Sore itu Mirza bersama Anjeli pergi ke showroom mobil bekas milik temannya Mirza. Dia akan melepas mobil Toyuta Alpahard yang harga barunya bisa lebih dari satu milyar. Mirza tahu jika dijual kembali harganya akan jatuh. Setidaknya itu bisa dia pakai untuk membeli rumah dan kebutuhan lain.
Sebenarnya Bu Hafsah menyuruh mereka untuk tinggal bersama setelah Mirza tadi menceritakan semuanya. Namun Mirza enggan untuk tinggal bersama dengan mertuanya. Dia yang terbiasa hidup mandiri tak bisa begitu saja menjadi beban untuk orang lain.
"Ini tempatnya mas?"
"Iya An. Yuk masuk."
Mirza dan Anjeli masuk ke dalam. Tampak temannya Mirza yang bernama Dicky menyambut kehadiran mereka.
Laki-laki berambut ikal dan tubuh tinggi besar itu tersenyum dan mendekati Mirza. Sejenak ia heran dengan wanita berhijab di samping temannya itu.
"Hai Za. Gimana kabar lo? siapa nih cewek cantik ini?
"Bini gue Dik, jangan macem-macem ya. Alhamdulillah Gue baik Dik, lo gimana?"
"Ya enggaklah. Gue juga udah punya bini, Za. Kabar gue, seperti yang lo lihat sekarang. Hahaha. Eh ngomong-ngomong kenapa lo mau jual mobil lo, Za?"
"Ada masalah Bro tapi sorry gue ga bisa cerita. Lo bisa lihat mobil gue."
"It's Oke." Mereka berjalan ke luar showroom untuk melihat kondisi mobil Mirza.
"Gimana Dik?" Tanya Mirza saat Dicky sudah selesai memeriksa kondisi mobil Mirza.
"Gue beraninya 800 Za."
"Naikin dikit lah Dik. 900 ya."
"Gini aja tengah-tengah aja ya. Kalau ga sama lo, gue ga akan mau ngasih harga segitu, Za. 850 Deh."
Mirza berfikir sejenak. Dia akan mengalokasikan uangnya untuk beberapa kebutuhan. Akhirnya dengan terpaksa dia melepas mobil kesayangannya.
"Ya sudah Dik. Tapi lo ada mobil yang murah ga? seratus kurang lah."
"Yang bener kamu Za? Mana mungkin seorang Mirza pengusaha otomotif ternama pakai mobil kurang dari seratus juta?"
"Udahlah Dik. Sekarang kenyataannya sudah berbeda. Gue cm butuh mobil yang sehat dan murah. Jangan sampai lo kasih yang jelek mesinnya. Hanya untuk sehari-hari saja. Bini gue lagi hamil soalnya. Kasihan kalau mobilnya ga nyaman. Ya walaupun murah yang penting nyamanlah Dik."
Dicky tertegun. Dia tak menyangka Mirza mau membeli mobil bekas dengan harga murah begitu. Dia bertanya-tanya sebenarnya ada apa dengan Mirza.
"Oke Za. Ayo ikut."
Setelah mendapat mobil yang diinginkan dan pembayaran mobil juga sudah diterima, Mirza dan Anjeli pulang ke rumah mereka sendiri. Besok pagi Mirza akan mengosongkan rumah itu dan membeli rumah baru untuk ia tempati bersama Anjeli dan memulai hidup baru.
"Mas, mas gapapa?"
"Aku gapapa An. Aku malah justru harusnya menanyakan hal ini sama kamu. Kamu gapapa kalau kita sekarang seperti ini?"
"Aku tidak masalah mas. Harta tidak akan kita bawa mati. Kita harusnya bersyukur karena Allah masih menyisakan harta untuk Mas. Sehingga kita tidak sampai terlunta-lunta di jalan. Aku sudah terbiasa hidup sederhana dari dulu mas. Jadi mas tidak perlu khawatir. "
"Terimakasih An." Mirza sangat beruntung di saat dirinya berada di bawah, masih ada istri yang mendampinginya, menyejukkan hatinya. Kalau saja tidak ada Anjeli, mungkin dia akan lari ke club malam atau membeli barang haram untuk menghilangkan kepenatannya. Dan menghabiskan uangnya untuk hal yang tidak berguna. Sejak dia meninggalkan kebiasaan buruknya itu, perlahan dia belajar mengatasi masalah dengan tenang.
"Sama-sama Mas. Senyum donk!" Mirza tersenyum meski terkesan terpaksa. Karena banyak hal yang harus dia lakukan esok hari menata hidupnya dari awal lagi.
