Anjeli bosan setiap hari harus berada di dalam kamar ini. Meski semua fasilitas ada di dalam kamarnya, tapi tetap saja tidak bisa menghilangkan rasa bosannya. Remot televisi yang ia pegang, hanya dia gunakan untuk mengganti chanel berulang kali. Tanpa ada yang serius ia tonton.
Sudah satu bulan ia hidup di dalam sangkar emas ini. Ya begitulah Anjeli mengibaratkan kamar yang saat ini ia tempati. Begitu luas dan mewah dan berbagai macam fasilitas ada di dalam kamar ini. Dirinya mirip seekor burung yang berada di dalam sangkar emas.
"Dek, kapan ya kita bisa bertemu dengan Ayahmu? Kamu pasti merindukan Ayah ya? Sabar ya semoga saja kita bisa cepat keluar dari sini dan bertemu dengan Ayah." Ucap Anjeli sambil mengusap perutnya yang sudah mulai membuncit. Saat ini usia kandungannya sudah menginjak 3 bulan. Dari usia kehamilan saja sudah terlihat bahwa anak yang ada dalam kandungannya saat ini bukan anaknya Romi. Tetapi sampai saat ini, Romi selalu saja menganggap bahwa yang ada dalam kandungan Anjeli adalah anaknya. Dan Anjeli selalu merasa risih ketika Romi berulang kali menyebut sebagai anaknya.
Ceklek,
Anjeli kaget saat mendengar bunyi seseorang membuka pintu. Kemungkinannya hanya dua asisten rumah tangga atau Romi yang masuk. Dan perbedaannya jika pelayan mengetuk pintu terlebih dahulu, Romi justru melakukan sebaliknya. Dan saat ini yang masuk ke dalam kamarnya adalah Romi. Meskipun sampai saat ini Romi tidak pernah bersikap macam-macam, tetapi Anjeli selalu waspada setiap kali Romi menghampirinya.
"Mau apalagi kamu kesini?"
"Memangnya aku salah menemui Ibu dari calon anakku?"
"Sudah cukup Rom. Sampai kapan kamu akan berhalusinasi seperti itu. Anak yang aku kandung itu bukan anakmu."
"Aku mau ajak kamu jalan-jalan keluar. Hanya jalan-jalan di tepi kolam renang saja. Karena aku tidak bisa mengajakmu pergi ke tempat keramaian. Terlalu berisiko untukmu." Romi selalu mengalihkan pembicaraan setiap kali Anjeli menolak menyebut anaknya sebagai anaknya Romi.
"Memangnya ada apa sih sebenarnya? Kenapa aku tidak bisa keluar dari rumahmu? Kenapa aku tidak boleh bertemu dengan Mas Mirza? Aku tidak mau dikurung selamanya di sini. Aku harus kembali pada suamiku Rom."
"Kamu ini keras kepala sekali ya, An. Sudah aku bilang, aku tidak pernah punya niat jahat sama kamu. Tolonglah bersikaplah yang manis. Aku hanya ingin kamu bertahan di sisiku tidak lama kok. Aku mohon." Romi tiba-tiba saja berlutut dihadapan Anjeli yang saat ini sedang duduk di sofa yang disediakan khusus untuknya menonton televisi. Anjeli tersentak dibuatnya.
"Apa-apaan kamu? Kenapa kamu selalu saja bersikap seperti ini?"
"Aku mohon Anjeli, aku tahu sampai kapanpun aku tidak akan pernah bisa memilikimu. Tetapi tolonglah tetaplah berada di sisiku tidak lama kok. Hanya 3 tahun saja bahkan mungkin kurang dari itu. Tergantung Tuhan." Sampai saat ini Romi belum memberitahukan kepada Anjeli tentang penyakit yang ia derita. Baginya Anjeli adalah penyemangat hidupnya. Mungkin dengan adanya Anjeli bisa memberikan kebahagiaan di sisa akhir hidupnya.
"Tiga tahun itu lama Romi, anakku sudah berusia 2 tahun saat itu kalau memang benar aku harus berada di sini selama tiga tahun. Bagaimana dengan suamiku? bagaimana dengan keluargaku? "
"Kamu tidak usah khawatir dengan keadaan Mirza. Dia baik-baik saja, Aku pastikan dia tidak akan kekurangan apapun di luar sana. Dan untuk keluargamu sudah ada orang suruhanku yang menjaga mereka. Sekaligus mengantar jemput ibumu untuk berobat ke rumah sakit. Kamu tidak perlu khawatir dengan semuanya itu. Kamu cukup berada disini disampingku hingga waktu itu tiba."
