Chapter 31 - KABUR

Anjeli memberanikan diri menemui Romi yang beberapa hari tergolek lemah di tempat tidurnya. Bibi yang membantu di rumah Romi tidak bersedia mengatakan yang sebenarnya.

"Bi, apa bibi mau menemani saya melihat keadaan Romi?"

"Iya Non. Mas Romi pasti senang Non Anjeli mau menjenguknya.

"Terimakasih Bi." Anjeli dan Bibi Neneng berjalan beriringan menuju ke kamar Romi. Anjeli menunduk sambil memilin ujung jilbabnya. Tampak ragu, namun dia hanya ingin tahu keadaan Romi.

"Tok tok tok." Bik Neneng mengetuk pintu kamar Romi.

"Masuk." Sayup-sayup terdengar suara dari dalam kamar. Yang menandakan Romi mengizinkan mereka untuk masuk.

Ceklek.. Bi Neneng menarik handle pintu.

"Mas Romi, Non Anjeli ingin bertemu Mas Romi." Romi yang sedang berbaring di tempat tidur menoleh ke arah pintu kamar dimana Anjeli dan Bik Neneng berdiri. Anjeli menatap sekilas wajah Romi yang tampak pucat. Dia terlihat lemah tidak seperti biasanya.

"Saya tinggal ya Non."

"Jangan Bik. Bibik di sini saja bersama kami. Anjeli pasti tidak mau hanya berdua denganku di sini." Sergah Romi yang membuat Anjeli mendongak. Romi tahu apa yang dia pikirkan.

"Iya Mas Romi."

"Duduk di sana Bik. Jangan berdiri di situ." Titah Romi pada Bik Neneng agak mau duduk di sofa yang tersedia di sudut kamarnya. Kamar yang luas dengan warna monochrom yang mendominasi.

"Iya Mas Romi." Bik Neneng duduk di sofa, sedangkan Anjeli berjalan mendekati Romi. Mengambil kursi kayu berwarna putih dan di letakkan di samping ranjang.

"Kamu baik-baik saja, Rom?"

"Seperti yang kamu lihat. Tapi tidak usah khawatir. Aku akan baik-baik saja. Kamu tidak perlu cemas seperti itu. Lihat wajahmu kelihatan sedih begitu." Romi sedikit menggoda Anjeli. Ya dia selalu menghibur dirinya dengan bersikap percaya diri kalau juga Anjeli mencintainya. Walau ia tahu, hal itu tak akan pernah terjadi.

"Sakit saja masih sok ke PD an ya kamu. Siapa juga yang cemas sama kamu. Kalau kamu sakit, siapa yang akan mengantarkan aku bertemu Mas Mirza? hanya itu koq." Anjeli memalingkan wajahnya. Seolah benar-benar tak peduli dengan keadaan Romi.

"Hahaha.. Kamu ini bisa saja An. Tenang saja. Aku akan mengantarmu menemui Mirza dua tahun, lima bulan dua puluh hari lagi."

"Memangnya kamu menghitung setiap hari yang aku lewati?"

"Iya itu lihat saja kalender mejaku. Bahkan aku sudah memesan kalender tiga tahun. Karena setiap hari yang aku habiskan bersamamu itu sangat berarti An." wajah Romi berubah mendung.

"Tapi aku ini istri orang Rom."

"Aku tidak peduli. Seperti halnya takdir yang tidak pernah berpihak padaku."

"Kenapa ngomong seperti itu?"

"Kamu tidak tahu apa yang aku rasakan An. Sudahlah. Kalau kamu ke sini hanya membicarakan hal itu, lebih baik aku tidur saja. Aku kira kamu benar-benar mencemaskan aku."

"Rom.."

"Hemm..Kenapa manggil-manggil. Jangan sok perhatian." Romi memiringkan badannya memunggungi Anjeli.

"Sebenarnya kamu sakit apa sih Rom? Apa ini ada hubungungannya dengan waktu 3tahun?"

"Sudah sana kembali ke kamarmu An. Kita bukan pasangan halal. Jadi jangan berlama-lama di kamarku." Romi enggan menjawab. Dia justru menggoda Anjeli agar perempuan itu mau pergi dari kamarnya.

"Sekarang bisa bilang begitu. Kemarin-kemarin kemana saja kamu? Setiap hari masuk kamarku tanpa izin juga."

"Grokkk grookkk..."

"Ya Bik, dia malah mendengkur. Cepat sekali tidurnya."

"Mas Romi memang begitu Non. Cepat sekali tidurnya."

"Ya sudah bik, saya kembali ke kamar saja. Percuma ngomong sama orang tidur." Anjeli merasa kesal, lagi-lagi dia tidak mendapat jawaban atas keresahan hatinya.

