapak."
"Terimakasih Dok."
Anjeli dan Romi berjalan beriringan di lorong rumah sakit. Anjeli berharap bisa kabur dari Romi saat di luar rumah seperti ini. Anjeli mengamati sekitar dan merencanakan bagaimana caranya agar bisa kabur dari Romi.
"Jangan coba-coba kabur dariku, An. Tidak semudah itu kamu pergi dariku." Ucap Romi yang membuat Anjeli putus asa karena Romi tahu apa yang sedang ia pikirkan.
"Tahu aja kamu, apa yang aku pikirkan. Iya aku mau kabut dari orang gila sepertimu. Aku muak sama kamu."
"Ya sudah sana kalau mau kabur. Jangan salahkan aku kalau ada orang jahat di luar sana yang akan menangkapmu. Mereka tidak akan memperlakukanmu sebaik aku." Romi tersenyum. Memang benar apa yang dia katakan. Tapi Romi membuat apa yang dia ucapkan itu seolah candaan. Agar Anjeli tidak panik.
******
Mirza mencoba menata hidupnya setelah Anjeli di bawa pergi darinya. Dia harus fokus dengan usahanya saat ini sambil memikirkan bagaimana caranya mengambil Anjeli lagi dari tangan Romi. Dia telah mendapatkan lokasi tempat usaha untuk tempat cucian motornya. Sudah satu minggu ini Mirza sudah mulai membangun usahanya. Mirza sudah mulai mendapat pelanggan. Dia mengumpulkan rupiah dari usahanya ini.
Pikiran Mirza jelas terbagi dua. Antara bekerja dan mencari Anjeli. Mirza hanya bisa mencari seorang diri setiap dia selesai bekerja. Dia sama sekali tidak punya orang dekat untuk membantunya mencari Anjeli.
"Permisi, saya mau cuci motor Mas."
"Iya Mas." Mirza yang sedang duduk menunduk akhirnya mendongak.
Betapa terkejutnya dia saat melihat sosok yang dia cari selama ini. Saksi kunci dari semua yang terjadi dalam hidupnya. Orang yang dikira oleh keluarganya telah meninggal dunia karena mobil yang dikendarainya terbakar.
"Bagaimana kabarnya Bos?"
"Beni?"