"Aku tidak mengerti maksudmu Rom?Aku ini istri orang. Bagaimana aku bisa bersama orang yang tidak ada hubungan apapun denganku? bagaimana bisa aku tinggal seatap dengan orang yang bukan mahramku?"
"Apa kamu mau seatap dengan mahrommu? Itu berarti kamu mau menikah denganku? "
Plakkk!!! Anjeli menampar Romi. Anjeli menarik tangannya, menyesal karena telah menyentuh Romi.
"Jangan pernah mimpi untuk menjadikan aku sebagai istrimu Rom. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah mau menjadi istrimu."
"Ya sudah. Aku tahu jawaban itu yang akan keluar dari mulutmu. Tapi satu hal yang harus kamu tahu, sampai kapanpun aku tidak akan pernah membiarkanmu keluar dari rumah ini. Dan aku yakin suatu hari nanti perlahan kamu akan membuka hati untukku."
Anjeli enggan untuk menjawab. Seberapa sering dia menampar Romi, tak pernah membuat laki-laki itu jera. Anjeli selalu saja dibuat emosi ketika berhadapan dengan Romi. Tapi laki-laki itu tidak pernah menyerah untuk mendapatkan hatinya.
"Ayo, aku ajak kamu duduk di tepi kolam renang. Setidaknya agar kamu tidak bosan di kamar terus. Besok pagi aku ajak kamu berjalan-jalan di halaman depan ya. Setiap pagi kamu harus berjemur. Itu bagus untuk kesehatanmu. Daripada kamu berada di kamar terus menerus."
"Nah itu kamu tahu. Lalu kenapa kamu mengurungku terus di dalam sini. Padahal sederhana saja kan, kamu cukup melepaskan aku dari rumahmu."
"Tidak akan pernah aku lakukan Anjeli. Sampai waktu itu tiba." Anjeli bertambah pusing dengan ucapan Romi yang terus saja mengatakan hal itu. Hal yang tidak pernah dia tahu apa alasannya dan apa maksudnya.
Akhirnya Anjeli menuruti apa kata Romi, dia mau diajak keluar walaupun hanya duduk-duduk di dekat kolam renang. Tetapi di sana Anjeli masih bisa melihat langit yang sudah gelap dan hanya diterangi oleh cahaya bintang dan bulan. Tapi setidaknya bisa mengurangi rasa jenuh di hati Anjeli.
"Apakah kamu merasa senang sekarang?"
"Aku tidak akan pernah merasa senang jika aku belum bertemu lagi dengan suamiku."
"Cukup Anjeli!! Berhentilah untuk mengatakan itu. Aku hanya menyuruhmu untuk tetap tinggal bersamaku, tidak lama. Tapi tolonglah kamu jangan selalu saja menyebut nama Mirza di depanku. Jika sudah saatnya nanti aku akan mengembalikanmu pada Mirza. Tolonglah bantu aku. Aww!!! Sakit!!" Romi tiba-tiba memegang kepalanya mencengkeramnya dan merintih kesakitan.
"Kamu Kenapa Rom?" Anjeli yang berada di sampingnya tiba-tiba panik melihat Romi yang begitu kesakitan dan memegang kepalanya.
"Bibi!"Anjeli berteriak memanggil Bibi Neneng. Dan sesaat kemudian Neneng datang, dan saat melihat Romi kesakitan sambil memegang kepalanya, Neneng tahu apa yang harus dilakukan. Dia segera ke kamar Romi untuk mengambil obat yang dibutuhkan laki-laki itu saat ini.
"Ayo Mas Romi di minum dulu obatnya."
"Terima kasih Bi." Romi pun meminum obat tersebut, dan sesaat kemudian dia merasa jauh lebih baik. Romi menyandarkan tubuhnya di tembok. Anjeli yang melihat keadaan Romi saat ini merasa iba dalam hati dia bertanya-tanya apa sebenarnya yang terjadi pada Romi? Apakah ini ada hubungannya dengan 3 tahun yang diberikan padanya?"
*********