Romi tersenyum mendengar nada suara Anjeli yang terdengar kesal. Padahal dia hanya berpura-pura tidur agar Anjeli tidak bertanya macam-macam padanya.

Anjeli berdiri di balik jendela kamarnya. Dia hanya bisa melihat suasana di luar dari balik kaca jendela. Kamarnya ada di lantai dua. Dan dia bisa melihat orang yang berlalu lalang dari tempatnya berdiri. Tiba-tiba ada penjual rujak yang berhenti di ujung jalan. Spontan dia keluar kamar dan menuruni tangga.

"Bibik... bibik.." Tak ada sahutan.

"Pelayan pada kemana ya? Sepi sekali rumah ini." Anjeli membuka pintu rumah lalu melihat satpam yang berdiri di depan pos. Menghampiri lelaki paruh baya itu.

"Pak, saya mau keluar sebentar. Mau membeli rujak itu lho Pak di depan."

"Maaf Non, Non Anjeli tidak boleh keluar rumah. Ini perintah Bos Romi."

"Ya sudah bapak saja yang belikan rujaknya ya. Saya tunggu di sini ya Pak. Ini uangnya." Anjeli menyerahkan selembar uang limapuluh ribuan pada satpam rumah Romi. Romi memang tidak pernah memberi dia uang. Tapi dia masih punya uang cash di dompet pemberian Mirza dulu.

"Iya Non. Non Anjeli duduk saja di sini ya. Atau tunggu saja di dalam rumah Non. Nanti kalau sudah jadi saya antarkan ke dalam."

"Tidak usah Pak. Saya ingin bersantai saja di sini. Menghirup udara luar di sini. Sudah lama saya tidak kena matahari Pak. Tidak apa-apa kan?"

"Iya Non tidak apa-apa. Sebentar saya belikan dulu ya." Anjeli mengangguk. Dia menghela nafas panjang. Meski sudah siang, tapi dia merasa bebas. Sudah lama dia tidak menghirup udara bebas seperti ini. Dia melirik balkon kamarnya. Disanalah sangkar emas yang biasa ia tinggali. Setiap hari hanya bisa berada di dalam tanpa pernah diizinkan untuk keluar rumah.

Anjeli melihat pintu gerbang yang terbuka. Tiba-tiba saja ada ide untuk keluar dari rumah mewah Romi. Anjeli melihat Satpam yang masih asyik berbincang dengan penjual rujak. Posisi Satpam yang memunggungi gerbang dan letaknya berseberangan jalan, mempermudah dirinya untuk kabur dari rumah itu.

Anjeli berjalan mengendap-endap agar tidak menimbulkan suara. Pelangi-pelan ia berjalan sambil sesekali melirik Satpam. Setelah dirasa aman, dia berlari ke arah belokan yang ada di ujung jalan. Anjeli setengah berlari. Dia tidak tahu harus pergi kemana. Dia tidak tahu daerah situ.

"Non.. Non Anjeli.. kemana itu orang. Mungkin di dalam." Satpam itu membawa sebungkus rujak pesanan Anjeli.

"Bik.. Bik Neneng..." Teriak satpam itu saat masuk ke dalam rumah.

"Ada apa sih Pak No? teriak-teriak kayak di hutan saja."

"Non Anjeli mana Bik? ini rujak pesanan Non Anjeli Bik."

"Non Anjeli? Pesen rujak? kapan?"

"Tadi dia keluar minta dibelikan rujak. Pas aku selesai beli, tak cariin sudah tidak ada orangnya."

"Sebentar aku cari Non Anjeli di kamar." Bik Neneng mencari Anjeli ke dalam kamarnya. Namun kamar itu kosong dan masih tertata rapi. Bik Neneng perasaannya semakin tidak enak. Dia mencari ke semua ruangan, namun tak menemukan Anjeli di manapun.

"Gawat Pak No, Non Anjeli tidak ada di mana-mana. Kamu ini bagaimana sih? tadi pintu gerbang kamu tutup apa tidak waktu kamu beli rujak?" Marno mengingat ingat. Dan tiba-tiba badannya panas dingin saat mengingat dia lupa menutup pintu gerbang saat membeli rujak.

"Enggak Bik. Saya lupa."

"Aduh Marno.. Non Anjeli pasti kabur. Mas Romi bisa marah besar ini." Semua pelayan di rumah itu berbisik-bisik dan kebingungan semua.

"Ada apa Bik berisik amat?" Tiba-tiba Romi membuka pintu kamarnya yang ada di lantai satu. Dia terganggu setelah mendengar keributan di ruang tamu.

"Mas, maaf sepertinya Non Anjeli kabur."

"Apa? Kalian ini bagaimana sih? Mengurus satu orang saja tidak becus." Romi mengambil kunci mobilnya. Yang ada di pikirannya saat ini adalah keselamatan Anjeli.