Selama makan di restoran, Anjeli hanya diam. Sampai di rumah pun Anjeli juga lebih banyak diam. Mirza merasa heran dengan perubahan sikap Anjeli. Dia lebih menyukai Anjeli yang banyak bicara daripada Anjeli yang pendiam.
"An, kamu kenapa? apa ada masalah? ceritalah sama aku."
"Aku baik-baik saja Mas."
Mirza mendekati wajahnya ke wajah Anjeli. Mata mereka saling beradu.
"Aku melihat kesedihan mendalam di matamu. Ayolah Anjeli. Katakan sebenarnya ada apa?"
"Mas.... hik hik hiks.." Anjeli memeluk tubuh suaminya lalu menangis.
"Tenang sayang. Ayo ceritakan pelan-pelan. Apa yang terjadi selama aku tidak ada." Anjeli hanya menggeleng. Dia sama sekali tidak bisa menceritakan hal yang membuatnya trauma hingga hari ini.
Mirza memegang kedua bahu Anjeli, dia meninggalkan Anjeli selama satu bulan untuk menjalani rehabilitasi. Rasa rindu dan hasrat tak lagi bisa ia bendung. Mirza mencium Anjeli dengan lembut. Entah kenapa Anjeli kali ini meronta dan seolah menolak. Mirza kembali bersabar. Dia berusaha sedikit demi sedikit membuka baju Anjeli.
"Jangan Mas!!!" Anjeli berteriak lalu berdiri dan menjauh ke sudut kamar.
"An, sebenarnya ada apa?" Tubuh Anjeli meluruh ke lantai. Dia membenamkan wajahnya di antara kedua lututnya. Sambil terisak dia berusaha dengan keras untuk menerima sentuhan Mirza tadi. Tapi lagi-lagi bayangan laki-laki brengsek itu muncul saat Mirza menyentuhnya.
"Aku takut Mas."
"Takut kenapa? tidak usah takut. Ayo wudhu dulu yuk. Biar kamu lebih tenang. Kita Sholat berjamaah ya." Anjeli mendongak saat Mirza mengajaknya wudhu dan sholat.
'Apa ini benar mas Mirza?' Anjeli mengusap Airmatanya berganti senyuman karena melihat wajah Mirza yang kini lebih bercahaya.
"Mas, ini benar kamu kan?"
"Benar sayang. Ini Aku.. Mirza. Heran ya aku mau sholat sekarang? Ayo kita sholat dulu ya nanti setelah sholat kamu bisa cerita semuanya sama aku. Tidak perlu takut."
"Aku takut Mas marah."
"Memangnya kenapa aku harus marah hem?" Mirza menangkup wajah Anjeli dengan kedua tangannya. "Yuk sholat dulu." Anjeli mengangguk. Dia kemudian wudhu lalu sholat bersama Mirza.
Anjeli antara khusyu' dan tidak, karena baru kali ini dia diimami oleh suaminya sendiri. Mendengar suara Mirza membaca surat-surat pendek meski Mirza hanya bisa membaca Al fatihah, An Nas, Al Ikhlas, dan Al Falaq saja. Anjeli merinding mendengarnya. Doanya telah dikabulkan oleh Allah.
Anjeli mencium punggung tangan suaminya setelah selesai sholat. Dia menatap suaminya lekat. Seolah tak masih tak percaya kalau yang sedang ada di depannya saat ini adalah suaminya.
"Kenapa An masih belum percaya? Atau terpesona melihat suamimu yang tampan ini? Sebenarnya aku pergi selama sebulan ini karena ingin memperdalam agama agar bisa menjadi imam buat kamu."
"Mas.." Anjeli yang masih mengenakan mukena memeluk Mirza dengan erat.
"Mas, ada yang berusaha memperkosaku waktu mas ga ada." hik hik hiks...
"Apaa.....?!!! Siapa Anjeli? siapa yang berani melakukan itu sama kamu?" Mirza terlihat sangat emosi saat mendengar pernyataan Anjeli.
"Dimana Beni? kenapa dia tidak mengerjakan perintahku?"
"Katakan An. Katakan siapa yang berani melakukan itu sama kamu." Mirza menggoyang goyangkan tubuh Anjeli. Membuat Anjeli ketakutan. Dia takut sekali melihat Mirza yang terbakar amarah seperti sekarang.
"Ro... Mi mas..." Anjeli mengatakan nama itu dengan terbaru-bata.
"Romi siapa An?"
"Yang.. waktu.. itu .. nganterin mas pulang waktu mas mabuk. Dia itu teman kekampus Anjeli Mas. Dia membawaku ke tempat yang gelap dan aku dibuat tidak sadarkan diri. Aku tidak tahu apa aku sudah dilecehkan apa belum mas. Tapi waktu aku sadar pakaianku masih lengkap. hik... hik.."
"Romi yang kerja jadi bartender itu?"
Anjeli mengangguk.. dia menangis sesenggukan di bahu Mirza.