********
"Ayo Mas, kita ikhlaskan ya." Ucap Anjeli saat melihat sang suami menatap rumahnya yang kini telah kosong. Satu minggu sudah mereka membereskan semua barang yang ada di rumah itu. Menjual semua perabotan yang ada. Mirza juga sudah mendapat rumah baru walau kecil tapi letaknya tak jauh dari rumah bu Hafsah. Jadi mereka bisa lebih sering menengok bu Hafsah.
"Iya, An. Aku hanya sedih karena harus kehilangan rumah ini. Ini adalah rumah peninggalan kedua orangtuaku."
"Aku tahu mas, memang berat yang namanya ikhlas. Tapi jika tidak kita lakukan, hidup kita tak akan bisa tenang. Bukankah semua yang kita miliki adalah titipan Allah?"
"Kenapa semua terjadi begitu cepat setelah aku memperbaiki diri. Apa dosaku memang terlalu banyak, hingga Allah menghukumku seperti ini?" Mirza tiba-tiba merasa putus asa lagi. Tidak bisa dipungkiri kalau dia merasa sangat terpuruk.
"Mas, dengarkan aku ya. Allah justru sedang menunjukkan rasa sayangnya pada Mas Mirza. Dengan di uji seperti ini, Allah ingin Mas mendekatinya, bersujud dan berdoa padanya. Allah amat suka jika hambanya menengadahkan tangan dan memohon pertolongan hanya padaNya Mas. Jadi jangan pernah berfikir Allah sedang menghukum Mas."
"Iya An makasih An. Mulai sekarang aku akan membuka lembaran baru. Menjadi pribadi yang baru. Ayo kita pulang ke rumah kita."
"Nah gitu donk. Ayo Mas."
Hanya pakaian dan beberapa perlengkapan masak yang mereka bawa. Mirza sudah mengisi rumah baru mereka dengan perabot-perabot murah menyesuaikan dengan kantong Mirza saat ini. Dia harus berhati-hati membelanjakan uangnya. Karena dia masih harus membiayai pengobatan bu Hafsah dan sekolah adik-adiknya Anjeli.
Setengah jam kemudian mereka telah sampai di rumah baru Mirza. Rumah sederhana tapi masih terlihat terawat karena pemilik sebelumnya sangat rajin.
"Ayo An. Kamu harus melihat rumah ini. Kamu atur saja sesuai yang kamu mau."
"Iya Mas. Makasih."
Saat pintu di buka, Anjeli merasa bahagia dengan rumah barunya ini. Meski lebih kecil dibanding rumah Mirza sebelumnya, tapi rumah ini kelihatan nyaman.
"Aku suka mas. Makasih ya mas."
"Sama-sama. Tapi maaf ya tidak banyak perabot yang mas beli. Hanya yang penting-penting dulu saja."
"Tidak masalah mas. Hoek Hoek." Anjeli tiba-tiba merasa sangat mual. Lalu mencari kamar mandi. Sejak hamil, dia memang sering sekali mengalami mual.
"Kamu mual lagi? istirahat di kamar saja dulu ya An." Mirza menggandeng tangan Anjeli masuk ke dalam kamar mereka. Direbahkannya tubuh sang istri di atas ranjang.
"Mas pergi beli air minum dulu ya An. Sekalian beli makan buat kita."
"Biar aku aja yang masak mas."
"Tidak usah. Kamu sedang tidak enak badan. Kamu istirahat saja ya. Di dekat sini ada warung makan koq."
"Maaf ya mas huk huk.." Anjeli menangis di hadapan Mirza. Dia memang lebih sensitif sekarang.
"Kenapa minta maaf An? Udah donk jangan nangis."
"Karena aku ga bisa masak buat mas hari ini."
"Hei sayang... jangan bilang seperti itu. Udah ya mas beli makan dulu. Kamu sendirian dulu tidak apa-apa kan?"
"Tidak apa-apa Mas. Hati-hati ya." Mirza mengusap airmata Anjeli.
Mirza berjalan kaki, ke warung makan tegal yang ada di dekat rumahnya. Hal yang mungkin jarang dia lakukan selama ini. Kali ini dia harus mulai terbiasa berjalan kaki jika pergi ke tempat yang jaraknya dekat. Setidaknya bisa menghemat bahan bakar.
Setelah membeli dua bungkus nasi rames dan teh hangat, Mirza segera pulang ke rumahnya. Dia sebenarnya ingin pergi ke toko kelontong. Tapi dia ingat Anjeli ditinggalkan seorang diri. Dia takut terjadi apa-apa dengan istrinya. Saat membuka pintu pagar rumahnya, ada mobil yang lewat, namun tak disadari oleh Mirza.
"Oh tinggal di sini rupanya? Mirza, kasihan sekali nasibmu. Semoga kamu bisa sukses di rumah barumu ini." Seseorang itu tersenyum miring. Lalu melanjutkan perjalanannya.