"Biadab!!! Brengsek!!!. Aku akan bikin perhitungan dengannya sekarang."
"Mas, jangan mas dia ngancem aku mai sebarin fotoku sama dia ke teman-teman kampus mas. Itu foto sangat tidak pantas Mas."
"Tidak usah takut An. Dia akan melanggar undang-undang ITE, karena telah menyebarkan tindakan asusila dan bisa masuk HOAX juga."
"Aku takut karena dia terus mengancamku, mas."
"Aku akan ke kontrakannya sekarang."
"Jangan Mas... Aku takut."
"Tidak usah takut, An. Aku akan laporkan dia ke polisi. Aku akan buat dia mengaku."
Mirza segera melepas sarungnya. Dia mengambil kunci mobil dan langsung melaju ke kontrakan Romi.
"brak brak!!!!" Romi keluar kamu!!!" Teriak Mirza dari luar kontrakan Romi. Yang membuat tetangga kontrakan Romi pada keluar semua.
"Mas, jangan buat keributan donk. ini sudah malem." Tegur salah satu penghuni kontrakan yang lain.
"Dimana Romi?"
"Romi? Dia sudah pindah kemarin."
"Serius??"
"Ngapain gue boong. Dia kabur tuh.. Ga pamit juga sama pemilik kos. Noh... nanya sama Pak Madun kalau ga percaya."
"Makasih atas informasinya." Mirza berlari ke rumah pemilik kontrakan yang letaknya tak jauh dari kontrakan Romi.
"Pak, maaf anda benar Pak Madun?"
"Iya betul. Ada apa?"
"Maaf Pak, apa benar Romi sudah tidak di sini lagi?"
"Romi? kamu siapanya?!! Sialan itu anak. Pergi ga bilang-bilang. Udah ninggal kontrakan tiga bulan lagi. Kurang ajar bener itu anak."
"Saya justru mau laporin dia ke polisi Pak atas tindak pidana yang dia lakukan."
"Ga aku ga tau apa-apa. Kalau mau bawa-bawa polisi jangan di sini. Udah sono buruan pergi." Si pemilik kontrakan malah takut karena Mirza bawa-bawa polisi. Dia pergi begitu saja masuk ke dalam rumah meninggalkan Mirza.
Mirza mengacak rambutnya frustasi. Dia tak tahu lagi mencari Romi kemana. Satu-satunya tempat adalah club malam tempat Romi kerja. Tapi bagaimana bisa dia masuk ke dalam club malam itu kalau masih menggunakan baju koko seperti sekarang.
"Arghhhhh..." Mirza berfikir dengan dengan keras. Dia akan membeli kaos oblong saja dan melepas baju kokonya. Bukannya dia malu dengan baju kokonya. Tapi dia tidak ingin menggunakan baju yang untuk ibadah itu, ke tempat maksiat seperti club malam.
Mirza segera mengganti pakaiannya setelah dia membeli kaos di pinggir jalan. Mobilnya segera melaju ke tempat club malam tempat Romi bekerja. Berat rasanya kembali ke tempat ini. Tapi apa boleh buat. Ini tentang harga diri istrinya yang direndahkan oleh Romi. Dia akan memburu Romi kemanapun Romi pergi.
Mirza masuk ke dalam club malam. Lampu yang berkedap kedip, musik yang menghentak, pria dan wanita yanh berjoget sambil mabuk menjadi pemandangan yang biasa di tempat seperti ini. Entah kenapa sejak Mirza belajar agama dia menjadi aneh pergi ke tempat seperti ini.
"Hai Mirza... Lama nih ga ketemu." Kelly tiba-tiba datang dan merangkulnya.
"Lepasin Kel." Mirza melepaskan tangan Kelly kasar.
"Jack.. Romi mana?" Tanya Mirza pada Jacky bartender yang juga temannya Romi.
"Dia udah keluar tadi malam, Bos Mirza."
"Apa??? Serius lo?"
"Iya serius gue. Kalo ga percaya lo bisa nanya sama Bos."
"Ga usah Jack. Thanks ya. Gue cabut dulu."
Mirza keluar dari tempat itu dengan tangan hampa. Dia sama sekali tidak bisa melacak keberadaan Romi.
Mirza menghubungi Beni beberapa kali namun tidak sekalipun tersambung.
"Ada apa sebenarnya ini? Kenapa semua seolah menghilang. Orang kepercayaannya pun menghilang tiba-tiba.
"Arghhh... " Mirza memukul setirnya beberapa kali. Biasanya dalam keadaan kalut seperti ini dia akan lari pada barang haram itu. Tapi dia ingat pesan ustadz di tempat rehabilitasi. 'Kalau kamu sedang kalut dan ingin kembali memakai barang itu, wudhu dan sholatlah. Perbanyak dzikir dan sholawat. Alihkan pikiranmu dengan mendekat pada Allah, Mirza.' Kali ini Mirza akan mengikuti nasehat ustadz.